Pengunjung

Share/Bookmark

IDEOLOGI, POLITIK DAN STRATAK (bag 2)

editor: Wiwid Kurniandi

Dasar-Dasar Menyusun Startegi
Rencana perjuangan yang merupakan unsur pokok dan stretegi adalah menetapkan sasaran yang hendak dicapai oleh organisasi dalam jangka waktu tertentu. Besar kecilnya sasaran yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu disesuaikan dengan kemampuan organisasi.
Jangka waktu merupakan unsur strategi
Rencana strategi garuslah banyak memiliki sasaran alternatif
Sasaran yang hendak dicapai dengan rencana strategis adalah selalu dalam rangka machts-vorming.


Dasar-Dasar Membentuk Taktik

Taktk adalah menentukan langkah atau sikap pada saat tertentu, menghadapi peristiwa politik tertentu.
Fleksibilitas

Sikap atau langkah tidak mutlak menuju pada satu arah saja melainkan dapat berubah-ubah menurut kondisi baik kondisi objektif maupun kondisi subjektif. Sebuah rencana harus mempertimbangkan kekautan lawan untuk menggagalkan rencana tersebut. Karena itu, apa yang akan dilakukan oleh musuh/lawan terhadap kita harus selalu dipertimbangkan.

Jika anda mengetahui tentang musuh anda dan mengetahui tentang diri anda sendiri, anda tidak perlu takut akan hasil yang diperoleh dari ratusan pertempuran. Jika anda mengetahui tentang diri anda sendiri, tetapi tidak mengetahui tentang musuh anda , untuk mendapatkan suatu kemenangan anda akan menderita kekalahan. Jika anda tidak mengetahui baik diri anda maupun musuh anda, anda akan mengalami kekalahan dalam setiap pertempuran.

Seni peperangan mengajarkan kita untuk tidak mempercayai bahwa musuh tidak akan datang, tapi mengajarkan kita untuk tidak mempercayai bahwa musuh tidak akan menyerang kita, tapi mengajarkan kita untuk mempersiapkan posisi kita agar tidak terkelahkan.
Orientation, Evaluation and Estimation

Sebelum menentukan sikap atau langkah taktis, harus melihat keadaan secara tepat. Kemudian menilai keadaan itu dihubungkan dengan keadaan kita dan kehendak lawan dan sesudahnya lalu menentukan langkah dan mengira-ngira bagaimana hasilnya nanti. Hasil tidak dapat dipastikan tapi dengan orientasi dan evaluasi yang tepat akan terbayang ada tidaknya kans untuk hasil. Setelah sasaran taktis ditetapkan sekaligus sasaran alternatifnya atau dengan bahasa populer; kita menetapkan program minimum.
Kerahasiaan

biar lawan meraba-raba apa langkah yang akan kita ambil agar mereka tidak dapat menghalang-halangi.
Gerak Tipu
Lima S
sasaran
sarana
sandaran
sistem
saat
Perpaduan Kondisi Subjektif dan Kondisi Objektif

Kondisi subjektif ialah mengenai kekuatan atau keadaan organisasi sendiri. Kondisi objektif ialah mengenai keadaan, situasi atau iklim politik. Jika kondisi subjektif baik tetapi kondisi objektif tidak baik taktik tidak akan berhasil. Begitupun sebaliknya.

Hukum-Hukum Stratak
Kwantitas

Jumlah yang besar akan mengalahkan jumlah yang kecil. Pihak yang berjumlah kecil tidak boleh menyerang musuh yang berjumlah besar. Jika musuh yang berjumlah besar menyerang pihak yang berjumlah kecil hendaknya menyingkir. Musuh yang berjumlah besar tidak dapat dihancurkan sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit dan secara terus menerus. Kehancuran sedikit demi sedikit disebabkan oleh kesalahannya sendiri, karenanya dengan jalan provokasi atau lain usahakan di melakukan kesalahan sikap atau gerakan yang salah.
Kwalitas dan Kwantitas

Kurang dalam kwantitas harus diimbangi dengan kelebihan dalam kwantitas. Kurang dalam kwantitas harus diimbangi dengan kelebihan kwantitas.
Posisi

Posisi yang baik adalah separuh kekuatan. Posisi yang tidak baik memerlukan dua kali kekuatan.
Cadangan

Pihak yang mempunyai cadangan, walaupun telah mundur dan kalah akan dapat maju kembali. Jika musuh sedang kalah dan mundur, kejarlah. Hancurkan cadangan musuh sebelum musuhmaju dan bangkit kembali dengan cadangannya.
Kawan, Sekutu dan Lawan

Secara ideologis, kawan adalah yang seideologi. Secara strategis sekutu harus selalu diperbanyak dan pihak-pihak lawan harus dikurangi. Musuh nomor satu adalah golongan terbesar yang ideologinya membahayakan kehidupan ideologi sendiri. Sekutu dan musuh nomor satu adalah lawan. Lawan dan sekutu nomor satu adalah musuh. Antara sekutu dan musuh terdapat golongan-golongan yang bukan musuh dan bukan sekutu. Golongan ini pada suatu saat dapat menjadi musuh, pada saat lain menjadi sekutu dan pada satu ketika dapat pula sekaligus menjadi sekutu dan musuh.
Devide et empera

Pecah belah musuh dan hancurkan dulu yang besar.
Menyerang adalah Pertahanan yang Terbaik.

Yang menang ialah yang selalu pegang inisiatif
Biarkan lawan bergerak menurut inisiatif kita pada saat dan tempat kita pilih. Biarkan lawan beraksi terus terhadap isue-isue yang kita lontarkan.
The End Justifies the Means

Tujuan membenarkan setiap cara,sepanjang tidak bertentangan dengan kekuatan ideologi serta tidak membawa akibat yang dapat merugikan sendiri.
Baca Selengkapnya... … IDEOLOGI, POLITIK DAN STRATAK (bag 2)
Category:

IDEOLOGI, POLITIK DAN STRATAK (bag 1)

editor: Wiwid Kurniandi
Perang dan Politik
Pengertian perang merupakan lebih sekedar suatu urusan politik melalui cara-cara lain. Sedangkan politik adalah perang tanpa pertumpahan darah sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah. Menurut Mao Tse Tsung, pengertian perang dan politik pada hakekatnya sama, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan/maksud, Cuma bentuknya berbeda.

