Pengunjung

Share/Bookmark

Rekonstruksi Pemikiran Cak Nur di HMI

 
HANYA dengan Al-Quran dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan ‘memelintir’ ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbab al-nuzul dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh, semuanya akan berpusing-pusing pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita berhadapan dengan majlis pengajian pada umumnya.

Praktik tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan/Nilai Identitas Kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan Islam yang khas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada 5 Februari 1947. Naskah NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969).

Untuk memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic Training (Latihan Kader I/LK I), pendalaman NDP Pasca LK, Training Up Grading NDP, Senior Course sampai Training Instruktur NDP. Kita juga tidak boleh meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid (Cak Nur).


Pembalseman Cak Nur

Mengapa hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, Pembalseman Cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat di bawahnya cuma mengaminkannya. Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat hal yang sama sebagaimana dirinya.

Padahal, NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadis. Orang lupa, Cak Nur yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah cara pandang Islam ala Cak Nur muda, yang ekstremnya, belum tentu benar. Repotnya, kader HMI sulit memahami evolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah seiring waktu, kontemplasi, dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut mengkritik Cak Nur muda.

Mengkritisi NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit tokoh yang pemikiran brilyannya didengar betul oleh paling tidak 4 presiden mulai dari Suharto sampai Gus Dur.



Bias Figur dalam Kerja Kolektif

Kedua, bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas dikerjakan oleh kader muda HMI lainnya, seperti Endang Saefuddin Anshari, Saqib Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat berbanding lurus pada wilayah ini.

Ketiga, pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan modernis; di sisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi —ditandai dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa Indonesia— turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa, kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HMI sedang berada pada dua arus besar konflik politis-ideologis, dengan CGMI, dan rezim transisional dari Orla ke Orba.

Dengan seluruh fenomena di atas, wacana-wacana keagamaan alternatif —yang mungkin bukan sesuatu yang “luar biasa” di masa kini— seperti mendapat momentum. Pemikiran-pemikiran radikal, Ahmad Wahib misalnya, menjadi sesuatu yang wah diperhadapkan dengan pemikiran keislaman konvensional saat itu.

Pada posisi inilah kita dapat mencoba memahami mengapa dalam suatu kurun waktu yang panjang, NDP menjadi sesuatu yang khas dan sulit untuk dikoreksi. Keterjagaan momentum ini, secara alamiah, terus “dilestarikan” dengan semakin gemilangnya tokoh-tokoh perumus NDP dalam konstelasi pemikiran sosial keagamaan di Indonesia. Hal berbeda mungkin akan kita temukan seandainya para perumus NDP berevolusi sebagai orang-orang kebanyakan sehingga tidak populer.

Akhirnya, kita juga paham mengapa banyak kader tidak memahami naskah NDP, meskipun membaca berulang kali. Ketidakmengertian dinisbahkan pada kebekuan intelektual mereka dan bukan pada naskahnya. Setiap kali selesai membaca yang berakhir dengan kebingungan, setiap kali itu pula kader seakan berkata bahwa ia ternyata begitu bodoh. Dan masih saja bodoh meskipun telah membaca referensi-referensi lainnya.



Pengapuran Intelektualisme

Keempat, pengapuran intelektualisme, akibat semakin menggejalanya wacana politis praktis ketimbang intelektualisme. HMI yang menang perang bharatayudha melawan PKI/CGMI dan anasir Orla lainnya seperti ketiban pulung. Gelombang besar mahasiswa yang mendaftar sebagai kader HMI baru pasca Orla ternyata tidak berdampak signifikan pada pembaruan dan pematangan teologis. Memang format dan materi perkaderan senantiasa terus berkembang, tapi semua itu tidak dibarengi dengan peninjauan ulang seluruh nilai yang menjadi landasan ideologis HMI.

Perkembangan struktural konstelasi politik dan kesibukan lainnya membuat kader-alumni HMI boleh dikata tidak dapat lagi mencurahkan sedikit perhatian kepada materi-materi utama perkaderan yang mendasar. Bahkan fenomena bombastis di atas dijadikan salah satu alasan untuk tidak menoreh tinta merah pada materi ideologi. Apalagi yang harus diutak-atik, kalau dengan keadaan sekarang saja HMI sudah dapat besar, kader-kadernya banyak yang sudah jadi orang dan menjadi motor di banyak wilayah strategis?

Alih-alih memperbarui, keberadaan NDP diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan dimensi keagamaan naskah tersebut. Kongres diadakan sebagai legitimasi naskah. Padahal, perangkat hukum yang menopang bagi kemungkinan diadakannnya sebuah rekonstruksi naskah ideologi sudah cukup memadai.

Lengkaplah sudah mistifikasi NDP. Ia merupakan naskah suci, sakral sehingga anti kritik. Padahal, sakralisasi pada segala sesuatu selain Allah adalah praktik kemusyrikan.






Mengawali Rekonstruksi

Sebagai nilai dasar perjuangan, NDP membutuhkan unsur-unsur penyempurna bagi tumbuhnya sebuah ideologi/paradigma/filsafa
t hidup/pandangan dunia: Sistematika yang jelas dalam penalaran rasional (filosofis), kemudahan aplikasi teori praktis (sosiologis), efek perubahan individu dan masyarakat.

Penguatan dimensi kemanusiaan yang ada di NDP jelas membawa dampak signifikan. Di satu sisi ia membawa dengan genial pesan-pesan peradaban, agar kader HMI tidak gamang dan takut menghadapi perubahan zaman. Di sisi lain, materi NDP menjauh dari pendekatan filosofis, sesuatu yang selayaknya menjadi titik sentral ideologi. Pendekatan sosiologis membuat Islam ditampilkan sebagai ‘Kehadiran’ yang mendahului ‘Kebenaran’, dasar teologi Kristen, bukan ‘Kebenaran’ mendahului ‘Kehadiran’.

Aspek filosofis di NDP, kalaulah ada, juga berputar-putar pada paradigma Calvinian. Kerancuan aspek filosofis dan sosiologis ketika berhadapan dengan teologi membuat kader semakin percaya bahwa tiada keterkaitan sama sekali antara ruang publik (rasionalisme) dan ruang privat (keimanan). Alih-alih mewartakan kebenaran Islam, pemberian materi NDP menggiring kader pada paradigma Kristen (pada Bab Ketuhanan, Bab Kemanusiaan dan Bab Ilmu Pengetahuan) dan Marxian (pada Bab Individu-Masyarakat dan Bab Keadilan Sosial Ekonomi).

Kesenjangan inilah yang menyebabkan mengapa instruktur NDP cenderung berbeda visi dan pemahaman satu sama lain. Ketidakmampuan memahami konteks historis yang melatarbelakangi perumusan NDP; ketidakmampuan memahami paradigma yang dipakai para perumus; ketidaktahuan batasan liberalisasi NDP; kurangnya referensi perbandingan dalam memahami NDP; dan kurangnya ilmu alat yang dimiliki pemateri NDP dapat dijadikan kambing hitam susulan.

Efeknya, sebagian pemateri NDP, terutama pada LK I, membawa materi seperti pengajian yang monolitik dan dogmatik. Alih-alih menggiring kader menuju kesadaran teologis, instruktur malah membuat kader terhalusinasi pada ghirah kebablasan.

Pemateri NDP cenderung membawa materi dengan paradigmanya masing-masing. Cak Nur difitnah untuk membenarkan keyakinan pemateri. Perlu dicurigai bahwa banyak pemateri yang belum bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Cak Nur dan studi banding dengan referensi lain yang berhubungan. Di sisi lain, studi kritis NDP dimentahkan oleh alasan bahwa segala penjelasan tentang nasklah ideologi tahun 1969 telah ada di buku-buku Cak Nur yang baru beredar tahun 1990an. Ini tidak logis. Tiada relevansi apa pun antara buku Cak Nur dengan NDP qua NDP.

Nampaknya banyak pihak yang tidak bisa membedakan dengan jernih antara rekonstruksi dan dekonstruksi. Sedari awal tulisan ini hanyalah kritik terhadap pondasi bangunan NDP Cak Nur yang lebih nampak sebagai ‘Natsir Muda’. Namun penulis tetap yakin bahwa nilai-nilai pengubah/perbaikannya masih dapat dilihat pada evolusi pemikiran Cak Nur setelah ia semakin kosmopolit dan universal.

Pada tingkat struktural, bias ideologi berkembang semakin kompleks ketika organisasi dituntut agar memberikan kejelasan arah kaderisasi. Pada satu aspek HMI telah berhasil membentuk kader yang mempunyai karakter ideologis tertentu. Namun pada aspek lain, sebagaimana telah diterangkan di atas, HMI boleh dikata telah gagal membentuk format keislaman yang utuh.

Menjawab keparsialan NDP, instruktur yang mempunyai dalil kuat untuk menolak isi materi NDP Cak Nur bermain dengan kerangkanya sendiri. Pada aspek dinamika intelektual, ia layak diacungi jempol karena mampu membuat sebuah konsep alternatif. Pada aspek struktural, ia dikategorikan menyimpang dari kurikulum baku dan melanggar aturan main organisasi. Apalagi yang ‘didekonstruksi’ adalah materi ideologi.


Menyusun Agenda Rekonstruksi

Niat awal yang melandasi pembuatan rekonstruksi ini adalah bagaimana kita melihat wacana perubahan dalam menatap (naskah) ideologi. Biarkanlah semua pihak menimbang NDP dengan sudut pandangnya masing-masing. Toh semuanya akan dinilai secara objektif lagi proporsional untuk mencari yang terbaik. Dari mana pun datangnya hikmah itu. Yang penting, tidak boleh ada satu pun wilayah yang bebas kritik. Namun hendaknya perlu diingat bahwa sebuah rumusan ideologi senantiasa berisi konsep-konsep umum, bukan semacam juklak atau juknis.

Sudah barang tentu setiap draft tidak boleh disebut sempurna. Masih banyak hal yang perlu dikoreksi, diperjelas dan disempurnakan. Masih banyak tema dan bahasan yang perlu ditambah. Draft rekonstruksi ini juga tidak menafikan keberadaan draft lain yang dibuat oleh perorangan dan/atau institusi lain. Semakin banyak konseptor akan semakin baik. Maka dari itu, sangat disayangkan apabila ada pihak yang menganggap rekonstruksi diarahkan atau dimonopoli oleh seseorang/kelompok tertentu.

Satu hal lain yang perlu dicermati adalah keberadaan senior/instruktur ideologi di daerah masing-masing. Lepas dari kadar keilmuan masing-masing, menurut penulis, mereka layak dikunjungi untuk dimintakan urun rembuknya. Biar bagaimana pun, mereka punya kontribusi tak ternilai bagi perkaderan HMI secara nasional.

Dengan iklim politis HMI yang kental, keterlibatan mereka akan menguatkan rekonstruksi secara konseptual dan faktual, sehingga tidak akan ada ungkapan sinis kepada perekonstruksi, “Anak kemarin mau menandingi Cak Nur?” tentu kita sudah tahu kesalahan logika dari ungkapan melankolis tersebut. Namun dalam ‘dunia politik’ HMI, ketidaksetujuan sebagian kalangan bisa menjadi duri. Alih-alih bicara ideologi, praktiknya adalah saling jegal setiap ide baru. Bukan rahasia, banyak pihak yang tidak setuju atas ide rekonstruksi NDP hanya karena dirinya tidak merasa dilibatkan dalam perumusannya.



Membentuk Tim

Sebuah usulan konseptual cenderung mudah diterima ketika hadir sebagai sebuah kebutuhan kolektif dalam suasana yang kondusif. Pada kondisi yang tidak tepat sebuah tawaran alternatif dari segelintir individu dan/atau institusi, misalnya menjelang suksesi, dapat didramatisasi-dipolitisasi-dinilai secara a priori.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebuah tim yang mengakomodasi seluruh perumus dari level komisariat hingga PB perlu dibentuk. Rumusan-rumusan yang terseleksi secara konseptual ini (seleksi I) sebaiknya diuji coba dalam sebuah pilot project yang akan dievaluasi dalam forum khusus (seleksi II) dan diuji kembali (seleksi III). Setelah konsep ini utuh, draft rekonstruksi NDP dapat diajukan dalam Kongres mendatang.

Dengan demikian, gerakan rekonstruksi NDP dapat dilakukan dengan gerakan kultural dan struktural. Pada satu sisi kita mengikuti ketentuan dan hierarki organisasi dengan keputusan akhir tetap di Kongres. Di sisi lain penguatan basis (komisariat/korkom/cabang) tetap dilakukan. Tanpa basa-basi birokrasi, internalisasi NDP dapat dilakukan sedini mungkin. Praktik ini secara alamiah pula dapat dianggap sebagai proses pembentukan Lembaga Pengelola Latihan (LPL) di setiap insitusi cabang, kalau memang belum ada.

Pasca rekonstruksi ideologi, kita perlu juga memikirkan rekonstruksi perkaderan mengingat perubahan materi berimplikasi signifikan pada pembumian materi. NDP yang selama ini diformat dalam satu naskah dapat dikembangkan menjadi tiga naskah dengan titik fokus dan berat yang berbeda mengikuti tingkatan perkaderan formal: basic (LK I), intermediate (LK II) dan advance (LK III).



Merangkai Mimpi

Itu harapan idealnya. Jangan berharap banyak bahwa pada akhir pelaksanaan rekonstruksi berikut segala pelatihan percontohannya akan menghasilkan kader-kader yang menjadi pemikir tercerahkan (rausyan fikr). Eksplorasi wacana ini bukanlah indoktrinasi mekanis seperti yang dilakukan banyak harakah, yang mengalami split personality, menuhankan dirinya karena bingung membedakan pendapatnya dengan ayat-ayat Tuhan yang ditentengnya ke sana ke mari. Juga bukan seperti kebanyakan aktivis rasialis himpunan mahasiswa yang mengalami post-power syndrome, menganggap kebenaran hanya datang dari duli senior.

Pada dirinya sendiri, NDP bukanlah himpunan peraturan operasional yang menawarkan tindakan praktis. Tidak seperti materi-materi informatif lainnya, materi NDP kering dan abstrak sehingga tidak menarik minat banyak kader untuk mengkajinya. Dengan demikian, adalah hal wajar kalau hanya ada segelintir orang yang berhasil tersaring, syukur-syukur menjadi pemateri, dari ramaian peserta kajian atau pelatihan.