Arti Stratak Dalam Perang Dan Politik
Taktik adalah penggunaan kekuatan untuk memenangkan suatu pertempuran. Strategi adalah memanfaatkan pertempuran untuk mengakhiri peperangan. Memimpin bala tentara untuk mengalahkan musuh dan memenangkan suatu pertempuran bukanlah segala-galanya. Taktik adalah bagaimana menentukan sikap atau menggunakan kekuatan dalam menghadapi peristiwa politik tertentu pada saat tertentu. Sedangkan strategi adalah bagaimana menggunakan peristiwa-peristiwa politik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai rencana perjuangan. Dalam politik tidak dapat dibayangkan kapan idiologi akan terlaksana, karenanya strategi dalam politik tidak dapat meliputi sampai tercapainya tujuan (ideology), karenanya hanya meliputi jangka waktu tertentu.

Hubungan Taktik Dan Strategi

Taktik adalah bagian dari strategi. Karenanya taktik baru tunduk dan mengabdi kepada strategi. Rencana perjuangan (strategi) meliputi perjuangan secara menyeluruh baik dalam hubungan daerah, nasional dan internasional maupun mengenai semua segi penghidupan dan kehidupan masyarakat/Negara, ekonomi, hankam, kebudayaan, agama dan lain-lain.


Kedudukan Stratak Dalam Perjuangan Ideology

Stratak tidaklah berdiri sendiri melainkan hanya merupakan alat pelaksana untuk mencapai tujuan (ideology. Karenanya stratak harus mengabdi kepada perjuangan untuk mencapai tujuan odeologi.


Tugas Utama Strategi Dan Taktik

Sebagai cara menggunakan organisasi untuk mencapai rencana perjuangan dalam jangka waktu tertentu, serta sebagai cara berjuang menentukan sikap pada saat tertentu menghadapi masalah politik tertentu, maka tugas stratak adalah menciptakan, memelihara, dan menambah syarat-syarat yang akan membawa kepada tujuan. Syarat-syarat yang meliputi kekuatan fisik berupa tenaga manusia, kekuatan mental, kekuatan materil serta posisi didalam Negara dan masyarakat. Tegasnya tugas stratak adalah untuk machts-vorming dan macht-anwending.

Macht : power = kekuasaan

Kracht : force kekuatan

Power : force + position

Macht = kracht + posisi

Kekuasaan = kekuatan + posisi

Position without force = nekad position

Force without position nekad force

Posisi tanpa kekuatan = posisi mentah

Kekautan tanpa posisi = kekuatan mentah

Position – force without ideologi = nekad power

Posisi tidak dapat dipisahkan dengan kekuatan. Posisi yang baik = separuh kekuatan. Posisi strategis adalah menentukan berhasil tidaknya rencana perjuangan (strategi). Posisi taktis menentukan berhasil tidaknya langkah-langkah taktik. Machts-vorming dan machts-anwending yang menjadi tugas stratak tidak lain tujuannya melainkan apa yang disebut Mao Tse Tung: bahwa tugas stratak ialah untuk mempertahankan/menambah kekuatan dan atau posisi sendiri serta menghancurkan atau mengurangi kekuatan dan atau posisi lawan. Baik buruknya suatu staratak ditentukan oleh berhasil tidaknya mempertahankan kekuatan sendiri atau mengurangi kekuatan lawan. Demikian pula baik buruknya leadership tidak terletak pada tegas atau tidaknya, berani atau tidak, populer atau tidak melainkan kepada hasil kepemimpinannya dan hasil dalam kepemimpinan ialah apa saja yang dapat mempertahankan kekuatan/posisi sendiri serta yang dapat mengurangi kekuatan atau posisi lawan.
(bersambung ke bagian kedua)
Baca Selengkapnya... … IDEOLOGI, POLITIK DAN STRATAK (bag 1)
Category:

FILSAFAT ILMU

BAB I

PENDAHULUAN


Apakah Tuhan itu ada? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang cukup menggelitik ketika kita mendalami filsafat, termasuk filsafat ilmu. Berbagai temuan ilmiah seringkali mengecilkan arti keberadaan Tuhan. Bahkan ada juga yang mengingkari sama sekali keberadaan Tuhan tersebut.

Kalau dikaji dari sudut pandang religius, keberadaan Tuhan ini tentu tidak diragukan lagi. Banyak ayat-ayat dari kitab suci, apapun agamanya, yang membenarkan keberadaan Tuhan tersebut. Al Qur'an misalnya. Pada surat Al Ikhlas misalnya, keberadaan Tuhan jelas-jelas disebut. Pada surat tersebut diuraikan secara gamblang sebagai berikut:

  1. Katakanlah (wahai Muhammad), Tuhan itu satu

  2. Dial ah Tuhan bagi alam semesta

  3. Tidak punya anak dan tidak diperanakkan

  4. Tidak ada satu makhlukpun yang sama atau dapat dibandingkan denganNya.

(Al Hilali, 1993)

Namun, uraian ini belumlah cukup meyakinkan bagi orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Mereka memerlukan argumen-argumen yang secara logika dapat dipercaya. Karena itu perlu pengkajian yang lebih mendasar secara rasional.

Buku Theories of Knowledge and Reality mencoba menawarkan berbagai argumen menyangkut keberadaan Tuhan ini. Buku ini memperkenalkan tentang masalah utama, argumen-argumen dan berbagai metode yang digunakan dalam filsafat. Ada empat hal utama yang selalu menjadi perdebatan tidak henti-hentinya dalam filsafat terutama filsafat agama yaitu keberadaan Tuhan, masalah-masalah yang menyangkut pikiran dan tubuh manusia, persepsi dan pengetahuan tentang dunia luar, serta kronik tentang kebebasan atau keterikatan manusia. Pada kesempatan ini akan dibahas masalah keberadaan Tuhan dilihat dari dua sudut yang bertentangan, yaitu Teis dan Ateis, disertai argumenasi filosofis masing-masing fihak dalam mempertahankan pendiriannya.

Ada dua alat yang digunakan oleh manusia untuk mempertahankan pendirian serta menkritik pendirian orang lain. Alat tersebut adalah logika dan bahasa. Logika akan membimbing manusia dalam menarik kesimpulan serta mengemukakan pendapat. Sedangkan bahasa digunakan untuk mengekspresikan kesimpulan serta pendapat seseorang. Kedua hal ini sangat penting dalam pergumulan manusia.

Logika adalah suatu cara untuk menarik kesimpulan yang benar dari suatu suatu fenomena dengan ditunjang oleh prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang relevan. Logika ini dikemukakan dalam bentuk argumen yang didasarkan pada kesimpulan terhadap suatu fenomena. Dalam menarik kesimpulan ini ada dua pendekatan yang digunakan yaitu deduktif dan induktif. Suatu kesimpulan dikatakan deduktif jika premis digunakan sebagai bukti bahwa kesimpulan tersebut benar. Jika premis digunakan sebagai dasar untuk menarik kesimpulan, maka kesimpulan tersebut disebut induktif.

Dalam mengemukakan kesimpulan dalam suatu argumen, peran bahasa sangan besar. Bahasa inilah yang memastikan orang lain dapat memahami argumen seseorang atau tidak. Dalam bahasa terkandung unsur arti atau pengertian, analisis konsep, dan proposisi dan kalimat. Ketiga hal inilah yang sangat besar perannya dalam menyusun argumen yang tidak hanya dimengerti, tapi lebih jauh diterima oleh orang lain sebagai suatu kebenaran.

Dalam filsafat, keberadaan Tuhan ini tidaklah dapat dikaji hanya dari sudut kepercayaan religius atau keagamaan. Jika dikaji dengan alat ini, maka tidak ada lagi yang perlu didiskusikan karena masalah ini sudah selesai. Bagi seorang yang religius keberadaan Tuhan itu sudah final. Tidak adalagi yang dapat didiskusikan seputar keberadaan Tuhan tersebut. Sementara kalau dari sudut pandang filsafat, keberadaan Tuhan itu haruslah dikaji dengan mendasar secara rasional.

Apakah Tuhan itu? Apakah Tuhan itu benar-benar ada? Para filsuf mempunyai pemahaman yang tidak sama tentang Tuhan serta Keberadaannya. Ada yang menolak keberadaan Tuhan karena menurut mereka tidak rasional. Mereka digolongkan pada Ateis. Ada yang mengakui keberadaan Tuhan dengan berbagai pandangan berbeda. Sementara ada juga yang tidak menolak keberadaan Tuhan ini namun tidak menunjukkan pengakuan terhadap keberadaan Tuhan tersebut. Golongan ini disebut sebagai Agnostik. Untuk menunjang pemahaman mereka tersebut, masing-masing pihak keluar dengan argumen masing-masing .

Golongan yang mengakui keberadaan Tuhan keluar dengan tiga argumen yang berbeda yaitu teleologis, kosmologis, dan ontologis. Argumen teleologis bersifat induktif a posteriori, argumen kosmologis bersifat deduktif a posteriori, dan argumen ontologis bersifat deduktif apriori. Golongan Ateispun mempunyai argumen yang rasional dan mendasar untuk menunjang penolakan mereka terhadap keberadaan Tuhan. Argumen-argumen dari golongan ini memiliki kedua pendekatan baik deduktif maupun induktif.

Argumen yang paling umum tentang keberadaan Tuhan adalah argumen teleologis. Argumen teleologis menyandarkan kesimpulannya pada pengalaman empirik tertentu dan menarik kesamaan dengan obyek yang kebenarannya akan dipertahankan.

Dengan menggunakan argumen ini pendudukung keberadaan Tuhan menunjukkan keberadaan Tuhan dengan menganalogikan alam semesta dengan obyek-obyek lain ciptaan manusia. Mereka berargumen bahwa alam semesta yang demikian teratur ini tidak mungkin tidak ada yang menciptakan. Dan penciptanya tentulah sesuatu yang sangat cerdas yang melebihi kecerdasan makhluk apapun. Perancang dan pencipta alam semesta yang maha cerdas inilah yang diklaim sebagai Tuhan.

Argumen lain yang mempertahankan keberadaan Tuhan adalah argumen kosmologis. Kosmologi ini berasal dari kata kosmos yang berarti alam semesta. Argumen ini juga mendasarkan kesimpulannya pada pengalaman empirik menyangkut alam semesta.

Argumen ini dimulai dari pemahaman umum menyangkut kebenaran yang nyata tentang keberadaan alam semesta. Siapapun di atas dunia tidak dapat menyangkal keberadaan alam semesta karena keberadaannya benar-benar nyata. Selanjutnya kita akan sampai pada pertanyaan tentang apa yang menyebabkan alam semesta ini ada. Secara fisik alam semesta itu nyata-nyata ada. Keberadaannya pasti ada penyebabnya. Penyebabnya tentulah sesuatu yang sangat luar biasa kuasanya melebihi apapun. Penyebab ini tetunya sudah ada tanpa ada yang menyebabkabkan keberadaannya. Dan dialah yang disebut Tuhan. Karena itulah Tuhan itu pasti ada.

Ontologis merupakan argumen lain yang digunakan untuk menunjukkan keberadaan Tuhan. Ontologi ini popular sejak sebagi subyek debat filsafat sejak tahu 1077 saat di diperkenalkan oleh St. Anselman. Konsep dasar di balik semua argumen ontologis tentang Tuhan adalah bahwa kita tidak akan dapat memahami konsep Tuhan jika kita tidak menagakui keberadaannya. Pemahaman kita tentang Tuhan adalah sesuatu yang sangat istimewa, sangat sempurna, lebih dari segala sesuatu lainnya yang mungkin ada.