Setelah seluruh aktivitas rekonstruksi ini berjalan, boleh kita bermimpi tentang terbentuknya kader yang dapat menggabungkan pengetahuan tradisional dan modern; yang menghimpun nilai-nilai kebijakan secara harmonis. Kader seperti ini tiada pernah meninggalkan dan melupakan dimensi transenden; mempunyai pemahaman yang integral seputar diri/manusia-alam-Tuhan; tidak mudah terseret pada paradigma politis, serta tidak mudah terhegemoni oleh negara. Boleh kita mengharap kader yang menjadi cahaya, yang terang dengan sendirinya dan menerangi segala sesuatu di luar dirinya. Rekonstruksi ideologi adalah sebuah tindakan wajar sebuah organisasi kader ketika ingin mereposisi diri pada dunia yang terus berubah. [andito]
Baca Selengkapnya... … Rekonstruksi Pemikiran Cak Nur di HMI

Tuhan Menciptakan Kejahatan???

Apakah Tuhan menciptakan kejahatan
Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?" Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya."
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut. Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos. Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata,
"Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?""Tentu saja," jawab si Profesor
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.
Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara - perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab,
"Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih sayang Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Profesor itu terdiam. 
Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.
Baca Selengkapnya... … Tuhan Menciptakan Kejahatan???
Category: 0 komentar

Pemikiran Kalam Jabbariyah dan Qodariyah (bag-2)

BAB II
PEMIKIRAN KALAM JABBARIYAH DAN QODARIYAH
 
 
A. PENGERTIAN DAN PENISBATAN
Kata "Jabariyah" berasal dari kata bahasa arab "Jabara" yang artinya memaksa. Dan yang dimaksud adalah suatu golongan atau aliran atau kelompok yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia bukan atas kehendak sendiri, namun ditentukan oleh Allah SWT. Dalam arti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat dan baik semuanya telah ditentukan oleh Allah SWT dan bukan atas kehendak atau adanya campur tangan manusia.
Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Ini dapat diartikan pula bahwa manusia itu akhirnya tidak bersalah dan tidak berdosa, sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan atasan dimana ia tidak lain laksana robot yang mati, tidak berarti.
Pendapat jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
Tokoh-tokoh Jabariyah
1. Ja'd Bin Dirham
Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
Pendapat-pendapatnya:
 Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an surat An-Nisa ayat 164.
 Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan-Nya menurut ayat 125 dari surat An-Nisa.
2. Jahm bin Shafwan
Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwa dengan Bani Ummayad.
Pendapat-pendapatnya:
 Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
 Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
 Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.
B. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah.
Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
C. DOKTRIN-DOKTRIN POKOK (USHULUL KHOMSAH)
Ajaran-ajaran pokok Jabariah:
a) Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
b) Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
c) Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
d) Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
e) Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
f) Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
g) Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
h) Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
Asas-asas mazhab Qadariyah:
a) Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.
b) Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
c) Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.
d) Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
e) Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
f) Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
g) Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'), selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.
D. QADHA DAN QADAR SERTA MAKNA TAKDIR ALLAH MENURUT JABARIYAH
Aliran Jabariyah berpendapat mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya ini meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Aliran Jabariyah mengibaratkan bahwa perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang bergerak diterpa angin atau dalam ilustrasi yang sangat sederhana bisa dicontohkan bahwa aliran Jabariyah menggambarkan manusia bagaikan robot yang disetir oleh remote kontrol.
E. PERBUATAN, KEHENDAK MANUSIA DENGAN QUDRAT IRADAT ALLAH MENURUT JABARIYAH
Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunai peran atas segala perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qudrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah.
Ulama aliran Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia. Dengan kata lain manusia tidak mempunyai peran apa-apa atas kehendak dan perbuatannya, semuanya berdasarkan Qadha dan Qadar Allah, Kalau semua perbuatan manusia merupakan ketetapan dan kehendakan Allah mengapa manusia harus diberi pahala jika menjalani suatu kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
Artinya: " Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang besar". (QS: 4: An-Nisa': 13)
Allah juga akan memberikan siksa kepada hambaNya yang selalu berbuat dosa artinya tidak mau ta'at kepada Allah dan rasul-Nya. Yakni tidak mau meninggalkan semua larangan-Nya dan tidak mau menjalankan semua perintah-Nya. Sebagaimana firman Allah:
Arinya: "Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". (QS: 4: An-Nisaa':14)
Dilihat dari sisi lain pendapat 'Ulama Jabariyah kurang kuat karena: Untuk apa pula Allah memberi petunjuk, kabar gembira dan memberikan peringatan melalui para Rasul-Nya agar manusia dapat mengerti antara haq dan yang bathil sebagaimana firman Allah:
Artinya: "Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan" (QS:18: Al-Kahfi: 56)
Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka pendapat ulama Jabariyah menjadi lemah. Sementara itu Yusuf Al Qardhawi memandang bahwa aliran Jabariyah hanya memandang satu sifat kekuasaan Allah dan tidak memandang keadilan dan kebijaksanaan-Nya; sehingga semua perbuatan yang dilakukan disandarkan pada takdir Allah. Dengan kata lain aliran Jabariyah menafikan fungsi dan peran Rasul Allah serta ancaman yang akan diberikan kepada pelanggar (durhaka) tatanan nilai Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala bagi para pelaksana (bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah agama). Hal ini menurut Jalaluddin Ar-Rumi bahwa: Sekiranya manusia dalam keadaan terkekang seperti pendapat aliran Jabariyah, maka tidak mungkin jika dia dibebani perintah dan larangan, atau disuruh untuk menjalankan syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu berisikan perintah dan larangan.
Jabariah sebagai penolakan terhadap pandangan kaum qadariyah, munculnya kaum Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia itu baik dan buruk, semuannya berasal dari Allah. Jika perbuatan tersebut disebut sebagai perbuatan manusia, maka hal ini hanya kiasan saja. Seperti saat kita menyatakan bahwa sungai itu mengalir, padahal pada hakikatnya Tuhanlah yang mengalirkannya. Manusia menurut pandangan kaum Jabariyah tak ubahnya seperti bulu ayam yang bertebangan ditiup angin (karena itulah maka kaum Jabariyah dan kaum qadariyah dikatakan dua golongan yang satu sama lainnya saling bertolak belakang.
Berdasarkan keyakinan seperti ini maka kaum Jabariyah memiliki pandangan yang meniadakan sifat dan nama Allah, sementara Al-kalam (firman Allah) yang merupakan sifat Allah menurut pendapat mereka adalah hadis (sesuatu yang baru).



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Sufyan Raji. 2003. MENGENAL ALIRAN-ALIRAN ISLAM DAN CIRI-CIRI AJARANNYA. Jakarta: Pustaka Al-Riyadl.
Abdurrahman, A. Said Aqil Humam. 2004. PENJELASAN MENYELURUH TENTANG QADHA DAN QADAR. Bogor: Al-Azhar Press.
Al-Qahthani, Said bin Musfin. 2003. BUKU PUTIH SYEKH ABDUL QADIR AL-JAELANI. Jakarta: Penerbit Buku Islam Kaffah.
Fachruddin, Fuad Mohd. 1990. SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM. Jakarta: CV. Yasaguna.
Husein, Abu Lubaba. tt. PEMIKIRAN HADIST MU'TAZILAH. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Muthahhari, Murtadha. 2002. MENGENAL ILMU KALAM. Jakarta: Pustaka Zahra.
Sumadi, Sutrisna dan Rafi'udin. 2003. KEBEBASAN MANUSIA ATAS TAKDIR ALLAH BERDASAR KONSEP PENCIPTAAN NABI ADAM a.s. Jakarta: Pustaka Quantum.
Baca Selengkapnya... … Pemikiran Kalam Jabbariyah dan Qodariyah (bag-2)
Category: 0 komentar

Pemikiran Kalam Jabbariyah dan Qodariyah (bag-1)

BAB I
PENDAHULUAN
Kajian Islam terbagi kepada berbagai bidang ilmu yang antara lain adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tawhid, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Ilmu kalam membahas tentang Tuhan, rasul-rasul, wahyu, akhirat, iman dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ilmu kalam disebut juga ilmu usuluddin, ilmu ‘aqa’id, dan teologi. Dalam mengkaji dan membahas materi ilmu kalam ini terdapat bermacam-macam cara memahaminya di kalangan umat Islam. Paham yang lahir dari suatu cara memahami materi ilmu kalam ini dalam bahasa Arab disebut firqah yang jamaknya firaq. Firqah dalam bahasa Indonesia disebut aliran. Aliran-aliran dalam ilmu kalam disebut dalam bahasa Arab al-firaq al-Islamiyah.
Untuk aliran dalam fikih disebut mazhab. Namun, belakangan penggunaan sebutan-sebutan ini sudah tidak terlalu ketat lagi sehingga kata mazhab kadang-kadang sudah digunakan oleh sementara orang untuk maksud aliran dalam ilmu kalam. Persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah persoalan di bidang politik. Waktu Nabi Muhammad Saw. wafat, muncul persoalan siapa yang berhak menjadi penggantinya sebagai khalifah. Menurut sejarah, Abu Bakar disetujui menjadi Khalifah pertama. Khalifah kedua, Umar, ketiga Usman, dan keempat Ali. Terbunuhnya Usman dan naiknya Ali menjadi Khalifah keempat kemudian menimbulkan masalah.
Pada tahun 37 H, terjadi perang antara Ali sebagai Khalifah dan Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam. Perang ini terjadi di Siffin sehingga perang ini dikenal dengan perang Siffin. Karena pasukan Mu’awiyah terdesak dan sudah siap untuk mundur, tangan kanannya yang terkenal licik, ‘Amr ibn al’Ash minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Quran ke atas. Para qari di barisan Ali minta agar perdamaian itu diterima Ali. Ali dan sebagian pengikutnya keberatan. Tapi, karena desakan, akhirnya Ali menyetujuinya. Disepakati bahwa Abu Musa alAsy’ari mewakili Ali dan ‘Amr ibn al’Ash mewakili Mu’awiyah. Dengan alasan menghormati orang tua, ‘Amr meminta Abu Musa lebih dahulu berdiri memakzulkan Ali dan kemudian ‘Amr memakzulkan Mu’awiyah. Setelah Abu Musa memakzulkan Ali, ‘Amr berdiri mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah.
Kekacauan terjadi. Pasukan Ali yang sejak semula tidak setuju dengan perdamaian tipu itu keluar dari barisan ‘Ali dan menjadi penentangnya dan sekaligus penentang Mu’awiyah. Kelompok yang keluar ini disebut Khawarij. Mereka memandang Ali, Mu’awiyah, Abu Musa, ‘Amr ibn al’Ash dan orang-orang yang setuju dengan perdamaian yang disebut dalam sejarah arbitrase sebagai kafir. Tak berapa lama, Khawarij ini pecah pula kepada beberapa sekte yang antara satu dengan lainnya saling mengkafirkan dan menghalalkan darahnya. Persoalan kafir pun berkembang. Kalau tadinya kafir itu berarti orang yang tidak berhukum kepada Al-Quran, maka kemudian pelaku dosa besar (murtakib alkabirah), yakni pembunuh Usman pun dihukum kafir. Ternyata, persoalan ini menimbulkan tiga aliran.
Pertama Khawarij yang memandang pelaku dosa besar kafir. Kedua aliran Murji”ah yang memandang pelaku dosa besar tetap mukmin dan hukumannya ditangguhkan kepada Mahkamah Allah untuk mengampuninya atau tidak mengampuninya. Ketiga aliran Muktazilah yang memandang pelaku dosa besar berada di antara dua posisi mukmin dan kafir (almanzilah bain almanzilatain). Di luar tiga golongan ini, masih tinggal golongan yang mengikuti paham mayoritas umat Islam yang kemudian dikenal dengan golongan Ahlus Sunnah wa alJama’ah. Al Hasan al Basri (w. 110 H), Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah.
Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al Hasan al Asy’ari (w. 330 H). Menurut dia, Allah mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayah, menghendaki dengan iradah. Ilmu Allah esa dan ta’alluq (berobjek) kepada segala yang maklum. Setiap yang wujud dapat dilihat. Karena itu, Allah dapat dilihat karena Ia wujud.
Pelaku dosa besar jika tidak taubat, maka hukumannya terserah kepada Allah. Manusia mujbar (terpaksa), tetapi Allah memberi kasab baginya. Alquran adalah kalam Allah yang qadim. Selain Abu al Hasan al Asy’ari, dikenal pula Ahmad at Tahawi (w. 322 H) di Mesir dan Abu Mansur al Maturidi as Samarkandi (w. 333 H) yang ketiganya disebut dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih tepat paham mereka dibanggakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asy’ariyah, paham Maturidiyah dan paham Tahawiyah.
Pendiri paham Mu’tazilah adalah Wasil ibn ‘Atha’ (w. 131 H) di Basrah. Ia adalah murid al Hasan al Basri. Ketika mendiskusikan hukum pelaku dosa besar, Wasil berdiri dari majlis alHasan dan pergi ke satu sudut dari Masjid Basrah.Di sana ia berkata bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak Mukmin, melainkan almanzilah bain almanzilatain (posisi di antara dua posisi). Sejak itu, paham ini berkembang menjadi satu aliran. Di atas telah disebutkan pokok ajaran mereka. Menurut mereka, Al-Quran makhluk, manusia berbuat dengan kehendaknya sendiri, tidak ada takdir, Tuhan tidak dapat dilihat, mengutus Rasul wajib bagi Allah.
Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free act). Orang pertama berpaham Qadariyah adalah Ma’bad alJuhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (predestination atau fatalism). Orang pertama berpaham Jabariyah adalah Ja’d ibn Dirham (w. 124 H). Kemudian, paham ini dikembangkan oleh muridnya Jahm ibn Safwan yang dihukum mati dan dibunuh pada tahun 127 H karena menurut dia sorga dan neraka akan binasa atau tidak kekal. Sekarang Agus Mustafa lahir di Indonesia membawa paham Jahm ibn Safwan ini dalam bukunya yang berjudul, Ternyata Akhirat Tidak Kekal.
Pendukung Ali dalam bahasa Arab disebut Syi’ah ‘Ali. Syi’ah ‘Ali juga membentuk aliran yang memiliki paham yang berbeda dengan lainnya. Syiah pun memiliki sekte-sekte. Ahlus Sunnah pun bermacam-macam pula yang pada garis besarnya ada dua, Salaf atau Salafi dan Khalaf. Paham Salaf diwakili Imam Ahmad ibn Hambal (w.241 H), Abu al Hasan al Asy’ari (w. 330 H) dan Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H), sedang paham Khalaf diwakili al Baqillani (w.403 H) dan al Juwaini (w. 478 H). Perbedaan pokok antara Salaf dan Khalaf adalah soal takwil.
Takwil berarti memberi makna kepada nas Alquran dan Hadis dengan makna yang jauh, tidak makna zahirnya. Misalnya, yadullah diartikan oleh Salaf dengan ‘tangan Allah.” Khalaf mengartikannya dengan ‘kekuasaan Allah.
Demikianlah lahir dan berkembang aliran-aliran dalam Islam. Masing-masing berkembang menjadi sekte-sekte. Sebagian sekte ini masih dalam lingkaran Islam dan sebagian lagi sudah tergelincir dari Islam. Misalnya, sekte ‘Ajaridah dari Khawarij tidak mengakui surat Yusuf sebagi bagian dari Alquran. Sebab, menurut mereka cerita porno tidak layak menjadi isi Kitab Suci Alquran.
Fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah ke dalam beberapa firqah (kelompok/golongan ) adalah persoalan politik. Dari masalah ini kemudian lahir berbagai kelompok dan aliran teologi dengan pandangan dan pendapat yang berbeda.
Baca Selengkapnya... … Pemikiran Kalam Jabbariyah dan Qodariyah (bag-1)
Category: 0 komentar