Ada dua versi argumen ontologis yaitu argumen langsung dan argumen tak langsung. Pada arguman langsung kesimpulan langsung diberikan setelah premis tanpa ada asumsi tambahan. Versi ini dikenal dengan versi Cartesian yang diperkenalkan oleh Descartes. Ide dasar dari Cartesian ini sangat sederhana. Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya mesti sempurna. Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna. Jika keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan pasti memiliki unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada.

Sedangkan pada versi kedua, argumen tak langsung, atau lebih pas disebut argumen reductio ad absurdum. Pada versi ini kesimpulan diambil setelah menunjukkan bahwa argumen yang menolak kesimpulan ini salah. Versi ini dikenal dengan versi Anselmian yang diperkenalkan oleh St. Anselman.

St. Anselman berpendapat bahwa sesuatu itu Tuhan jika dan hanya jika Ia adalah sesuatu yang paling dapat dipercaya. Tuhan adalah sesuatu yang tidak ada yang lebih besar darinya. Kaum Ateis setuju dengan pernyataan bahwa Tuhan itu pastilah lebih besar dari apapun. Namun, mereka berpendapat bahwa Tuhan itu hanya ada dalam pikiran, tidak dalam kenyataan. Karena itu Tuhan itu tidak ada. Anselman berpendapat bahwa argumen kaum Ateis ini absurd dan kontradiktif. Di satu pihak mengakui konsep ketuhanan, namun di sisi lain menolak keberadaan Tuhan karena Tuhan tersebut tidak ada dalam kenyataan. Karena argumen itu kontradiktif dan absurd, maka argumen tersebut tidak dapat diterima. Oleh karenanya argumen yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada harus ditolak. Dan itu berarti bahwa Tuhan itu ada.

Kita sudah membahas argumen-argumen yang dikemukakan oleh orang-orang yang berpihak pada pendapat bahwa Tuhan itu ada. Lalu, bagaimanakah pendapat orang yang menentangnya. Orang-orang Ateis menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen yang dikenal dengan masalah menyangkut keberadaan kejahatan. Argumen yang dikemukan bersandar pada kedua metode penarikan kesimpulan baik deduktif maupun induktif.

Argumen pertama yang dikemukakan oleh para Ateis dalam menolak keberadaan Tuhan adalah dengan mengemukakan secara logika tentang kejahatan. Argumen ini dikemukanan dengan menggunakan pendekatan deduktif. Menurut mereka jika Tuhan itu maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna, tentu tidak ada kejahatan di atas dunia. Padahal kenyatannya kejahatan itu ada. Karena itu keberadaan Tuhan harus ditolak.

Argumen kedua adalah dengan menunjukkan bukti tentang kejahatan. Argumen ini dikemukakan dengan menggunakan pendekatan induktif. Menurut mereka tidak ada satu orangpun yang dapat mengingkari bahwa kejahatan itu ada. Kita bisa melihat adanya perang, kelaparan, penyakit menular, rasa sakit dan lain-lain. Jika Tuhan secara moral sempurna, Ia tidak akan mau menciptakan dunia yang tidak sempurna; jika Ia maha tahu, tentunya Ia tahu dunia seperti apa yang terbaik; dan jika Ia maha kuasa, tentunya Ia punya kekuatan menciptakan dunia yang sempurna. Jika Ia maha kuasa, maha tahu, dan maha sempurna, tentunya Ia tidak kan menciptakan kejahatan dan segala keskitan tersebut. Kenyataanya kejahatan dan kesakitan tersebut ada. Ini merupakan bukti bahwa Tuhan itu tidak ada.

Demikianlah perdebatan yang tiada hentinya dari golongan yang mengakui bahwa Tuhan itu ada dan golongan yang menentangnya. Masing-masing fihak keluar dengan argumen yang menurut mereka kuat namun menurut lawan sangat lemah.

BAB II

PEMBAHASAN


Argumen-argumen yang dikemukan baik oleh golongan Teis maupun Ateis tidak lepas dari kritik. Kritik-kritik tersebut merupakan argumen-argumen pterhadap argumen-argumen sebelumnya.


Kritik terhadap argumen pendukung keberadaan Tuhan

  1. Kritik terhadap argumen teleologis

Benarkah argumen teleologis yang menyimpulkan bahwa alam semesta itu mepunyai perancang yang maha agung? Katakanlah argument itu benar. Namun masih ada pertanyaan yang tersisa. Apakah argumen itu menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan itu mungkin?

Kesimpulan bahwa ada perancang alam semesta yang sangat cerdas mengarahkan bahwa sesuatu di luar alam semesta itu yang bertanggungjawab untuk keberadaan dan pengaturan alam semesta. Dan itulah Tuhan. Tuhan, seperti pendapat tradisional mestinya sesuatu yang maha esa, maha tahu, maha kuasa, secara moral sempurna, tiada awal dan akhir, serta maha ada.

Andaipun kita mengabaikan berbagai penolakan selama ini, kita mesti mempertanyakan apakah "perancang agung" tersebut memiliki semua atribut diatas. Apakah perancang agung tersebut benar-benar tunggal? Kelihatannya tidak. Tidak ada argumen yang betul-betul meyakinkan bahwa perancang tersebut tunggal. Tidak ada satu argumenpun yang mengabaikan bahwa penciptaan alam semesta itu dilakukan oleh sekumpulan pencipta sebagaimana dipercaya oleh pendukung politeis. Apakah perancang tersebut tiada awal dan akhir atau abadi? Ini juga kelihatannya tidak. Mungkin saja Ia dibuat oleh sesuatu lain yang lenyap setelah penciptaannya. Tidak ada sutau argumenpun yang membantahnya. Selanjutnya, apakah perancang tersebut maha tahu dan maha kuasa? Kelihatannya juga tidak. Memang, perancang tersebut sangat super sepanjang menyangkut otak dan otot. Namun argumen ini sama sekali tidak menunjukakan kemahatahuan dan kemahakuasaan. Tearkhir, apakah perancang tersebut secara moral sempurna? Pertanyaan ini malah lebih sulit lagi. Kenyataan tentang adanya kejahatan dan segala ketidaksempurnaan alam menunjukkan bahwa alam semesta ini bukanlah ciptaan Tuhan yang benar-benar baik, dan maha kuasa.

Melihat pertanyan-pertanyaan tersebut, argumen-argumen teleologis tentang keberadaan Tuhan terlemahkan. Kalau argumen tentang keberadaan Tuhan itu lemah, maka bukankah itu berarti bahwa Tuhan tersebut belum tentu ada? Inilah salah satu kelemahan dari argumen teleologis yang selama ini digunakan.


  1. Kritik terhadap argumen kosmologis

Argumen kosmologis menguraikan bahwa alam semesta itu ada karena ada penyebab keberadaannya. Penyebab keberadaannya tentu sesuatu yang luar biasa yang ada tanpa ada penyebabnya. Dialah penyebab yang pertama.

Katakanlah argumen tersebut untuk sementara waktu diterima. Tapi apakah penyebab pertama tersebut dapat disebut sebagai Tuhan? Pertanyaan selanjutnya apakah penyebab pertama atau Tuhan itu betul-betul ada? Andaipun kita setujui argumen bahwa Tuhan adalah penyebab pertama adanya alam semesta, argumen ini masih belum cukup kuat untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu ada.

Kritik lain datang dari kenyataan bahwa obyek bukanlah penyebab. Penyebab sesuatu adalah kejadian atau keadaan. Jadi kita tidak ingin mengidentifikasikan Tuhan penyebab pertama, yang konsekwensinya adalah mengidenfikasikan Tuhan sebagai suatu kejadian atau keadaan. Argumen ini tidak dapat membuktikan bahwa alam semesta ini ada karena adanya penyebab pertama yang tidak punya penyebab. Argumen ini akhirnya tidak juga dapat mempertahankan tentang keberadaan Tuhan.

Kritik lain datang dari Charles Darwin melalui bukunya The Origin of Species yang dipublikasikannya pada tahun 1859 (Bronowski, 1973). Menurut Darwin semua makhluk itu berasal dari makhluk bersel satu yang terus menerus berevolusi dan mengalami mutasi menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungannya hingga sampai pada bentuknya yang sekarang. Menurut Darwin pejelasan tentang alam semesta itu bersifat alami, bukan supranatural sebagaimana yang dikemukakan oleh penganut keberadaan Tuhan.


  1. Kritik terhadap argumen ontologis

Argumen ontologis menjelaskan bahwa Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya mesti sempurna. Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna. Jika keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan pasti memiliki unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada.

Bagi kaum Ateis argumen ini sangat lemah. Bagaimana mungkin atribut kesempurnaan merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada? Bukankan argumen yang dikemukakan tersebut semua hanya ada dalam konsep, dalam pengertian? Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sesuatu disebut Tuhan jika ia lebih segala-galanya dari makhluk apapun. Namun, tidak ada hal seperti ini yang dapat kita temukan dalam kenyataan. Kita hanya menemukan hal seperti ini dalam pengertian.


Kritik terhadap argumen yang menolak keberadaan Tuhan

  1. Kritik terhadap argumen logika keberadaan kejahatan

Salah satu argumen yang digunakan oleh kaum Ateis untuk menolak keberadaan Tuhan adalah dengan menyatakan bahwa: "Jika Tuhan itu ada dan secara moral sempurna, maka Ia tidak akan mengijinkan adanya kejahatan yang Ia ketahui dan dapat mencegahnya". Argumen ini bukanlah kebenaran yang sesungguhnya, dan kemungkinan salah. Sebagai sesuatu yang secara moral sempurna, Tuhan pastilah membiarkankan terjadinya kejahatan diatas bumi. Tujuannya adalah untuk menciptakan dunia yang memiliki kebebasan bagi manusia untuk memilih dan menentukan sendiri apa yang akan dilakukannya.

Dunia yang memiliki penduduknya yang mempunya tanggung jawab moral adalah dunia yang lebih baik secara moral daripada dunia yang tidak memiliki tanggung jawab moral. Keadaan ini memerlukan penduduk yang memiliki kebebasan memilih. Jika seseorang tidak memiliki kebebasan maka ia tidak dapat disalahkan atau dipuji atas apa yang dilakukan. Karena itu sesuatu yang secara moral sempurna, yaitu Tuhan, tentunya mempunyai maksud untuk menciptakan dunia yang memiliki tanggung jawab moral, dan memberikan kebebasan kepada ciptaannya. Jika ciptaannya memiliki kebebasan yang sesungguhnya, maka kepada mereka mesti diberi kebebesan untuk memilih kejahatan atau kebaikan. Karena itu adanya kejahatan diatas dunia bukanlah karena Tuhan tidak ada. Argumen yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena tidak ada Tuhan adalah argumen yang benar, karena itu harus ditolak.

  1. Kritik terhadap argumen kejahatan sebagai bukti ketiadaan Tuhan

Argumen lain dalam menolak keberadaan Tuhan adalah dengan menunjukkan bahwa adanya kejahatan di alam semesta adalah bukti dari tidak adanya Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan yang katanya maha esa, maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna mau berdampingan dengan kejahatan.

Apakah argumen ini cukup kuat untuk menolak keberadaan Tuhan? Belum tentu. Mungkin saja keberadaan kejahatan dapat membuat keberadaan Tuhan menjadi sangat tidak mungkin. Namun, apakah betul adanya kejahatan merupakann bukti dari ketiadaan Tuhan? Apakah tidak mungkin bahwa adanya kejahatan itu justru menjadi bukti keberadaan Tuhan. Jadi kalau dikaji lebih mendalam, sesungguhnya keberadaan Tuhan tidak akan tersangkalkan bahkan jika ada kejahatan sekalipun. Untuk menyangkal keberadaan Tuhan tidaklah cukup hanaya dengan menunjukkan kejahatan sebagai bukti. Diperlukan argumen yang lebih kuat lagi untuk menunjang pernyataan tentang ketiadaan Tuhan.