Pemikiran HMI dan Relevansinya

Judul buku : Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia

Pengarang : Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul

Penerbit : CV Misaka Galiza

Tebal Buku : 355 halaman

LATAR BELAKANG SEJARAH BERDIRINYA HMI

Seminar sejarah HMI yang berlangsung di Malang 11 tahun yang lalu tanggal 27-30 November 1975 menampilkan beberapa makalah dari tokoh-tokoh HMI baik yang senior maupun yang junior.Diantara makalah tersebut ada dua makalah yang menulis tentang latar belakang berdirinya HMI. Pertama, A. Dahlan Ranuwiharjo adalah seorang tokoh HMI, bahakan pada saat-saat kritis pernah menjadi Ketua Umum PB tahun 1953-1955, termasuk dalam barisan yang paling bdekat dengan awal kehadiran HMI. Kedua, Agussalim Sitompul yang membuat makalah tentang naskah yang mencakup sejarah HMI secara Nasional, sejak tahun 1947-1975 dengan judul Sejarah Perjuangan HMI.

Menurut A. Dahlan Ranuwiharjo latar belakang berdirinya HMI meliputi empat hal;

· pertama, karena Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang tidak memperhatikan kepentingan para mahasiswa beragama islam, ceramah-ceramah keagamaan tidak pernah diselenggarakan, tidak memikirkan kebutuhan para mahasiswa untuk Sholat Magrib karena kuliah berlangsung dari jam 16.30-20.30 WIB.

· Kedua, karena adanya dominasi Partai Sosialis terhadap PMY sebagai satu-satunya wadah mahasiswa pada waktu itu, sebagai satu strategi menguasai mahasiswa untuk tujuan kepentingan-kepentingan politik Partai Sosialis.

· Ketiga, karena adanya polarisasi politik di tanah air, PS di satu pihak dan Masyumi, PNI, Persatuan Perjuangan lain pihak.Polarisasi politik nitu membawa masyarakat mahasiswa, karena sebagian besar pengurus PMY berorientasi kepada Partai Sosialis, padahal banyak di antara mahasiswa yang tergabung dalam PMY tidak mau berorientasi kepada Partai Sosialis, mereka independent.

· Keempat, perlunya persatuan dikalangan mahasiswa menghadapi egresi Belanda, mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Apa yang diungkapkan poleh A. Dahlan Ranuwiharjo, memiliki beberapa persamaan dengan yang ditulis oleh Agussalim Sitompul. Menurut Agussalim Sitompul, untuk menelusuri latar belakang berdirinya HMI, ada factor-faktor dominant yang meliputi 3 hal, yaitu:

· Pertama, situasi Negara Republik Indonesia. Di mana dengan kedatangan bangsa Inggris, Portugis, Spanyol, dan Belanda ke Indonesia, di samping sebagai penjajah sekaligus membawa misi peradaban barat yang bercorak sekularis.

· Kedua, situasi umat islam Indonesia. Sangat dirasakan bahwa pengalaman, pemahaman ajaran islam di Indonesia berlaku ridak sebagaimana mestinya. Roh dan semangat islam tenggelam di tengah-tengah peradaban barat.

· Ketiga, situasi dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan. Akibat logis dari penjajahan Belanda, dunia pendidikan umumnya serta dunia perguruan tinggi dipengaruhi sistem pendidikan Barat, yang mengarah kepada sekularisme, mendangkalkan pemahaman dan penghayatan agama dalam setiap aspek kehidupan. Dengan pengaruh sekularisme tersebut maka PMY mengambil basis sebagai organisasi yang berhaluan komunis sehingga situasi perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan dilanda krisis keseimbangan. Krisis keseimbangan yang dimaksud adalah tidak adanya perpaduan antara pemenuhan tugas hidup didunia dan akhirat, akal dan budi, jasmani dan rohani.



Dari kedua kerangka dasar diatas secara konkrit dapatlah dideskripsikan latar belakang sejarah berdirinya HMI. Himpunan Mahasiswa Islam yang disingkat HMI didirikan di Yogyakarta tanggal 14 Rabiulawal 1366 H, bertepatan tanggal 5 Februari 1947 oleh para mahasiswa tingkat I Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang bernama Universitas Islam Indonesia (UII), yang dicetuskan dan diprakarsai Lafran Pane, tanpa campur tangan pihak luar, kecuali oleh mahasiswa sendiri, di dalam ruang kuliah, karena konfigurasi politik, agama islam, pendidikan, ekonomi dan kebudayaan yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia umumnya.

Konfigurasi yang dimaksud adalah:

1. Politik. Negara Republik Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Kedaulatan yang dicita-citakan Proklamasi 17 Agustus 1945 belum sepenuhnya berada ditangan bangsa Indonesia karena cengkraman dan dominasi kekuasaan Belaknda masih sangat kuat.

2. Ekonomi. Kondisi perekonomian bangsa Indonesia sangat jauh terbelakang, rakyat hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan karena semua kekayaan bumi bangsa Indonesia diperas untuk kepentingan politik Belanda. Adanya propaganda dari Belanda bahwa kaum muslimin cukup beribadah saja, berdoa, berpuasa, mengurusi mesjid, tidak pantas mengurusi perekonomian. Pemikiran seperti ini bertujuan untuk melemahkan potensi dan kekuatan umat islam yang seharusnya menganut prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat.

3. Pendidikan. Pendidikan bangsa Indonesia masih jauh terbelakang, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati pendidikan.Walaupun pada awal abad ke-20 sudah berdiri organisasi-organisasi islam dan nasional seperti Jami’atui Khair, Al-Irsyad, Muhammadiyyah dan Nahdatul Ulama namun masih terbatas dengan masalah dana. Pada umumnya pendidikan masih didominasi dengan sistem pendidikan Barat yang mengarah pada sekularisme.

4. Islam. Menurut Prof.Dr.Harun Nasution, dalam bukunya Islam Ditinja dari Berbagai Aspek mengatakan bahwa di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit karena kebanyakan masyarakat Indonesia mengenal Islam dari tiga aspek saja yaitu ibadat, fikih, tauhid, yang akhirnya menimbulkan pengertian yang tidak lengkap tentang Islam. Sementara menurut Lafran Pane dalam tulisannya yang berjudul Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia, menggambarkan kondisi sosiologi umat islam di mana tingkat pemahaman, pengalaman, dan penghayatan agama Islam disamping bagian terbesarnya melakukan agama Islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seumpamanya upacara kawin, mati, dan selamatan, masih ada 3 golongan lagi, yaitu:

· Pertama, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya, yang mengenal dan mempraktekkan agama Islam sesuai dengan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Golongan ini umumnya berpendapat supaya mempraktekkan agama Islam seperti yang dilakukan di negeri Arab 14 abad yang lalu tanpa memperhatikan tempat dan waktu di abad mana mereka hidup sehingga perubahan-perubahan dalam cara hidup dan alam pikiran mereka hampir-hampir tidak ada, selamanya statis.

· Kedua, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Golongan ini menganggap bahwa hidup ini hanya untuk kehidupan akhirat belaka. Mereka tidak memikirkan kehidupan dunia dan pendirian mereka bahwa kemiskinan dan penderitaan itu salah satu jalan untuk bersatu dengan Tuhan.

· Ketiga, golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman selaras dengan ujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha supaya ajaran Islam benar-benar dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata dalam masyarakat Islam.

5. Kebudayaan. Persoalan kebudayaan memang dan selalu kompleks dan sangat rumit. Islam sendiri menghadapi berbagai aliran kebudayaan di Indonesia seperti kebudayaan Barat, Komunis, Sosialis, serta kebudayaan yang dibawa oleh Kristen.



Kondisi-kondisi obyektif diatas yang mendorong berdirinya HMI. Kelahiran HMI merupakan keharusan sejarah, dan mempunyai arti dan tempat tersendiri dalam sejarah perjuangan nasional. HMI dengan idealisme pemikirannya telah ikut membuat sejarah, mewariskan suatu nilai perjuangan serta pemikiran, yakni kebulatan tekad: Mempertahankan Negara republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam, seperti tertuang dalam rumusan tujuan HMI yang pertama, pada waktu disahkan dan didirikan 5 Februari 1947.



PILAR-PILAR PERJUANGAN HMI

Ibarat bangunan, HMI terdiri dari beberapa pilar yang menopang kelahirannya. Pilar yang dimaksud disini adalah fase-fase perkembangan HMI. Setelah meninjau dan meneliti kembali sejarah perkembangan HMI, kini telah memasuki 8 fase. Fase-fase tersebut adalah:

1. Merintis Jalan Menuju Konsolidasi Spiritual

2. Menghadapi Batu Ujian Pertama

3. Perjuangan Bersenjata Menghadapi Penjajah Belanda dan Penghianatan PKI I

4. Pembinaan HMI sebagai Organisasi Kader dan Alat Perjuangan Bangsa

5. HMI Menghadapi Pengkhianatan PKI II

6. HMI Sebagai Penggerak Angkatan 6, Pelopor dan Pejuang Orde Baru

7. Partisipasi HMI dalam Pembangun.an

8. Pergolakan Pemikiran Tahun 1970-sekarang



Di dalam buku ini juga diuraikan peran HMI dalam kaitannya terhadap perjuangan Bangsa Indonesia yang dikaitkan dengan rumusan tujuan HMI ketika didirikan dimana tujuan HMI yang pertama dapat berfungsi sebagai tolak ukur sampai seberapa jauh HMI dapat memberikan partisipasi dalam membela, mempertahankan, membina, membangun Negara Republik Indonesia.

Berikut diuraikan 5 aspek rumusan pemikiran HMI pada awal berdirinya, yaitu:

a. Bidang Politik

Ajaran agama islam tidak mungkin disiarkan dan dikembangkan dengan baik dan sempurna kalau Negara Republik Indonesia masih dijajah Belanda. Oleh karena itu Proklamasi 17 Agustus 1945 harus dipertahankan agar bebas dari cengkraman penjajahan.

b. Bidang Ekonomi

Bangsa Indonesia hharus dimajukan bidang material sesuai Hadist Nabi kefakiran itu mengakibatkan kekafiran. Ekonominya harus dimajukan karena jika semakin baik dan kuat ekonomi orang Islam, otomatis akan membawa pengaruh positif bagi pertumbuhan dan perkembangan agama Islam di segala bidang

c. Bidang Pendidikan

Agama Islam tidak bisa maju dan berkembang dengan baik dan sempurna kalau rakyat Indonesia bodoh. Oleh sebab itu rakyat Indonesia harus dididik supaya cerdas, dengan mendapatkan pendidikan yang merata, terbebas dari kebodohan agar menjadi kader-kader penerus perjuangan bangsa di segala bidang

d. Bidang Agama

Lafran Pane berkeinginan agar agama Islam itu jangan hanya dimiliki mahasiswa STI saja, tetapi harus diikuti dan dipelajari mahasiswa di luar STI, baik di Yogyakarta maupun seluruh Indonesia. Oleh karena itu mutlak perlu adanya pembaharuan pemikiran Islam dikalangan umat Islam itu sendiri sehingga agama Islam dapat menampakkan wajahnya yang hakiki dimata masyarakat.

e. Bidang Kebudayaan

Dalam kondisi ini islam menghadapi berbagai macam kebudayaan, mulai dari kebudayaan Barat, Komunisme, Sosialisme, Kristen, katolik, dan Protestan. Kalau kebudayaan Islam tidak mampu bertanding maka derajat Islam akan merosot.

Selanjutnya di dalam buku ini memuat pidato-pidato Ketua Umum Pengurus Besar mulai dari peringatan Dies Natalis HMI yang ke 7 sampai yang ke 49. pidato-pidato yang disampaikan merupakan pemikiran HMI sepanjang sejarah terhadap kemajuan HMI dan Bangsa Indonesia.


HMI KINI DAN ESOK

Dalam perjalanannya HMI telah mencapai masa-masa gemilang dan cerah seperti diuraikan dibawah ini:

· Kondisi organisasi HMI yang telah merata di kota Perguruan Tinggi

· Dalam tingkatan sekarang ini HMI sudah mencapai tingkatan organisasi modern walaupun ridak luput dari kelemahan dan kekurangan

· Anggota dan alumni HMI banyak

· Pengalaman sejarahnya yang panjang dan berhasil

· Peranan pemuda, mahasiswa dalam kehidupan suatu negara adalah besar dan menentukan.Hal ini bisa disaksikan dalam moment-moment sejarah bangsa Indonesia tahun 1908, tahun 1928, tahun 1925, dan tahun 1966

· Pemikiran dan perjuangan HMI relevan dengan dimensi sejarah perjuangan bangsa Indonesia

· Aktivitas dan kegiatan HMI berorientasi untuk kepentingan anggotanya dan masyarakat luas

· Secara fisik memiliki asset nasional berupa 64 cabang penuh, 4 cabang persiapan, 9 buah Badan Koordinasi, 2 buah Badan Khusus, 11 buah Lembaga, dan 150.000 orang anggota.