BAB III

ANALISIS


Masih validkah argumen kaum Teis dalam mempertahankan keberadaan Tuhan untuk menjawab apakah Tuhan itu ada? Di lain fihak cukup validkan argumen kaum Ateis dalam menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban bahwa Tuhan itu tidak ada? Apakah tidak mungkin kita menggunakan argumen religius untuk menjawab pertanyaan tersebut secara filosofis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus menggunakan alat-alat filsafat, terutama logika.

Logika menurut Suriasumantri (1985) secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk bepikir secara sahih. Logika dapat juga dikatakan sebagai suatu cara untuk menarik kesimpulan yang benar dari suatu suatu fenomena dengan ditunjang oleh prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang relevan. Logika ini dikemukakan dalam bentuk argumen yang didasarkan pada kesimpulan terhadap suatu fenomena. Dalam logika terkandung sifat-sifat masuk akal atau rasional.Untuk menjawab pertanyan apakah Tuhan ada, tentunya kita harus berpikir logis, menggunakan logika atau akal sehat.

Ibnu Rusyd (1126 – 1198) (Nasution, 1978) salah seorang filsuf Islam dari Cordova, Spanyol, merupakan salah seorang filsuf yang mendukung argumen kosmologi. Ia menggunakan alam semesta sebagai jalan untuk menarik kesimpulan tentang keberadaan Tuhan. Seperti halnya para filsuf pendukung argumen kosmologis, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa segala sesuatu dalam alam semesta berlaku menurut hukum alam, yaitu sebab-musabab atau causality. Segala sesuatu dalam alam semesta berlaku menurut aturan-aturan tertentu yang sangat sempurna.

Untuk menunjang argumennya ia mengutip Al-Qur'an Surat Hud ayat 8 yang bunyinya: "Dan Ialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan takhtanya pada waktu itu berada di atas air, agar Ia uji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya". Menurut Ibnu Rusyd ayat ini mengaandung arti bahwa sebelum alam semesta berwujud seperti yang ada sekarang telah ada wujud lain yaitu air. Tuhan kemudian menciptakan alam semesta dari air dalam periode waktu tertentu, yang dalam Al Qur'an disebut 6 hari.

Apakah argumen ini benar secara logika? Adakah argumen lain yang menunjang pendapatnya. Dalam hal kejadian alam semesta pendapat ini mungkin dapat kita bandingkan dengan Charles Darwin (Bronowski, 1973) yang lahir jauh sesudahnya. Walaupun dalam bukunya The Origin of Species, Darwin hanya menjelaskan asal-usul spesies yang ada di atas bumi, namun setidaknya ada kesamaan pendapat bahwa pada mulanya segala sesuatu itu berasal dari air.

Pendapat lain datang Dr. Ahmed Aroua dalam bukunya L 'Islam et la Science (Campbel, 1986). Dalam buku itu menjelaskan hubungan antara ilmu dan agama yang antara lain menyebutkan sebagai berikut:

"Karena itu, ilmu pengetahuan diperlukan tidak hanya menjelaskan fenomena dan bertindak untuk itu tapi juga untuk menjawab alasan dan tujuan akhir dari perkembangan sesuatu. Ilmu-ilmu obyektif tidak cukup memiliki kualifikasi untuk menjawab tipe pertanyaan metafisik ini, dan filsafat hanyalah merupakan spekulasi dengan penjelasan yang mendasar dari ilmu pengetahuan. Kebenaran hanya akan datang dari sumber transedental yang menguassai alam semesta" Kutipan ini mengandung pengertian bahwa pengamatan ilmiah terhadap alam semesta menunjukkan adanya Tuhan maha pencipta.

Bagi Freud (1994), pengalaman tentang Tuhan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Ia ia mengatakan bahwa: "Sangatlah memalukan menemukan begitu banyak orang yang harus melihat bahwa agama tidaklah masuk akal, tapi mencoba mempertahankannya dengan tindakan keras yang memalukan. Setiap orang ingin memasukkan dirinya kedalam kelompok orang-orang pemeluk agama, dan mengkritisi para filsuf yang mencoba menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh, penuh dengan bayangan dan abstrak". Dari penjelasan ini tampaknya bagi Freud Tuhan itu mungkin tidak ada. Pandangan-pandangannya, teori-teorinya lebih mendekati pengetahuan alami dibandingkan supra-natural.

Bagi Kant (Brumbaugh, 1963) keberadaan Tuhan sebagai penyebab pertama alam semesta adalah pasti. Adalah tidak masuk akal bagi Kant jika dunia ada tanpa ada penyebab pertama. Tetapi asumsi bahwa ada titik awal penciptaan, bagi Kant merupakan suatu hal yang sulit diterima. Apakah yang menyebabkan penyebab pertama untuk bertindak? Itu pertanyaan yang sulit dijelaskan. Bagi Kant gagasan tentang sesuatu sebagai penyebab tapi keberadaannya sendiri tanpa penyebab merupakan pelanggaran yang jelas bagi aturan yang mengawali pemikirannya bahwa setiap kejadia pasti ada penyebabnya.

Bagi Newton (Holton, 1960), keberadaan Tuhan merupakan syarat mutlak bagi keteraturan alam semesta. Ia berpendapat bahwa keteraturan serta kestabilan tata surya membuktikan bahwa ini hanya dapat dihasilkan oleh kebijaksanaan dan kekuasaan Sang Pencipta yang berakal dan berkuasa. Pendapat ini seakan menentang pendapat yang berkembang saat itu bahwa setiap kemajuan ilmu pasti ditafsirkan sebagai pukulan terhadap agama.

BAB IV

PENUTUP


Kesimpulan

Apakah Tuhan itu ada? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang menggelitik yang muncul diawal tulisan ini. J.A. Cover dan Rudy L. Garns menjawab dengan bagus dalam buku Theories of Knowledge and Reality. Dia menguraikan masalah ini dari dua sudut pandang yang bertentangan dengan menggunakan argumen masing-masing.

Berdasarkan penelaahan dengan menggunakan berbagai pendapat para ilmuwan lain dapat disimpulkan bahwa:

  1. Argumen seseorang tentang keberadaan atau ketiadaan Tuhan sangat tergantung dari cara pandang dia terhadap alam semesta serta Tuhan itu sendiri.

  2. Latar belakang kehidupan serta lingkungan juga banyak pengaruhnya dalam mencetak argumen-argumen seseorang tentang keberadaan Tuhan.

  3. Kebanyakan argumen tentang keberadaan Tuhan ini dapat dipatahkan dengan mudah adalah karena keterbatasan dalam menyusun preposisi-preposisi yang mendukung kesimpulan.

  4. Dari pengamatan sementara, lebih banyak ilmuwan yang tetap percaya terhadap keberadaan, kekuasaan serta sifat-sifatnya daripada ilmuwan yang menyangkal.

Keyakinan akan keberadaan Tuhan tersebut adalah merupakan keyakinan pribadi seseorang. Tidak ada sesuatupun yang dapat memaksakan pendapatnya untuk mengubah keyakinan seseorang. Keyakinan seseorang terhadap keberadaan Tuhan tersebut tidak selalu berhubungan dengan apakah ia memeluk agama tertentu serta menjalankan ibadah menurut agama yang dipeluknya.


Saran-saran

Untuk memberikan bekal yang lebih kuat bagi mahasiswa dalam menyampaikan argumentasi pada sebuah diskusi ada beberapa hal yang perlu dilakukan baik oleh perguruan tinggi maupun oleh dosen, terutama untuk mahasiswa S1. Saran saran tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Mahasiswa perlu dibekali dengan Filsafat Ilmu yang secara khusus lebih mendalami topic-topik mengenai logika.

  2. Logika sebagai bagian dari filsafat perlu mendapat perhatian yang lebih besar karena logika ini akan membimbing mahasiswa dalam menarik kesimpulan yang logis dan rasional serta menyusun argumen-argumen yang juga logis dan rasional.

  3. Logis dan rasional merupakan sarat yang harus dipenuhi baik dalam menyampaikan pendapat secara lisan maupun tertulis.

  4. Seseorang yang tidak dapat menyusun argumen yang logis dan rasional akan sangat mudah dikalahkan dalam suatu perdebatan-perdebatan, baik lisan maupun tertulis.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Hilali, M. Taqiuddin, and M. Muhsin Khan, Interpretation of the Meanings of The Noble Qur'an in the English Language, Riyadh, Maktaba Dar-us-Salam, 1993.

Bronowski, J , The Ascent of Man, Cetakan 11, Boston, Little, Brown and Company, 1973

Brumbaugh, Roberts, and Nathaniel M Lawrence, Philosophers on Education, Six Essays on the Foundations of Western Thought, Boston, Hougton Mifflin Company, 1963

Campbel, William F., The Qur'an and the Bible in Light of History and Science, Arab World Ministries, Upper Darby, Philadelphia, 1986

Freud, Sigmund, Civilization and its Discontents, Translated by Joan Riviere, Dover Publication Inc., New York, 1994

Holton, Gerald, Ilmu Pengetahuan Modern dan Kita, dalam Dick Hartoko (ed.), Golongan Cendikiawan, Mereka yang berumah di atas angin, Gramedia, Jakarta, 1980

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, Cetakan 2, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1978

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar, Cetakan 2, Sinar Harapan, Jakarta, 1985.





Y U S
Yakin Usaha Sampai

Baca Selengkapnya... … FILSAFAT ILMU
Category: 0 komentar

Filsafat dalam Komunikasi

APLIKASI FILSAFAT DALAM ILMU KOMUNIKASI

Oleh

Tine Silvana R*)



Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa dewasa ini bahkan ketergantungan manusia pada media massa sudah sedemikian besar. Media komunikasi massa abad ini yang tengah digandrungi masyarakat adalah televisi. Joseph Straubhaar & Robert La Rose dalam bukunya Media Now, menyatakan; the Avarege Person spend 2600 Hours per years watcing TV or listening to radio. That,s 325 eight-hourdays, a full time job. We spend another 900 hours with other media, including, newpaper, books, magazines, music, film, home video, video games and the internet, that about hours of media use – more time than we spend on anything else, including working or sleeping (straubhaar & La Rose, 2004 : 3)


Di Indonesia berdasarkan survey Ac Nielsen di tahun 1999 bahwa 61% sampai 91% masyarakat Indonesia suka menonton televisi, hasil ini lebih lanjut dijelaskan bahwa "hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar menonton televisi setiap hari dari 4 dari 10 orang mendengarkan radio" ( Media Indonesia, 16- Nopember 1999). Hal ini menunjukkan bahwa menonton televisi merupakan "aktivitas" utama masyarakat yang seakan tak bisa ditinggalkan. Realitas ini sebuah bukti bahwa televisi mempunyai kekuatan menghipnotis pemirsa, sehingga seolah-olah televisi telah mengalienasi seseorang dalam agenda settingnya.


Perkembangan pertelevisian di Indonesia dua tahun terakhir ini memang amat menarik, televisi-televisi swasta bermunculan melengkapi dan memperkaya TV yang sudah ada. Tercatat lebih dari 17 TV yang ada di Indonesia adalah TVRI, RCTI, SCTV, TPI, AN-TV, Indosiar, Trans-TV, Lativi, TV-7, TV Global, dan Metro TV ditambah TV-TV lokal seperti Bandung TV, STV, Padjadjaran TV dan sebagainya. Fenomena ini tentu saja menggembirakan karena idealnya masyarakat Indonesia memiliki banyak alternatif dalam memilih suguhan acara televisi.


Namun realitasnya, yang terjadi adalah stasiun-stasiun TV di Indonesia terjebak pada selera pasar karena tema acara yang disajikan hampir semua saluran TV tidak lagi beragam tetapi seragam di mana informasi yang sampai kepada publik hanya itu-itu saja tidak menyediakan banyak alternatif pilihan. Beberapa format acara TV yang sukses di satu stasiun TV acapkali diikuti oleh TV-TV lainnya, hal ini terjadi hampir pada seluruh format acara TV baik itu berita kriminal dan bedah kasus, tayangan misteri, dangdut, film india, telenovela, serial drama Asia, Infotainment, dan lain-lain.