Semua masa depan yang gemilang dan cerah itu tidak datang begitu saja, tetapi baru bisa dicapai tergantung kepada pengemudi organisasi sejak dari Pengurus Komisariat, Pengurus Cabang, Badan Koordinasi, Pengurus Besar, bahkan anggota dan Alumni HMI seluruhnya. Pengurus, Anggota, dan Alumni harus berani mengadakan koreksi terhadap diri sendiri dan menerima koreksi dari pihak lain agar tidak melakukan kesalahan terus menerus. Suatu tinjauan atau perenungan kembali atas sesuatu yang telah berlalu mungkin akan dapat membrikan motivasi baru dalam peningkatan aktivitas. Di samping itu, akan memberikan suatu pelajaran dan pengalaman untuk menjadi lebih bijaksana dalam mengemban amanat dan tugas Himpunan.

Dalam penjabaran isi buku ini, ada banyak hal yang dapat diambil manfaatnya. Membaca buku ini dapat memperkaya wawasan kita akan sejarah lahirnya organisasi HMI terkait dengan kondisi bangsa Indonesia pada saat itu. Buku ini mengupas secara rinci mulai dari tahapan-tahapan latar belakang berdirinya HMI sampai fase-fase perjuangan dan perkembangan yang dialami HMI dari masa ke masa dengan berbagai peristiwa yang dialami Bangsa Indonesia. Buku ini juga menyajikan naskah-naskah pidato Dies Natalis Ketua Umum Pengurus Besar HMI mulai dari Dies Natalis yang ke-7 sampai 49 walaupun tidak lengkap secara keseluruhan dan tidak berurut. Dengan adanya naskah pidato-pidato tersebut bisa menambah khazanah pemikiran anggota-anggota HMI dan mengetahui kondisi dan perjuangan HMI pada masanya.

Selain itu, buku ini juga melampirkan dokumentasi-dokumentasi tokoh-tokoh sejarah dan kondisi HMI sehingga memudahkan kita untuk mengenal para tokoh sejarah perjuangan HMI serta memiliki gambaran segala aktivitas dan perjuangan HMI. Penggunaan gaya bahasa di dalam buku ini sederhana sehingga tidak sulit untuk dipahami dan uraian sejarah yang disampaikan sistematis. Di akhir buku ini diberikan masukan-masukan yang ahrus dilakukan kader-kader HMI agar HMI dapat mengoreksi diri untuk terus bangkit dan mempertahankan eksistensinya. Buku ini bagus direkomendasikan untuk dibaca karena dengan membaca buku ini dapat memperkaya wawasan kita tentang sejarah perjuangan HMI dan bisa menyadarkan serta meningkatkan motivasi kita sebagai kader HMI untuk terus beraktivitas dalam mewujudkan tujuan HMI.
*) diresensi oleh: Ratna Sari
Baca Selengkapnya... … Pemikiran HMI dan Relevansinya
Category:

Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika

 
Judul : Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika *)

Pengarang : Prof. Dr. Kaelan, MS

Edisi : I

Penerbit : Paradigma, Yogyakarta

Tahun Terbit : 2009

Jumlah Halaman : 364 + viii


Pendahluan

Hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf, bahkan hal ini telah berlangsung sejak zaman Yunani. Suatu perubahan terpenting terjadi ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai contoh problem filsafat yang menyangkut pertanyaan, ‘keadilan’, ‘kebaikan’, ‘kebenaran’, ‘kewajiban’, ‘hakikat ada’ dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan denga menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi ini oleh ahli sejarah filsafat disebut sebagai ‘Filsafat Analitik’, yang berkembang di Eropa terutama di Inggris pada abad XX.

Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya non-empiris. Dengan demikian bahwa bahasa adalah sistem simbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya.

Akan tetapi dalam kenyataannya bahasa memiliki sejumlah kelemahan dalam hubungannya dengan ungkapan-ungkapan dalam aktifitas filsafat, antara lain; vagueness (kesamaran), inexplicitness (tidak eksplisit), ambiguity (ketaksaan), contex-dependence (tergantung pada konteks) dan misleadingness (menyesatkan). (Alston, 1964:6).

Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan secara verbal tentang aneka warna bunga mawar, tidak akan setepat dan sejelas pengamatan secara langsung tentang aneka bunga mawar tersebut.

Ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan. Kata ‘orang tua’ misalnya, dapat berarti ‘bapak-ibu’ ataupun orang yang memang sudah tua. Kesamaran dan ketaksaan bahasa tersebut disamping merupakan kelemahan bahasa untuk aktivitas filsafat juga sebaliknya justeru kelebihan bahasa manusia, yaitu bersifat ‘multifungsi’,selain berfungsi simbolik, bahasa juga memiliki fungsi ‘emotif’ dan ‘afektif’. Selain itu adanya sinonimi, hiponimi, maupun polisemi juga menjadi faktor kesamaran dan ketaksaan bahasa.

Metafisika adalah salah satu cabang filsafat di samping cabang-cabang lainnya. Aristoteles menamakan metafisika sebagai filsafat yang pertama, yang membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu. Untuk itu Aristoteles menyebutnya dengan istilah ‘sofia dan teologi’ (Steenberghen, 1970:8). Secara etimologis istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani ‘ta meta ta physica’ yang secara harfiah di balik fisika atau di balik hal-hal yang bersifat fisik. Andronikus menemukan bahwa sesudah karya-karya Aristoteles mengenai fisika, terdapat 14 buku tanpa nama dan ia menyebut empat belas karya tersebut dengan ‘buku-buku yang datang sesudah fisika’. Dalam buku-buku ini ia menemukan pembahasan mengenai realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada yang tidak ada di dunia fisik. Kesimpulannya adalah terdapat hal-hal yang bersifat metafisik. (Bagus, 1991:18).

Aristoteles menjelaskan tentang 10 kategori yaitu meliputi substansi yang merupakan hakikat dari segala sesuatu yang bersifat fundamental, dan sembilan aksidensia. Keberadaan aksiden tergantung dan terlekat pada substansi yang meliputi:

1) Kuantitas, yaitu unsur fisis dari segala sesuatu yang meliputi luas, bentuk dan berat sehingga menempati ruang tertentu, tempat tertentu.

2) Kualitas, berkaitan dengan aksidensia sifat-sifat terutama sifat-sifat yang dapat ditangkap oleh indera (untuk substansi yang memiliki kuantitas).

3) Aksi, yaitu yang menyangkut perubahan dinamika segala sesuatu yang ada dan yang mungkin terjadi.

4) Passi, menyangkut penerimaan perubahan yang dikaitkan dengan sesuatu yang lain.

5) Relasi, setiap hal termasuk benda senantiasa memiliki hubungan dengan sesuatu yang lainnya.

6) Tempat, segala sesuatu di alam semesta ini mengambil ruangan di mana sesuatu itu berada, hal itu dikarenakan substansi memiliki kuantitas.

7) Waktu, segala sesuatu di dalam alam semesta ini berada dalam suatu waktu tertentu, kapan sesuatu itu berada dan kapan sesuatu itu tidak berada kembali.

8) Keadaan, yaitu bagaimana sesuatu itu berada di tempatnya.

9) Kedudukan, bagaimana sesuatu itu berada di samping sesutu yang lainnya.



Epitemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok, secara etimologis istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani ‘episteme’ yang berarti pengetahuan. Berdasarkan bidang pembahasannya epsitemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran pengetahuan manusia. Bilamana dirinci persoalan-persoalan epistemologi meliputi bidang sebagai berikut:

(1) Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Hal ini semua merupakan problem asal pengetahuan manusia.

(2) Apakah watak dari pengetahuan itu? Adakah dunia yang reak du luar akal manusia, dan kalau ada dapatkah kita mengetahuinya? Hal ini semuanya merupakan problema penampilan terhadap realitas.

(3) Apakah pengetahuan kita benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Hal ini merupakan problema kebenaran pengetahuan manusia. (Titus, 1984:20).

Berdasarkan analisis problema dasar epistemologi tersebut maka dua masalah pokok sangat ditentukan oleh formulasi bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang pengetahuannya meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori.

Selain dalam pengetahuan apriori peran penting bahasa dalam epistmologi berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemologi, yaitu:

(1) Koherensi, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

(2) Korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berkorespondensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.

(3) Pragmatis, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar bilamana pernyataan itu memiliki kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. (Suriasumantri, 1984:55-59).

Dalam ranah logika dan penalaran, bahasa juga mengalami probel. Ketidaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Kesesatan karena bahasa itu biasanya hilang atau berubah kalau penalaran dari satu bahasa disalin ke dalam bahasa yang lain. Kalau penalaran itu diberi bentuk lambang, kesesatan itu akan hilang sama sekali, karena itu lambang-lambang dalam logika diciptakan untuk menghindari ketidakpastian arti dalam bahasa. Berikut beberapa kesalahan dalam bahasa.
Kesesatan karena aksen atau tekanan

Dalam ucapan tiap-tiap kata ada suku kata yang diberi tekanan. Perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti, maka kurang perhatian terhadap tekanan ucapan dapat mengakibatkan perbedaan arti dan kesesatan penalaran. Contoh:

Tiap pagi pasukan mengadakan apel.

Apel itu buah.

Jadi: tiap pagi pasukan mengadakan buah
Kesesatan karena term ekuivok

Term ekuivok yaitu term yang mempunyai lebih dari satu arti. Kalau dalam satu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Contoh:

Sifat abadi adalah sifat Tuhan.

Joko adalah mahasiswa abadi.

Jadi: Joko adalah mahasiswa yang memiliki sifat Tuhan.
Kesesatan karena arti kiasan (metaphor)

Ada analogi antara arti kiasan dengan arti sebenarnya, artinya terdapat kesamaan dan ada juga perbedaan perbedaannya. Kalau dalam penalaran sebuah arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya, terjadilah kesesatan karena arti kiasan.
Kesesatan karena amfiboli (amphibolia)

Ampiboli terjadi kalau konstruksi kalimat itu sedemikian rupa, sehingga artinya menjadi bercabang. Contoh:

Mahasiswa yang duduk di atas meja yang paling depan.

Apa yang paling depan, mahasiswanya atau mejanya?

Berdasarkan paparan di atas maka pembahasan filsafat bahasa meliputi masalah sebagai berikut:

Pertama, salah satu tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep (conceptual analysis), oleh karena itu salah satu bidang filsafat bahasa adalah untuk memberikan analisis yang adekuat tentang konsep-konsep dasar dan hal ini dilakukan melalui analisis bahasa.

Kedua, tidaklah tepat bilamana lingkup pembahasan filsafat bahasa itu berkaitan dengan filsafat analitik. Lingkup lain filsafat bahasa adalah berkenaan dengan penggunaan dan fungsi bahasa, yaitu pembahasan tentang bahasa dalam hubungannya dengan penggunaan bagi tindakan manusia.

Ketiga, berkenaan dengan teori makna dan dimensi-dimensi makna. Pembahasan tentang lingkup inilah filsafat memiliki keterkaitan erat dengan linguistik, yaitu bidang semantik.

Keempat, selain masalah-masalah tersebut di atas, filsafat bahasa – sebagaimana cabang-cabang filsafat lainnya – membahas hakikat bahasa sebagai objek materia filsafat, bahkan lingkup pembahasan ini telah lama ditekuni oleh para filsuf. Antara lain hakikat bahasa secara ontologis sebagai dualisme bentuk dan makna, hakikat bahasa sebagai substansi dan bentuk, dan lain sebagainya. (Kaelan, 2002: 22).



KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAHASA

Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya semakin kental, dan kemudian muncul persoalan filosofis yaitu apakah bahasa dikuasai oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.

Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisesi) yaitu bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak. Kaum naturalis dengan tokohnya seperti Cratylus dalam dialog Plato mengatakan bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ia tunjuk, jadi ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud.

Sebaiknya kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit agreement’ yang artinya ‘persetujuan diam’. Karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dan dapat berubah dalam perjalanan zaman. Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan bahasa bersifat konvensional. Dalam dialog Plato pendapat ini diwakili oleh tokoh yang dikenal saat itu Hermogenes.

Protagoras salah satu tokoh kaum sofis Athena membedakan tipe-tipe kalimat atas tujuh tipe yaitu; narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa, dan undangan. Hal ini nampaknya mirip dengan konsep J.L. Austin yang membedakan bahasa atas tindakan dalam menggunakan bahasa. Adapun Georgias membedakan tentang gaya bahasa yang dewasa ini dikenal dalam studi bahasa secara luas. (Parera, 1977:42).

Protagoras menyatakan bahwa manusia adalah pusat semesta, dan manusia adalah segala-galanya. Kaum sofis menemukan pendekatan baru yang lebih sederhana untuk bahasa manusia, untuk itu mereka mengembangkan cabang pengetahuan baru, yaitu ‘retorika’. Dalam defenisi meeka tentang kebijaksanaan (sophia), retorika menduduki tempat sentral. Semua pertikaian tentang kebenaran atau ketepatan (orthotes), istilah dan kata menjadi sia-sia dan berlebihan. Tugas bahasa bukanlah untuk merefleksikan benda-benda, tapi hanya untuk membangkitkan emosi manusia, bukan hanya untuk menyampaikan gagasan-gagasan atau pikiran saja, tapi lebih mendorong agar manusia melakukan suatu tindakan. (Cassirer, 1987:173).

Menganggapi kondisi kacau balau akibat kelicinan kaum sofis ini, Sokrates merasa terpanggil untuk meluruskannya dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’. Proses dialektis kritis dalam hal ini mengandung pengertian “dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan antar-ide” (Titus, 1984:17).

Plato mengatakan hubungan antara simbol dengan objeknya haruslah natural tidak semata-mata konvesional. Tanpa hubungan natural seperti itu, suatu kata dalam perbendaharaan bahasa manusia tak akan dapat dipahami. Bila pengandaian ini bersumber pada teori bahasa maka diperlukan suatu upaya pemecahannya. Dalam persoalan ini Plato mengemukakan doktrin onomatopoeia (Cassier, 1987: 171).

Aristoteles mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam benda-benda jasmani sendiri. Materi adalah suatu kemungkinan belaka untuk menerima suatu bentuk (Bertens, 1989: 15).

Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia layak mendapat gelar ‘bapak filsafat modern’. Menurut Descartes yang dipandang sebagai pengetahuan yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah, artinya bahwa gagasan-gagasan atau ide itu harus dapat dibedakan dengan ide-ide lain. Pengamatan inderawi tidak memberikan keterangan tentang hakikat dan sifat-sifat dunia di luar kita. Hanya pemikiran yang jelas dan terpilah yang dapat mengajar secara sempurna tentang hakikat segala sesuatu melalui pengertian-pengertian secara langsung dan jelas. Yang diketahui pikiran secara langsung dan tanpa melalui perantara adalah dirinya semata-mata, sedangkan hal-hal diluar diri diketahui secara tidak langsung. Oleh karena itu, untuk mencapai kebenaran yang kedap dengan keraguan dapat dilakukan dengan metode:

a. Bertolak dari keraguan metodis bahwa tidak ada yang diterima sebagai sesuatu yang benar.

b. Semua bahan yang diteliti dibagi dalam sebanyak mungkin bagian.

c. Sistematika pikiran dimulai dari objek yang sederhana sampai pada pengertian yang lebih kompleks.

d. Tinjauan maasalah yang lebih universal, sehingga ditemukan kepastian. (Bakker, 1984: 74-78).

Hanya satu hal yang tidak dapat diragukan Descartes yaitu bahwa cogito ergo sum ‘aku berpikir maka aku ada’.

Menurut John Locke seagala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapat. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri, namum diperolehnya dari luar akal melalui indera (Hadiwijono, 1983: 36). Semula akal semacam secarik kertas yang putih bersih ‘as a white paper’ tanpa tulisan dan seluruh isinya berasal dari pengalaman inderawi (Bertens, 1989: 51).



SEMIOTIKA

Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani ‘semeion’ yang berarti ‘tanda’ atau ‘seme’ yang berarti penafsiran tanda (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika atau semiologi menurut Barthes, pada prinsipnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal, segala sesuatu. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam arti dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, melainkan juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53). Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64).

Dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang serba beragam ini, agar setidaknya kita dapat memiliki pegangan. Sehingga semiotika juga dapat dikatakan sebagai disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi dengan menggunakan tanda (sign) berdasarkan pada sign system (code) (Sergers, 2000:4).

Berdasarkan tingkatan hubungan semiotika, Nauta membedakan menjadi tiga tingkatan yaitu syntactic level (tingkatan sintaktik), semantic level (tingkatan semantik) dan pragmatic level (tingkatan pragamatik). Berdasarkan lingkup pembahasannya semiotika dibedakan menjadi semiotika murni (pure), semiotika deskriptif (descriptive) dan semiotika terapan (applied). (Sobur, 2004:19).

Menurut Ferdinand de Saussure sedikitnya ada lima hal dalam semiotika, yaitu:

(1) Signifer (penanda) dan signified (petanda), tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda. Dengan kata lain, penanda adalah bunyi atau coretan yan bermakna. Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. (Bertens, 2001: 180).

(2) Form and content (bentuk dan materi/isi), untuk membedakan antara form dan content Saussure mencontohkan misalnya setiap hari kita menaiki kereta api Parahayangan Bandung-Jakarta sehingga kita katakan bahwa kita menaiki kereta api yang sama setiap hari, tetapi pada dasarnya kita menaiki kereta api yang berbeda, karena boleh jadi susunan gerbong dan lokomotifnya berubah. Apa yang ‘tetap’ sehingga kita katakan kita naik kereta api yang sama, tidak lain adalah wadah kereta api tersebut, sementara isinya berubah-ubah. Lalu persoalannya yang membuat suatu kata berbeda dalam phonic dan conceptual form-nya? Saussure mengatakan bahwa suatu kata distinctive form-nya atau bentuk khasnya, tidak lain adalah diffrensiasi sistematis yang ada antara setiap kata dengan kata-kata lain. Kata kalam, misalnya, dibedakan menurut suaranya dengan kata salam dan malam, namun secara konseptual kata tersebut dibedakan dengan buku, kertas, tinta dan sebagainya. Perbedaan yang memisahkan satu kata dengan kata lainnya itulah yang menjadi identitas pada kata tersebut. Sehingga kata padi tidak persis sama dengan kata rice dalam bahasa Inggris, karena kata padi terbedakan dari kata rice. Artinya bahwa padi bukanlah diferensiasi sistem arti dalam bahasa Inggris. (Sobur, 2004:48).

(3) Langue and parole (bahasa dan tutur), objek yang tidak tergantung pada materi tanda yang membentuknya disebut langue, tapi disamping itu terdapat parole yang mencakup bagian bahasa yang sepenuhnya bersifat individual (bunyi, realisasi aturan-aturan, dan kombinasi tanda) (Sobur, 2004:49). Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa yang sebagaimana terlihat dalam penggunaannya.

(4) Synchronic and diachronic (sinkronik dan diakronik), menurut Saussure linguistik harus memperhatikan sinkronik sebelum menghiraukan diakronik. Sinkronik adalah studi bahasa tanpa mempersoalkan urutan waktu, sedangkan diakronik adalah sebaliknya, studi bahasa yang memperhatikan deskripsi perkembangan sejarah (waktu). Saussure mengatakan lingustik komparatif-historis harus membandingkan bahasa sebagi system. Oleh sebab itu, system terlebih dahulu musti dilukiskan tersendiri menurut prinsip sinkronis. Tak ada manfaatnya mempelajari evolusi atau perkembangan satu unsur bahasa, terlepas dari system dimana unsur itu berfungsi.

(5) Syntagmatic and associative (sintagmatik dan paradigmatik), contoh sederhana. Jika kita mengambil sekumpulan tanda, “seekor kucing berbaring di atas karpet”. Maka satu elemen tertentu-kata ‘kucing’, menjadi bermakna sebab ia memang bisa dibedakan dengan ‘seekor’, ‘berbaring’ atau ‘karpet’. Kemudian jika digabungkan seluruh kata akan menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda yang berurut secara logis). Malalui cara ini, ‘kucing’ bisa dikatakan memiliki hubungan paradigmatik (hubungan yang saling menggantikan) dengan ‘singa’ dan ‘harimau’.



HERMENEUTIKA

Frederich Schleiermacher (1768-1834) berpendapat bahwa semua karya, baik berupa dokumen hukum, kitab suci, atau karya sastra pada hakikatnya sama, yaitu pemahaman merupakan masalah pokok semua bacaan. Semua teks tertulis termanifestasikan melalui bahasa, oleh karena itu bilamana prinsip-prinsip pemahaman melalui bahasa dapat dirumuskan, maka terwujudlah hermeneutika umum.

“Semenjak seni berbicara, dan seni memahami berhubungan satu dengan yang lain, maka bebicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir dan hermeneutika adalah merupakan bagian dari seni berpikir itu sehingga bersifat filosofis (Schleiermacher, 1977:77).

Hermeneutika adalah proses kejiwaan, suatu seni untuk menentukan atau merekonstruksi suatu proses batin. Menurut Schleiermacher “bukan aku yang berpikir”, tapi ‘objective geist’ yang berpikir dalam diriku. “Objective geist” bereksistensi dalam komuniasi manusia, ekspresi dan pemakaian bahasa. Hubungan antarpersonal dalam kehidupan merupakan sesuatu yang fundamental bagi keberadaan manusia. Oleh karena itu dalam suatu analisis teks, memahami proses batin penulis teks adalah bukan sesuatu kemustahilan.

Tugas hermeneutika menurut Dilthey adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan-pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sebelum interpretasi yang sesungguhnya dapat dimulai, maka dituntut adanya suatu latarbelakang pengetahuan. Pengetahuan tersebut harus bersifat gramatikal kebahasaan serta bersifat sejarah, maksudnya agar kita mempunyai alat dalam mempertimbangkan karya, yang ada mengenai lingkungan munculnya karya dan bahasa yang dipakai dalam karya tersebut. Dengan pengetahuan tersebut kita mendekati tugas interpretasi. Interpretasi nampaknya niscaya berupa suatu proses yang melingkar, yaitu setiap bagian dan suatu karya sastra misalnya dapat ditangkap lewat keseluruhannya. Kemudian sebaliknya keseluruhannya hanya dapat ditangkap lewat bagian-bagiannya.

Martin Heidegger mengatakan, “Kalau dilihat dari penampakannya saja, maka sebenarnya bahasa tidak mengatakan apa-apa. Hal ini memang tidak menampakkan apa-apa selama yang kita dengar adalah kalimat yang diungkapkan lalu kalimat itu diuji dengan logika. Akan tetapi bagaimana halnya bilamana yang dikatakan itu sebagai pembimbing pemikiran kita” (Heidegger, 1962:24).

Menurut Heidegger bahasa tidaklah mungkin diformulasi dengan logika yang ketat, karena dengan demikian, justeru tidak menunjukkan hakikat bahasa yang sesungguhnya. Oleh karena itu hakikat bahasa ditunjukkan dengan berpikir dan berkata atau mengungkapkan sesuatu, sebab dengan demikian bahasa akan benar-benar berupaya untuk menampakkan ‘das sein’. Berkata atau mengungkapkan yang sesungguhnya adalah memberitahukan, menampakkan atau menujukkan ‘das sein’, sehingga membuatnya menjadi terbuka berpikir dan mengungkapkan suatu kata adalah ‘sein lassen’ (membicarakan peristiwa ada). Di dalam berpikir dan berkata, maka akan terciptalah ruang yang dibutuhkan bagi penampakan atau tampilnya ‘das sein’. Bahasa dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa ‘das sein’ atau ‘ada’. (Poespoprodjo, 1987:90).

Setelah menimba gagasan dari Hegel dan Husserl, Jacques Derrida ingin menunjukkan bahwa bahasa tidak lain adalah intensionalitas. Husserl telah menujukkan perbedaan antara ‘noesis’ (pikiran) dengan ‘noema’ (yang dipikirkan). Seperti misalnya seseorang melihat sebuah pohon, harus dibedakan antara siapa yang melihat dengan dari sudut mana pohon itu dilihat. Sebab seorang tukang kayu dengan seorang pematung akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pohon yang dilihatnya itu.

Derrida menyatakan bahwa sebuah teks tidak akan mrupakan teks jikalau dalam pandangan sekilas tidak menyembunyikan hukum-hukum, komposisinya dan aturan permainannya. Teks tersebut harus selalu kelihatan seakan-akan sulit dimengerti. Hukum dan aturan-aturannya tidak boleh tersembunyi di balik rahasia yang sulit dipecahkan. Hukum dan aturan-aturan itu tidak boleh keliahatan rahasia hukum dan aturan-aturan itu terlalu cepat diketahui oleh akal, maka akan selalu timbul resiko. Lalu bagaimana kita menghindarkan ‘ketidakkelihatannya’ hukum-hukum dan aturan-aturan tersebut. Untuk membuka kedok penyamaran susunan tersebut, menurutnya memerlukan waktu berabad-abad (Derrida, 1972: 70).

Derrida dengan mengutip berbagai macam pendapat para filsuf, sampailah pada pandangannya, bahwa secara ontologis tulisan mendahului ucapan. Tulisan dapat mejadi jejak yang bisu, namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan yang belum dapat terkatakan. Yang mendahuli tulisan daripada ucapan hanyalah yang berasal dari alam, bukan dari waktu. Menurut Derrida tulisan adalah barang ‘asing’ yang masuk ke dalam sistem bahasa (Derrida, 1967:44). Sudah menjadi suatu keyakinan umum bahwa penulisan abjad menghadirkan ucapan dan sesaat kemudian hilang dibalik kata-kata yang diucapkannya (Derrida, 1972:36).

Tulisan akan menghilang ketika ucapan akan mencapai kesempurnaannya, dan akan sepenuhnya ditampilkan dalam pemindahan sistem penulisannya dan segera hadir pada subjek yang mengucapkannya, dan pada ucapannya itu tulisan memperoleh arti, isi serta nilainya.

Derrida berkeyakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan, karena ucapan itu makna yang tertunda kehadirannya sudah terdapat di dalam tulisan. Hal ini mengingatkan kita pada logos atau akal pikiran. Sebab jikalau seseorang berpikir, ia membentuk konsep di dalam bahasa yaitu logos yang mengandaikan makna. Konsep ini kemudian dipindahkan ke dalam ucapan atau kata yang diucapkan yang mengikuti aturan-aturan atau kaidah-kaidah tata bahasa dalam suatu bahasa. Bahkan di balik kata-kata yang diucapkan sudah terdapat logos yang menentukan unsur-unsur tulisan. Logos atau kata-kata konseptual itu dihasilkan oleh bahasa, walaupun adanya mendahului bahasa. Untuk dapat berbicara kita harus membedakan kata-kata. Namun makna ucapan pembicara ditunda dulu sampai ucapan itu selesai. Oleh karena itu dalam berbicara atau percakapan terdapat penantian harapan akan makna semacam itu serta arti yang datang dan pergi, sehingga akhirnya orang memahami pesan yang terdapat di dalam sebuah ucapan dari suatu proses komunikasi bahasa. Derrida mengatakan bahwa gerakan makna tidak akan mungkin bila setiap unsurnya tidak ‘hadir’ atau tampil. Adapun yang muncul sebagai yang menampakkan diri dan berhubungan dengan hal-hal berikut ini mempertahankan tanda unsur yang lampau dalam dirinya sendiri dan membiarkan dirinya dilipat oleh tanda pertaliannya dengan masa yang akan datang, jejaknya ditemukan tidak hanya pada masa yang akan datang, namun pada masa lalunya dan menentukan kehadirannya melalui pertaliannya dengan sesuatu yang lain dan bukan dengan dirinya sendiri, bukan pula dengan masa lalu, masa depan atau dengan masa sekarangnya yang telah tergambarkan. Sebuah interval harus berada di antara yang ada (hadir) dan yang tidak ada (tidak hadir), agar supaya makna tampil dalam konteks saat ini (Derrida, 1972:13).
 
*) Diresume oleh: Wiwid Kurniandi As
Baca Selengkapnya... … Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika
Category:

MENGHADIRKAN CAHAYA TUHAN

Judul Asli : The Principles of Epsitemology in Islamic Philosophy; Knowledge by Presence

Judul Terjemahan : Menghadirkan Cahaya Tuhan; Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam.

Pengarang : Mehdi Ha'iri Yazdi

Penerjemah : Ahsin Muhammad

Edisi : I

Penerbit : Mizan, Bandung

Tahun Terbit : 2003

Jumlah Halaman : 364



Pendahuluan

Meskipun telah lazim dalam berbagai refleksi epistemologis yang mengkaji hakikat pengetahuan manusia, pertanyaan praepistemik yang mendasar mengenai hubungan antara pengetahuan dan pemilik pengetahuan masih belum terjawab. Dapat dikemukakan secara ringkas bahwa yang menarik perhatian penyelidikan filosofis adalah pertimbangan mengapa dan bagaimana subjek yang mengetahui, dengan atau tanpa mengetahui dirinya sendiri, menjadi satu atau terkait dengan objek eksternal ketika objek tersebut diketahui.