_______________

*) Dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Media watch mencatat bahwa selama ini atas nama mekanisme pasar, pilihan format isi pertelevisian tak pernah lepas dari pertimbangan "tuntunan khalayak" menurut perspektif pengelola. Berbagai program acara dibuat hanya untuk melayani kelompok budaya mayoritas yang potensial menguntungkan, sementara kelompok minoritas tersisihkan dari dunia simbolik televisi.


Ukuran televisi hanya dilihat berdasarkan rating tidak memperhatikan faktor fungsional, akibatnya ada kelompok masyarakat yang dapat menikmati berbagai stasiun TV karena berada di wilayah yang berpotensi, tapi ada masyarakat yang tak terlayani sama sekali atau menangkap acara televisi namun isinya secara kultural tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.


Keadaan ini sebelumnya terjadi juga pada negara adi kuasa seperti Amerika Serikat penelitian di negara ini menunjukkan bahwa surat kabar dan televisi mengarahkan sasaran liputan mereka terutama pada kelompok elite dan tak memperdulikan sebagian besar warga (Kovach, 2003:66) dalam pemenuhan fungsi informasi dan hiburan belakangan ini, TV-TV gencar menayangkan berita-berita yang disebut dengan infotainment. Kehadiran infotainment amat mewarnai program-program acara di televisi bahkan menempati posisi rating tertinggi yang berarti acara-acara model seperti ini amat digemari oleh masyarakat. Pengiklan pun tak urung berbondong—bondong memasang iklan pada setiap tayangannya tentu saja semakin mamacu pengelola media untuk berloma-lomba membuat heboh acara infotainment yang dikemasnya.


Dipelopori oleh tayangan kabar-kabari lima tahun silam di RCTI, saat ini tidak kurang dari 50 judul acara serupa muncul menyebar di semua stasiun TV termasuk TVRI bahkan Metro TV. Semua format yang tampil mengatasnamakan infotainment sebagai penggabungan dari kata "Information' dan Entertainment' (Informasi dan Hiburan) wujudnya merupakan paket tayangan informasi yang dikemas dalam bentuk hiburan & informasi yang menghibur.


Jika kita cermati tampaknya tayangan-tayangan infotainment yang mengklaim sebagai sebuah produk jurnalisme seringkali berorientasi bukan pada efek yang timbul dalam masyarakat tetapi produk komersial tersebut apakah mampu terjual dan mempunyai nilai ekonomis atau tidak, sehingga tidak memperhatikan apa manfaatnya bagi pemirsa ketika menginformasikan adegan "syur" Mayangsari – Bambang Soeharto, exploitasi kawin cerai para selebritis, konflik, gaya hidup, serta kebohongan publik yang kerap digembar-gemborkan oleh kalangan selebritis.


Fenomena ini menandakan satu permasalahan di dalam kehidupan nilai-nilai "filosofis" televisi di Indonesia. Televisi Indonesia semakin hari semakin memperlihatkan kecenderungan mencampuradukan berita dan hiburan melalui format tayangan "infotainment". Kebergunaan berita menjadi berkurang bahkan menyimpang. Hal ini disebabkan di antaranya oleh tekanan pasar yang makin meningkat.


1. Kerangka Teoritis

Louis O. Katsoff dalam bukunya "Elements of Philosophy" menyatakan bahwa kegiatan filsafat merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan meragukan segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan yang lainnya, menanyakan "mengapa"' mencari jawaban yang lebih baik ketimbang jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan kejelasan, keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.


Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.


Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.


Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai) Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah dengan nama metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa yang diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya. "Metatori adalah teori tentang teori" pelbagai kajian metatori yang berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis) bagi kehidupan sosial. Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong lingkup persoalan di dalam disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama dalam penyajian berita infotainment di televisi.


2. Kajian Aspek Epistemologis:

Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari "The Quality of News" dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.


3. Kajian Aspek Ontologis

Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa "Jurnalisme kuning."


Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika "Bill Clinton- Lewinsky". Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin membuat semarak "Jurnalisme kuning di Indonesia". Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)


4. Kajian pada aspek aksiologis

Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk "menyaingkan" antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.


Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.




DAFTAR PUSTAKA


Andersen., Kenneth E., 1972, Introduction to Communication Theory and Practice, Philippines: Cumming Publ Company.

Anshari., Endang Saefuddin, 1991. Ilmu Filsafat dan Agama, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Asante., Molefi Kete, 1989, Handbook of International and Intercultural Communication, California: sage Publ Inc.

Bagus., Lorens, 1991, Metafisika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Berger., Charles R., 1987, Handbook of Communication Science, California: Sage publ Inc.

Cobley., Paul, 1996, The Communication Theory Reader, London: Routledge.

DeFleur., Melvin L., 1985, Understanding Mass Communication, Boston: Houghton Mifflin Company.

Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fisher., B. Aubrey, 1987, Interpersonal Communication: Pragmatics of Human Relation 2 nd ed., McGraw-Hill

Little John., Stephen W., 1996, Theories of Human Communication, Ohio: Charles E. Merril Company

Muhadjir., Noeng, 1998, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Rake Sarasin, Yogyakarta


Mulyana., Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, PT. Rosdakarya, Bandung

Mulyana., Deddy, 2001, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Rosdakarya, Bandung

Poerwadarminta., W.J.S, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta

Susanto., Astrid S, 1976, Filsafat Komunikasi, Penerbit Binacipta, Bandung.

Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta

Syam., Nina Winangsih, Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi Pembangunan Dalam Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada tanggal 11 September 2002


Baca Selengkapnya... … Filsafat dalam Komunikasi
Category:

sambil santai !!!

Labels

tampilkan banner di blog kamu


ini kode script-nya!

Apa tanggapan anda tentang blog ini?

Temen-Temen

..:: Perhatian !! terima kasih atas kunjungannya ^_^ silahkah berkunjung lagi di lain waktu ::..