1. Sejarah Ilmu Huduri

Sejak zaman Plato dan Aristoteles, arus utama tradisi epistemologi telah berselisih pendapat dalam masalah yang paling mendasar tentang pengetahuan akal (intelek) manusia dan melahirkan dua jalur yang berbeda secara diametris. Pertama, terdapat pandangan Platonik yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan refleksi intelektual oleh akal pikiran manusia tentang objek-objek yang unik, sederhana, universal, tak berubah dan nonmaterial. Kedua, pandangan Aristotelian menegaskan kenyataan bahwa tidak ada keindentikan antara “melihat” dan “mengetahui” karena mengetahui tidak pernah berarti melihat jika tidak ada objek-objek intelligible untuk bisa dilihat.

Pada prinsipnya, pendekatan Islam menunjukkan bahwa kedua sistem epistemologi yang tampaknya berlawanan itu, Platonik dan Aristotelian, bisa digunakan dalam sebuah kerangka filosofis yang sederhana dengan tujuan agar sampai pada solusi yang memuaskan terhadap masalah pengetahuan manusia. Dalam hal ini filsafat Islam berpendirian bahwa pikiran pda hakikatnya dikonstitusi untuk berfungsi dalam berbagai cara pada waktu yang sama, di satu sisi bersifat perseptif terhadap substansi-substansi intelligible dan di lain pihak bersifat spekulatif terhadap objek-objek yang bisa terindrai. Metode filsafat ini dirintis oleh kaum Neoplatonis “pagan” yang bermula dari Plotinus dan berakhir pada Proclus di Barat. Bermula dari gagasan “emanasi”, “pemahaman dengan kehadiran” dan “pencerahan” semuanya berfungsi sebagai langkah-langkah menuju pandangan filsafat Islam mengenai landasan ontologis tertinggi dari semua pengetahuan. Elaborasi arus utama penafsiran Islam mengenai filsafat Hellenik dan Hellenistik pada akhirnya membawa pada munculnya sistem iluminasi dalam filsafat Islam, yang didasarkan pada kebenaran logis ilmu hudhuri.

Teori Al-Farabi tentang bentuk-bentuk Ilahiah dan pengetahuan Tuhan menunjukkan bahwa univokalitas makna ungkapan-ungkapan ini bisa dipertahankan dengan mempertimbangkan keberagaman derajat maknanya, bukan dengan menuntut keseragaman ataupun keserupaan dalam acuan-acuan teramati dari ungkapan-ungkapan ini.

Teori Ibn Sina tentang pengetahuan manusia dalam analisisnya yang terkenal mengenai “emanasi” yaitu sementara Akal Aktif tetap berada dalam tatanan wujud yang terpisah-transenden, tak berubah dan mutlak tak terusakan, ia memunculkan dalam pikiran manusia semua bentuk pengetahuan dari potensialitas total menjadi aktualitas gradual.

Al-Ghazali berpendapat tentang cahaya adalah ungkapan bagi sesuatu yang terlihat dengan sendirinya dan menjadikan hal-hal lain terlihat.

Teori Ibn Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif bukanlah bagian dari hakikat akal manusia; tetapi, yang disebut belakangan ini, dirancang untuk berangkat dari potensi ke aksi melalui proses unifikasi dengan yang pertama sebagai sumber aktualisasi pengetahuan intelektual yang terus berkembang. Dan dia berupaya menegakkan analogi antara “yang menyerupai bentuk” dan “materi”. Ibn Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif sebagai sejenis bentuk, bersatu dengan akal manusia, mungkin sebagai materinya, membentuk apa yang diistilahkan sebagai akal material.

Doktrin Ibn Arabi tentang “kesatuan wujud” (wahdah al-wujud) didasarkan pada proposisi bahwa seluruh realitas eksistensi dan apa yang benar-benar eksis (al-wujud wa al-maujud) adalah mutlah satu dan sama, dan bahwa semua ragam bagian, unsure, kumpulan, atau kejamakan di alam realitas, baik yang bersifat indrawi maupun intelektual, hanyalah semata-mata “ilusi” yang bermain dalam pikiran kita bagaikan bayangan kedua dari sebuah benda, yang bermain dalam bola mata orang yang juling.

Sedangkan penjelasan iluminatif mengenai ilmu hudhuri dikemukakan oleh Suharwadi dalam filsafat iluminasi yang didasarkan sepenuhnya pada dimensi pengetahuan manusia yang identik dengan status ontologism wujud manusia itu sendiri.

Terdapat juga filsafat “eksistensialis” Islam yang didirikan oleh Shadr Al-Din Syirazi (Mulla Shadra) yang menyebut metodologi pemikirannya “metafilsafat” (al-hikmah al-muta’aliyyah). Upayanya adalah dengan memberikan sebuah makna yang bersifat univok, segera dan primordial kepada istilah “eksistensi”.

Tujuan paparan historis ini adalah menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi ketika kita sampai pada realitas kesadaran ontologis yang mendasar, yang didalamnya kebenaran eksistensial subjek yang mengetahui dan “kesadaran kesatuannya” serta objek yang diketahui, menjadi satu.



2. Objek Imanen dan Objek Transitif

Pengetahuan manusia memiliki distingsi antara “subjek “ dan “objek”. Ini merupakan anteseden yang salah satu konsekuensi logisnya adalah perkembangan distingsi lain yang dilakukan oleh beberapa filosof antara “objek subjektif” dan “objek objektif” atau dalam terminologi kita “objek imanen” dan “objek transitif”. Istilah “subjek” berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui sesuatu, sebagaimana halnya istilah “objek” mengacu kepada benda atau proposisi yang diketahui oleh subjek tersebut.

Eksistensi eksternal objek, karena secara prima facie independent dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan intelektual subjek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya. Akan tetapi, eksistensi mental objek yang sama, karena hadir dalam pikiran, merupakan kausa bagi kausalitas subjek.

Makna ganda objektivitas yang mencirikan satu entitas tunggal sebagai objek imanen maupun objek transitif. Dimana objek imanen datang lebih dahulu dan menjadi representasi mental dari hal yang diketahui. Di lain pihak, objek transitif datang belakangan karena ia adalah realitas prospektif dari objek ideal tersebut. Teori pengetahuan tiga serangkai dimana subjek sebagai yang mengetahui, objek sebagai hal yang diketahui dan hubungan antara keduanya sebagai mengetahui, menjelaskan bahwa seluruh konstitusi tindak pengetahuan yang intensional. Objek dalam kaitannya dengan mengetahui harus dipahami dalam dua arti yang berbeda; arti yang pertama adalah “sesuatu yang dekat, imanen, dan identik dengan eksistensi subjek yang mengetahui”; yang kedua adalah “sesuatu yang transitif dan independent, yang eksistensinya terletak diluar, dan bersifat eksterior terhadap eksistensi subjek.

Fungsi ditingsi objek ganda ini adalah

- untuk menunjukkan bagaimana kedua jenis objek ini saling terkait

- menjelaskan keterkaitan antara dunia eksistensi eksternal dan eksestensi internal,

- memungkinkan kita memahami bahwa dalam pengetahuan kita tentang dunia eksternal selalu terdapat esensialitas yang tergabung dengan pengertian probabilitas dalam hubungan antara kedua jenis objek ini.

Hubungan antara mengetahui atau mempersepsi dan objek objektif bersifat aksidental sedangkan hubungannya dengan objek subjektif bersifat esensial.

Jika objek-objek yang transitif, independent dan eksternal dalam kasus pengetahuan, secara eksistensial identik dengan objek imanen yang sepenuhnya bergantung pada pikiran kita, ini adalah kontradiksi pelik. Jawaban atas kontardiksi ini adalah:
konformitas antara objek eksternal dan objek internal hendaknya dipahami sebagai hubungan korespondensi antara objek imanen dan objek transitif,
tesis Aristotelian tentang identitas sangat mungkin sekali membutuhkan pengertian identitas eksistensial yang kuat tentang tindak pemahaman dengan objek imanen yang dipahami secara esensial dan bukan dengan objek transitif yang dipahami hanya secara aksidental.

Objek yang terlibat dalam konsep pengetahuan adalah:
  • objek imanen
  • internal
  • esensial

Mengenai objektivitas ganda data-indrawi, Bertrand Russel menulis bahwa dalam masalah data indrawi,, kita melihat bahwa, bahkan jika objek fisik memang memiliki eksistensi independent, mereka mesti sangat jauh berbeda dari data-indrawi dan hanya bisa memiliki korespondensi dengan data indrawi dengan cara yang sama seperti sebuah katalog memiliki korespondensi dengan apa-apa yang dikatalogkan.

Kritis terhadap ungkapan Russel ini menyebutkan bahwa implikasinya adalah bahwa seandainya ada objek-objek fisik itu berhak menjadi objek-objek objektif yang berkoresponden dengan entitas-entitas mental yang mesti disebut objek-objek subjektif atau seperti dikatakan Russel, data-indrawi.

Dengan mempertimbangkan eksistensi objek-objek fisik sebagai sama sekali tak bergantung pada dan tak terpengaruh oleh tindak mental mengtahui kita, maka pokok pembicaraannya menjadi jelas bahwa sifat eksistensi seperti itu selalu terletak di luar kecermelangan mentalitas eksistensialitas kita, dan tak pernaj identik dengannya. Keadaan “tak tergantung”, “tak terpengaruh” dan “berada di luar” ini diungkapkan oleh filsafat iluminasi sebagai keadaan “tak hadir” dan objek-objek yang termasuk dalam keadaan ini diungkapkan sebagai “objek-objek tak hadir”. Ini berurusan dengan kata “tak hadir”. Sedangkan, tentang kata “hadir” filsafat iluminasi, dengan landasan yang sama, memandangnya dalam pengertian kondisi keidentikan eksistensi pikiran dengan eksistensi aksi-aksi mental dan entitas-entitas mentalnya. Entitas-entitas yang dihadirkan dalam kondisi identitas dalam pikiran subjek yang mengetahui disebut sebagai “objek-objek hadir”.

Jadi perbedaan antara objek imanen dan objek transitif adalah

a. objek-objek imanen, intrinsik dan wajib yang merupakan bagian dari aksi subjek yang mengetahui,

b. objek-objek transitif, ekstrinsik dan aksidental yang tidak hadir dalam pikiran dan berada di luar tindak mengetahui.

Sedangkan hubungan antara kedua objek ini adalah hubungan korespondensi, bukan identitas.



3. Pengetahuan Dengan Kehadiran Dan Pengetahuan Dengan Korespondensi

Dalam eksistensi mentalnya, kesatuan ini pada awalnya sederhana. Akan tetapi, perenungan mengenai kesatuan ini dapat secara sah memecah kesederhanaannya menjadi tiga bagian sehingga bisa dianalisis melalui perenungan tentang tindak “mengetahui”, subjek “yang mengetahui” dan objek “yang diketahui.

Ciri ilmu hudhuri yaitu:
kebebasannya dari dualisme kebenaran dan kesalahan,
kebebasannya dari pembedaan antara pengetahuan dengan “konsepsi” dan pengetahuan dengan “kepercayaan”.

Arti korespondensi yang dipakai dalam teori pengetahuan ini ringkasnya adalah “kemiripan” dalam isi dan “keidentikan” dalam bentuk. Pengetahuan dengan korespondensi ditandai oleh keterlibatan makna ganda objektivitas. Pengetahuan dengan korespondensi adalah pengetahuan yang:
memiliki dua jenis objek; objek internal dan objek eksternal,
hubungan korespondensi antara kedua objek tersebut.

Melalui korespondensi dengan rujukan objektifnya, pengetahuan korespondensi memiliki kemampuan untuk menjadi benar. Karena itu, ada kemungkinan pengetahuan itu tidak memenuhi persyaratan ini dan sebagai akibatnya ia menjadi salah. Akan tetapi, sifat ini tidak berlaku dalam pengetahuan dengan kehadiran sebab jenis pengetahuan ini tidak memiliki kaitan apa-apa dengan korespondensi sehingga tidak ada kemungkinan menjadai salah.

Ada dua argument yang berkembang dalam dua arah yang berbeda mengenai relasi antara pengetahuan dengan korespondensi dan pengetahuan dengan kehadiran:
dalam kasus pengetahuan diri, diri sebagai subjek performatif kesadaran dan diri yang sama merupakan objek yang disadarinya, dan identik sepenuhnya,
dalam hal pengetahuan korespondensi yang di dalamnya subjek yang mengetahui adalah “aku yang sama” (secara terminology; “aku performatif”) dan objek yang diketahui adalah objek eksternal maka “aku” tersebut telah mengetahui dirinya sendiri melalui kehadiran dan mengetahui objeknya dari korespondensi.

Hubungan antara pengetahuan dengan korespondensi dan pengetahuan dengan kehadiran harus dipandang sebagai hubungan sebab-akibat dalam pengertian iluminasi dan emanasi. Hubungan jenis ini tak lebih daripada hubungan sebab-akibat efisien yang khas, tetapi untuk membedakan kausasi intelektual ini dari kausasi fisik, filsafat iluminasi menyebutnya dalam terminologinya sendiri sebagai relasi iluminatif.

4. Dimensi Empiris Ilmu Hudhuri

Ada dua pokok masalah fundamental yang mirip dengan teori Russel tentang pengetahuan dan pengenalan:
Pengetahuan dengan kehadiran analog dengan pengetahuan dengan pengenalan Russel dalam hal bebasnya ia dari kemungkinan disebut benar atau salah.
Apa yang kita kenal dan hadir dalam diri kita dalam dirinya sendiri mestilah merupakan “sesuatu” yang langsung diketahui, bukan melalui “representasi” ataupun “penampakan”.

Mengapa keadaan-keadaan pribadi kita, semisal penginderaan dan perasaan, memenuhi syarata niscaya dan syarat cukup untuk menjadi contoh empiris pengetahuan dengan kehadiran bukan manifestasi dari kategori pengetahuan lain, bahkan pengetahuan dengan pengenalan sekalipun? Jawabannya adalah:
Rasa sakit atau rasa senang haruslah dikategorikan dalam judul pengetahuan dengan kehadiran dan bahwa tidak ada kemungkinan mempertimbangkannya sebagai bentuk pengetahuan dengan korespondensi. Ini karena dalam pengenalan dengan penginderaan dan perasaan, tidak ada objek yang tak hadir (objek eksternal), dengan demikian, pada waktu terjadinya pengalaman, tidak ada kebutuhan akan representasi objek tersebut.
Hal yang kita sadari atau kita kenal ketika mengalami pengideraan ini bukanlah sesuatu seperti data inderawi, yang akan merupakan repersentasi rasa saki atau rasa senang.

Jika kita merenungi pengideraan kita, katakanlah dengan menuturkan rasa sakit atau senang kita, kita mencoba mengonseptualisasi perasaan kita dan mentransformasikannya dari tatanan wujud menjadi semacam representasi yang termasuk dalam tatanan konsepsi. Dengan melakukan ini, kita bergerak dari tatanan eksistensialitas pengetahuan dengan kehadiran ke keadaan konseptual pengetahuan dengan korespondensi.

Pengetahuan intuitif tidak dicapai melalui proses penarikan kesimpulan (inferensi) karena pengetahuan intuitif menjadikan kelangsungan penerapan pada objek-objek eksternal sebagai kebenaran dan kesahihan objetifnya. Akan tetapi, ia masih harus ditempatkan pada tatanan konsepsi yang berkorespnden dengan objek eksternalnya dan bukan pada tatanan wujud. Meskipun pengetahuan intuitif tidak bersifat inferensial tapi tetap bersifat referensial dan menjadikan objek-objek eksternal yang berkoresponden sebagai rujukan objektifnya. Inilah alasan mengapa kita mesti membedakan pengetahuan dengan kehadiran dari pengetahuan dengan intuisi, sebagaimana kita telah membedakannya dari pengetahuan diskursif dan pengetahuan dengan pengenalan.

Distingsi yang dibuat Russel antara pengetahuan dengan deskripsi dengan pengetahuan dengan pengenalan bisa ditundukkan pada pemeriksaan kritis. Perbedaan yang nyata antara pengetahuan dengan kehadiran kita dan pengetahuan dengan pengenalan Russel, bahwa dalam pengetahuan dengan pengenalan terkandung implikasi perujukan kepada objek eksternal yang tidak muncul dalam instansiasi empiris pengetahuan dengan kehadiran.

Eksemplifikasi empiris pengetahuan dengan kehadiran:

1. Apa yang telah diindikasikan oleh Suharwadi “bahwa kita memang mempunyai beberapa kesadaran yang tidak memerlukan suatu bentuk representasi”

2. Analisis empiris tentang pengalaman rasa sakit.

Berdasarkan pendekatan Suhrawardi, hanya bisa disimpulkan bahwa setelah memberikan contoh empiris ini kita bisa mengatakan bahwa kita memang mempunyai semacam kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh melalui representasi atau data inderawi apapun. Pengetahuan ini hanya terwujud melalui unifikasi eksitensial yang dalam system para filosof disebut “kehadiran”.

5. Modus Utama Ilmu Hudhuri

Dalam system filsafat Islam, disebut metode “komposisi” (tarkib), yang berarti bahwa kita harus menyusun gagasan universal tentang defenisi kita dengan menggabungkan atau membuat komposisi persamaan dan perbedaan empiris.

Istilah “cahaya” sebagaimana dielaborasi oleh Suhrawardi pada bagian awal metafisikanya, tidak digunakan dalam pengertian epistimologis sepenuhnya karena apa yang dipahami akal jelas tidak memiliki pengertian yang terbatas seperti itu, sebagaimana ketika diterapkan pada dunia fisik. Suharwardi memerinci rancangan filsafat cahayanya dilawankan dengan kegelapan, yang barangkali merujuk pada orientasi keagamaan Persia kuno, dalam langkah:

1. Membagi apa yang diyakininya sebagai “cahaya dalam realitas dirinya sendiri” menjadi modus cahaya yang asli, tak bercampur dan tak inheren dalam sesuatu yang lain, dan modus cahaya lain yang bersifat aksidental dan terkandung dalam sesuatu yang lain.

2. Terminologi yang bersandar kuat ke arah reformulasi distingsi Platonik yang masyhur antara mengada (being) dan menjadi (becoming) dalam pengertian bentuk-bentuk cahaya dan bentuk-bentuk kegelapan.

Tiga pernyataan pendahuluan untuk memahami nilai kebenaran demonstrasi iluminasi:

1. Kita berurusan dengan sesuatu yang eksis “dalam dirinya sendiri”, meskipun tidak harus berarti “dengan dirinya sendiri”.

2. Dalam proses mengetahui secara umum, ada satu “pelaku” yang mewakili “aku” performatif yang ditegakkan oleh watak otoritasnya sendiri untuk bertindak, bukan ditindaki. “Perwakilan” ini semata-mata untuk “aku” dan tak ada yang selain “aku” yang bisa berperan serta dalam peringkat wujud pribadi yang tak bisa diubah ini.

3. Dalam kasus penilaian diri semisal “saya mengetahui X”, saya mengetahui diri saya melalui representasi diri saya dan bukan dengan “kehadiran” realitas diri saya itu sendiri.

Pembuktian kesadaran diri:

1. Dengan mengetahui sesuatu selain dari dirinya, seperti ketika orang mengungkapkan pengetahuannya dengan pernyataan: “aku mengetahui objek X, Y dan Z. Melalui penisbatan kepada diri saya berarti saya telah sadar akan diri saya. Jika tiak demikian, penisbatan suatu pengetahuan kepada diri saya menjadi tidak ada artinya.

2. Dengan mengetahui diri secara langsung, ketika orang merenungi dirinya sendiri dan menampilkan pengetahuan tentang dirinya dalam pernyataan “aku mengenal diriku”.

Sedangkan Suharwardi mencoba menegakkan pokok argumennya dengan cara berikut: Seandainya subjek yang mengetahui, dalam upaya mengetahui diri sendiri, mengobjektifkan dirinya, ia akan membangun representasi fenomenal yang berbeda dari dirinya, yang akan disebut “dia” dan bukan “aku”. Dalam hal itu, sebagaimana dituntut oleh hukum “keakuan/kediaan”, “aku” harus tetap dalam otoritas subjek “keakuan” yang tak bisa diubah; “dia” sebagai “diri” juga termasuk dalam kategori ini dan menjadi satu dengan “aku”. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh hukum “keakuan/kediaan”, “kediaan” tidak akan pernah bisa berubah menjadi “keakuan” dan sepenuhnya menyatu dengan realitas aktif “aku”. Realitas faktual “aku” juga tidak bisa diubah substansinya menjadi realitas “dia”. Karena itu “keakuan” dan “kediaan” ternyata berbeda sekaligus identik dalam hal yang sama. Ini tidak mungkin. Marilah kita lihat bagaiman keduanya bisa berbeda melalui semacam perlawanan, tetapi sekaligus menyatu dalam satu identitas-diri, masing-masing dalam hal yang sama.

Seseorang bisa mengobjektifkan diri sendiri ketika merenunginya dengan mengatakan: “dia” adalah “aku” yang mengetahui diriku. Akan tetapi, yang dimaksud objektivikasi adalah bahwa orang bisa memperlakukan dirinya secara fiktif sebagai “dia” dan mengajukan penilaian tentang unifikasi terhadap dirinya sendiri.

Adapun rumusan argumentasi tentang kesadaran diri adalah:
Seandainya dengan pengenalan diri saya adalah melalui representasi, bukannya kehadiran realitas saya, pengenalan saya dengan diri akan persis seperti pengenalan saya dengan apa yang bukan diri saya. Absurditas ini lahir dari sifat “epistemik” masalah tersebut yang bisa dipahami secara jelas dari kata-kata Suhrawardi: “kesadaran akan realitas ‘keakuan’ karenanya akan persis seperti kesadaran akan apa yang bukan “keakuan”, yaitu “kediaan”.
Seandainya “keakuan” dan “kediaan” adalah identik dalam kasus kesadaran diri, sementara dalam hubungan subjek-objek, keduanya berfungsi secara berbeda, keduanya akan identik sekaligus berbeda dalam hal yang sama. Tentu saja ini adalah bentuk logis absurditas yang muncul dari pelanggaran hukum hubungan subjek-objek dalam sebuah proposisi.
Jika ungkapan “diriku” dalam sebuah pernyataan semisal “aku mengetahui diriku” berarti “dia”yang merujuk kepada representasi diri yang jelas setara dengan “bukan diriku”, “aku mengetahui diriku” mestilah mempunyai arti “aku mengetahui yang bukan aku”. Sekarang, “untuk mengetahui yang bukan diriku” hanyalah cara lain untuk mengatakan “aku tidak mengetahui diriku”. Akan ada kekacauan, dan perusakan komunikasi manusia seandainya pernyataan “aku mengetahui diriku” berarti “aku tidak mengetahui diriku”. Absurdiatas ini termasuk dalam sifat linguistic tentang isu tersebut.

Tiga hal penting menyangkut argument ini serta konsekuensinya adalah:
Pengetahuan tentang dirinya sendiri tak lain adalah dirinya sendiri; pengetahuannya tentang dirinya tak lain adalah realitas dirinya itu sendiri.
Realitas “keakuan”saya, yang telah dibuktikan berada dalam dirinya sendiri dan hadir untuk dirinya sendiri, meskipun tidak harus oelh dirinya, dalam pengertian bahwa ia tidak mungkin lebih nyata untuk dirinya sendiri daripada semata hadir dalam dirinya sendiri.
Penekanan besar telah diberikan kepada realitas empiris dan aktif tentang “keakuan” yang tidak mempunyai konotasi apapun yang mengaitkannya dengan masalah kontroversial pembedaan esensi-eksistensi. Tujuan utama pendekatan ini adalah mempertimbangkan kebenaran realitas actual subjek yang dicirikan oleh kedua persayaratan yang disebutkan diatas.

Fungsi logis, epistemik dan semantik dari “keakuan” yang dilawankan dengan “kediaan”, berkenaan dengan distingsi metafisik antara atribut-atribut dan yang kepadanya atribut-atribut ini dilekatkan, yang secara prospektif dianggap sebagai realitas kedirian.

Semua argument bersumber dari pertimbangan bahwa ada substansi material yang bertindak sebagai “dia” yang kontinu dan tak pernah berubah, yang mewadahi dan menyatukan berbagai aksiden dalam urutan waktu dan kejadian.

Suharwardi menurunkan dua kesimpulan:
Bahwa pengetahuan tentang diri pastilah melalui kehadirang realitas diri.
Bahwa apapun yang tidak diketahui melalui kehadiran relaitas murni diri tidak memiliki peran yang mendasar, bahkan parsial sekalipun, dalam bentuk eksistensial realitas itu, dan karena itu terletak di luar wilayah “keakuan”

Suharwardi mengungkapkan beberapa teori yang penting dalam filsafat iluminasi:
  • Bahwa diri bukanlah apapun kecuali wujud immaterial.
  • Bahwa diri adalah realitas yang paling sederhan dan tak berbagi-bagi.
  • Bahwa masalah apakah diri itu suatu substansi atau tidak, bisa ditentukan, jika yang dimaksudkan dengan “substansialitas” adalah penafian wujud di dalam wujud yang lain secara praktis bukan penafian secara teoretis dan kategoris.

Mengenai kesederhanaan dapat diperoleh keterangan kesederhanaan mutlak dan ketakterbagian diri, kita bisa dengan cukup beralasan mengandalkan prinsip keidentikan antara “mengetahui” diri melalu pengetahuan dengan kehadiran, dengan “wujud” realitas objektif diri.

6. Apendiks Untuk Teori Ilmu Hudhuri

Suharwardi telah mengambil dua langkah lebih jauh ke arah penjelasan empirisnya:
Seperti halnya kesadaran-diri, kesadaran akan tubuh sendiri dan semua kekuatan serta aktivitas mentalnya harus dicirikan sebagai suatu bentuk pengetahuan dengan kehadiran.
Ada kriteria epistemik bagi universalitas dan partikularitas pengetahuan, yang mesti diperhitungkan manakala yang dipersoalkan adalah masalah keadaan-keadaan pribadi pikiran.

Ada dua hal mengenai penyelidikan ke dalam pengetahuan pribadi kita yang harus dicatat:
Representasi tubuh, imajinasi dan fantasi adalah universal.
Akal hanya bisa berkomunikasi dengan badan universal.

Universalitas pengetahuan adalah suatu kualitas suatu gagasan atau proposisi yang penerapannya pada banyak objek individual tidak mustahil atau kontradiktif secara logis. Partikulasi pengetahuan adalah kualitas suatu gagasan atau proposisi yang penerapannya pada lebih dari satu objek individual menyiratkan absurditas atau kontradiksi logis. Pembedaan antara “kualifikasi” atau “pembatasan” dan “partikulasi” adalah karena pengetahuan yang terbatas tidak dengan dirisendirinya partikular dan pribadi. Kategori pertama melibatkan semacam spesifikasi sebuah konsep universal yang tidak dengan sendirinya berarti partikularisasi. Kategori kedua adalah partikularisasi pengetahuan tentang sebuah objek individual yang tidak bisa diterapkan pada yang banyak.

7. Teori Ilmu Hudhuri Yang Diperluas: Misitisme Secara Umum

Inti ini adalah konsepsi “kesadaran uniter”. Kesadaran uniter adalah ungkapan lain dari mistisme. Salah satu kelebihan mistisme atas isu-isu metafisika lain adalah ia bersifat empiris dan ilmiah bukan trasedental. Sifat esensial pengetahuan dengan korespondensi, yang benar-benar tak konsisten dengan kesadaran uniter mistisme dari jenis manapun dan dalam derajat manapun. Faktor pembeda pengetahuan mistik dengan pengetahuan korespondensi tidak ditentukan oleh apakah objek itu bersifat empiris atau transcendental, tapi semata-mata oleh apakah objek itu identik dengan subjek atau tidak. Sekalipun objek suatu pengetahuan itu bersifat transenden, eksistensinya mandiri terpisah dari subjek, maka pengetahuan itu termasuk pengetahuan dengan korespondensi.

Menurut Plato, penglihatan intelektual biasa kita, pada dasarnya dicirikan oleh dualisme hubungan subjek-objek dan karena alasan ini tidak identik dengan kesadaran mistik.

Mistisme, setelah membuktikan secara mandiri kebenaran swaobjektifnya, bisa disuguhkan sebagai landasan yang andal atau sebagai saksi mata empiris, bagi kebenaran-kebenaran agama yang bersifat teoritis, yang semuanya hanya mungkin terjadi sesudah adanya penafsiran dan introspeksi pengalaman mistis. Sebaliknya agama juga bisa menjadi pembantu penting bagi seorang mistikus dalam perjalanan naik menuju kesadaran uniter mistik, begitu sang mistikus membuang ikatan-ikatan khayalnya dengan kemajemukan hidup ini.

Mistisme adalah salah satuu bentuk ilmu hudhuri sebab, jika telah terbukti bersifat nonfenomenal, tak ada sesuatu pun yang bisa mengakomodasi mistisme kecuali bentuk pengetahuan dengan kehadiran.Kehadiran mistik adalah kehadiran dengan penyerapan, yang merupakan sifat esensial pemahaman mistik.

8. Mistisme Dalam Sistem Emanasi

Ibn Sina secara matematis merumuskan doktrinnya tentang “emanasi” dengan cara berikut:

“Emanasi adalah sesuatu yang dengannya sebuah eksistensi dilahirkan dari yang lain dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantaraan materi, instrument, ataupun waktu. Akan tetapi, suatu yang didahului oleh non-eksistensi dalam waktu tidak akan pernah membutuhkan perantara. Tindak emanasi, karenanya, mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada tindak penciptaan dan kontingensi.”

Dengan mengetahui prinsip eksistensinya dan dengan cara dimana ia terkait dengannya, setiap wujud emanatif ini memunculkan satu wujud dan dengan mengetahui dirinya sendiri sebagaimana adanya, ia memunculkan yang lain. Semua wujud emanatif memiliki dua persamaan:
Mereka bersifat mungkin dalam dirinya sendiri dalam pengertian bahwa mereka secara mutlak bukanlah apa-apa tanpa hubungan iluminatif dengan sumber mereka.
Mereka semua adalah wujud-wujud yang niscaya jika dipandang dalam kerangka hubungan mereka dengan Prinsip Pertama, yang merupakan Wujud Niscaya dalam esensi dan tindakannya.

Hierarki emanasi menyiratkan kontinuitas dan ketergantungan total modus emanasi yang lebih rendah pada prinsip yang terdekat dengannya, yang pada gilirannya sepenuhnya bergantung pada prinsip terdekatnya sendiri.

Hubungan Tuhan dengan emanasi-Nya (yakni eksitensi alam semesta) tidaklah, tak bisa, dengan pengetahuan intensional, tetapi hanya melalui pengetahuan dengan “kehadiran”. Diperlukan sedikit renungan atas penjelasan Thusi untuk menyarikan dua jenis pengetahuan melalui kehadiran yang dinisbatkan kepada Tuhan, yaitu kehadiran dengan identitas yang dicontohkan dalam pengetahuan Tuhan tentang realitas-Nya sendiri, dan kehadiran dengan emanasi, semisal pengetahuan tentang Tuhan dalam hubungan dengan emanasi-Nya. Keduanya adalah pengetahuan dengan kehadiran sebab dalam kedua kasus tersebut tidak ada representasi ataupun citra mental yang menempatkan dirinya di antara realitas hal yang diketahui dan rasa mengetahui.

Emanasi hanya bisa diungkapkan oleh frasa berpreposisi. Preposis hanya bisa dipahami dengan tepat dan bermakna jika kita bisa mengaitkannya dengan kata benda dan kata kerja yang tepat. Akan tetapi, kebenaran esensial emanasi sepenuhnya terletak dalam kebenaran sumber substantifnya dan seluruh realitas tak lebih dari suatu ekpresi berpreposisi seperti “orang lain”. Dalam kenyataannya, karena status tindak emanasi pada esensinya bersifat preposisional, satu-satunya realitas independent yang benar-benar ada dalam dirinya, dan bisa berfungsi sebagai kata benda substantif yang kepada semua entitas preposisional dikaitkan, adalah satu realitas di seluruh alam eksistensi.

Terdapat garis-garis emanasi vertical dan horizontal, dimana suatu garis vertikal yang tak terputus yang menghubungkan seluruh kumpulan besar emanasi dengan Prinsip Pertamanya dalam kesatuan eksistensial yag ketat. Juga terdapat penghubung horizontal yang padanya segaal sesuatu dipandang berbeda satu sama lain dan dicirikan oleh kemajemukan dalam peringkat, esensi, spesies, dan individuasi. Garis-garis vertikal disebut juga “tatanan batin” eksistensi dan garis-garis horizontal disebut “tatanan lahir” eksistensi.

Makna eminasi itu sendiri menyiratkan bahwa emanasi adalah satu bentuk eksistensi yang diduga telah lahir dari wujud lain yang bertindak sebagai sumber kausasinya atau sebagai sumber emanasinya. Satu-satunya alternatif yang bisa dipertimbangkan berkenaan dengan eksistensi suatu emanasi adalah kemungkinan.. Terdapat situasi dimana kita harus membedakan antara dua spesies kemungkinan:
Kemungkinan yang mencirikan sifat esensial suatu wujud yang berbeda dari eksistensinya.
Kemungkinan yang mengualifikasi konstitusi eksistensi dari setiap bentuk wujud yang muncul dari yang lain.

Ada konsekuensi-konsekuensi paling penting untuk dipertimbangkan adalah:
Memetakan hubungan ontologis suatu wujud emanatif, semisal diri, dengan sumbernya melalui modalitas kemungkinan eksistensial.
Mengakui bagaimana makna kemungkinan ini, tanpa memerhatikan kemungkinan esensial, mengidentifikasi realitas diri dengan iluminasi yang niscaya dari keniscayaan abadi, dan bagaimana kesatuan eksistensiali ini mengimplikasikan bahwa mustahil terdapat kekosongan atau interupsi antara eksistensi yang niscaya dari sumber dan eksistensi yang mungkin dari diri.

9. Kesatuan Mistik

Gambaran dari disposisi kehadiran:

a. sebagai kehadiran dengan “iluminasi” atau “emanasi”.

b. Keadaan kehadiran yang sama disebut kehadiran dengan penyerapan jika penjelasan kita mendekatinya dari arah yang sebaliknya.

Setelah mengukuhkan kedua pengertian kehadiran ini, kita dengan sah bisa mengatakan bahwa diri, sebagai contoh emanasi, memiliki pengetahuan tentang Tuhan melalui kehadiran dengan penyerapan. Kita bisa, dengan alasan yang sama, mengatakan bahwa diri diketahui oleh Tuhan melalui ilmu hudhuri dalam pengertian iluminasi. Karena keidentikan ini kedua pengertian kehadiran ini, dalam kenyataannya, keduanya juga identik dalam derajat kehadiran proposionalnya. Artinya, derajat kehadiran Tuhan melalui iluminasi dalam realitas diri sama dengan derajat kehadiran diri dalam Tuhan dengan pengertian penyerapan. Dengan demikian, pada tahap wujud pertikular tersebut, Tuhan dan diri adalah identik.

Meskipun banyak ragam penafsiran tentang kesatuan, namun belum ada yang memadai secara sistematis karena bentuk kesadaran uniter ini, yang menurut kesatuan dalam keragaman dan keragaman dalam kesatuan masih tetap paradoks secara mutlak. Masalah utama kesadaran mistik adalah bagaimana dia realties yang berbeda-realitas diri individual sebagai wujud emanatif dan realitas Sumbernya-menjadi satu dan sama dalam proses pengalaman mistik. Berdasarkan ilmu hudhuri perluasan teori yang didasarkan pada penafsiran iluminasi tentang hipotesis kesatuan mistik.

Kedua spesies ilmu hudhuri yang berbeda yaitu kehadiran melalui swaidentitas dan kehadiran melalui emanasi atau pencerahan. Juga telah disebutkan karena diri memiliki kedua spesies pengetahuan dengan kehadiran ini, maka Tuhan juga harus, atas dasar yang sama, memiliki kedua pengertian kehadiran ini. Ilmu hudhuri Tuhan tentang Diri-Nya berkat swaidentitas memiliki arti bahwa realitas Tuhan mutlak hadir kepada dan identik dengan Diri-Nya. Di lain pihak kehadiran Tuhan melalui iluminasi dan supremasi berarti bahwa Dia hadir dalam tindak emanasi imanen-Nya. Denman demikian, tidak mungkin ada interupsi atau keterputusan dalam pencerahan dan supremasi-Nya atas emanasi sedemikian sehingga menyebabakan pemisahan antara Diri-nya dan tindak emanasi-Nya.

Beradasarkan analogi linguistik, realitas “keakuan” berfungsi sebagai sebuah hubungan semata, tapi bukan sesuatu yang dihubungkan. Satu-satunya perbedaan antara hubungan ini dengan hubungan biner adalah bahwa peran sebuah hubungan biner yang normal adalah menghubungkan satu realitas dengan realitas yang lain, yang dualismenya dipra-anggapkan dan mutlak diperlukan. Akan tetapi, dalam hubungan ini, tidak ada kemungkinan paraanggapan seperti itu. Satu-satunya hal yang dipraanggapkan adalah Yang Tunggal yang di dalamnya realitas diri terserap dan tidak bisa diketahui kecuali dengan mengetahui Yang Tunggal.

Menurut prinsip ilmu hudhuri, realitas “keakuan” dalam hidup ini terikat dengan kediaan, yakni keadaan berkonflik dengan objek-objek material, meskipun tidak identik dengannya.

Peniadaan mistik adalah pengunduran diri dari dimensi horizontal dan berpaling kepada dimensi vertikal.



10. Bahasa Mistisisme Dan Metamistisisme

Metamistisisme berarti metabahasa mistisisme. Untuk menghindari kerancuan yang sering mencemari pendekatan nonspesialis terhadap mistisisme, kita wajib menetapkan klasifikasi mistisisme yang membedakan antara tiga tahap mistisisme yang dalam masing-masingnya mengategorikan satu spesies mistisisme. Ketiga tahap itu adalah:
Mistisisme yang tak bisa diceritakan.
Pemikiran mistik introspektif dan rekonstruktif sebagai bahasa objek murni mistisisme.
Metamistisisme filosofis atau ilmiah yang berbicara “tentang” mistisisme.

Mengenai Irfan, dimana ini merupakan pengetahuan dengan representasi, yang tercerahkan dan diperoleh dari pengetahuan dengan kehadiran mistik melalui relasi iluminatif/

Penyelidikan metamistik adalah kontemplasi dengan merenungi bahasa objek pengalaman mistik. Sementara pengalaman mistik itu sendiri tetap berada dalam lingkun ilmu hudhuri, irfan, dan metamistisisme termasuk tatanan pengetahuan dengan representasi dan karena itu keduanya termasuk bentuk pengetahuan dengan korespondensi.

Terdapat beberapa pendekatan yang khas yang disebut pendekatan mistik yaitu:
Ada penyelidikan deskriptif empiris mengenai masalah mistisisme yang temasuk dalam kategori bahasa “tentang” mistisisme. Jenis penyelidikan ini bersifat historis, ilmiah, antropologis atau sosiologis.
Sejarawan R.C. Zaehner, berbicara mengenai empiris tentang sejarah mistisisme an terkadang tentang filasafat mistisisme empiris. Dengan mengambil pendekatan metalinguistik jenis ini, dia melakukan survey historis komparatif yang terperinci mengenai ragam mistisisme dari berbagai budaya, agama, dan masa, yang berkisar dari bentuk-bentuk mistisisme Hindu, Buddha, Kristen, Islam dan Yahudi hingga para mistikus modern.
Pemikiran ilmiah, tetapi tidak filosofis, yang bersifat reflektif dan introspektif yang didalamnya sang mistikus mencoba dengan kemampuan inteleknya untuk merekonstruksi dengan cara yang canggih sifat-sifat dari apa saja yang telah dilihat atau disadarinya dalam pengalaman mistiknya. Inilah apa yang kita sebut sebagai bahasa mistik asli, atau ilmu mistisisme karena ia berbicara “dari” mistisisme bukan berbiacara “tentang” mistisisme, dan ia dirancang untuk merekapitulasi keadaan yang dialami seorang mistikus.

Persoalam utama mistisisme, yaitu kesadaran uniter, adalah salah satu dari hal-hal yang padanya seluruh ilmu mistisisme, yakni irfan didasarkan. Untuk memahami arti ilmu irfan, atau disiplin ilmu linguistic mistisisme sebagai lawan dari logika biasa pemahaman kita sehari-hari dan menghindarkan setiap jenis pembahasan yang bersifat acak atau tak akademis, kita harus menyandarkan diri pada wawasan mereka yang secara historis telah diterima sebagai otoritas baik dalam filsafat maupun mistisisme.

Menurut Ibn al-‘Arabi, kemampuan akallah yang bisa melakukan transisi dari pengetahuan tentang yang gaib ke pengetahuan intelektual dunia fenomena seperti ini.

Terdapat hal-hal pokok yang menjadi kajian dalam pembahasan ini yaitu:
Di dalam kerangka pikiran manusia ada jenis kesadaran lain yang menjadikan kesadaran manusia bersifat mistik. Ini adalah kesadara akan yang gaib.
Bentuk pengetahuan, seperti halnya pengetahuan biasa, bersifat intelektual. Artinya, ia bisa direnungi dan dikonseptualisasikan serta dipahami oleh akal manusia apabila diarahkan ke dalam (introverd).
Bentuk-bentuk pengetahuan ini, yaitu bentuk pengetahuan inderawi, intelektual dan mistis adalah sama dalam hal bersifat deskriptif.

Atas dasar teori ilmu hudhuri, pengetahuan swaobjek dalam semua bentuknya, maka ia identik dengan realitas eksistensial hal yang diketahui. Di samping itu, telah ditegaskan bahwa pengetahuan mistik adalah satu spesies pengetahuan dengan kehadiran. Karena itu, pengetahuan mistik adalah identik dengan realitas hal yang diketahui. Dari sini, disimpulkan bahwa kesadaran mistik adalah kesatuan simpleks kehadiran Tuhan di dalam diri dan kehadiran diri di dalam Tuhan. Karena termasuk dalam tatanan eksistensi, dan bukannya tatanan konsepsi dan representasi, kesatuan simpleks ini tak bisa dikomunikasikan dan karenanya tak terkatakan. Demikian halnya selama pengalaman itu tak diinstrospeksikan dan tak direnungi. 

*) diresensi oleh: Wiwid Kurniandi As
Baca Selengkapnya... … MENGHADIRKAN CAHAYA TUHAN
Category:

sambil santai !!!

Labels

tampilkan banner di blog kamu


ini kode script-nya!

Apa tanggapan anda tentang blog ini?

Temen-Temen

..:: Perhatian !! terima kasih atas kunjungannya ^_^ silahkah berkunjung lagi di lain waktu ::..