BAB I PENDAHULUAN
Apakah Tuhan itu ada? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang cukup menggelitik ketika kita mendalami filsafat, termasuk filsafat ilmu. Berbagai temuan ilmiah seringkali mengecilkan arti keberadaan Tuhan. Bahkan ada juga yang mengingkari sama sekali keberadaan Tuhan tersebut. Kalau dikaji dari sudut pandang religius, keberadaan Tuhan ini tentu tidak diragukan lagi. Banyak ayat-ayat dari kitab suci, apapun agamanya, yang membenarkan keberadaan Tuhan tersebut. Al Qur'an misalnya. Pada surat Al Ikhlas misalnya, keberadaan Tuhan jelas-jelas disebut. Pada surat tersebut diuraikan secara gamblang sebagai berikut:
(Al Hilali, 1993) Namun, uraian ini belumlah cukup meyakinkan bagi orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Mereka memerlukan argumen-argumen yang secara logika dapat dipercaya. Karena itu perlu pengkajian yang lebih mendasar secara rasional. Buku Theories of Knowledge and Reality mencoba menawarkan berbagai argumen menyangkut keberadaan Tuhan ini. Buku ini memperkenalkan tentang masalah utama, argumen-argumen dan berbagai metode yang digunakan dalam filsafat. Ada empat hal utama yang selalu menjadi perdebatan tidak henti-hentinya dalam filsafat terutama filsafat agama yaitu keberadaan Tuhan, masalah-masalah yang menyangkut pikiran dan tubuh manusia, persepsi dan pengetahuan tentang dunia luar, serta kronik tentang kebebasan atau keterikatan manusia. Pada kesempatan ini akan dibahas masalah keberadaan Tuhan dilihat dari dua sudut yang bertentangan, yaitu Teis dan Ateis, disertai argumenasi filosofis masing-masing fihak dalam mempertahankan pendiriannya. Ada dua alat yang digunakan oleh manusia untuk mempertahankan pendirian serta menkritik pendirian orang lain. Alat tersebut adalah logika dan bahasa. Logika akan membimbing manusia dalam menarik kesimpulan serta mengemukakan pendapat. Sedangkan bahasa digunakan untuk mengekspresikan kesimpulan serta pendapat seseorang. Kedua hal ini sangat penting dalam pergumulan manusia. Logika adalah suatu cara untuk menarik kesimpulan yang benar dari suatu suatu fenomena dengan ditunjang oleh prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang relevan. Logika ini dikemukakan dalam bentuk argumen yang didasarkan pada kesimpulan terhadap suatu fenomena. Dalam menarik kesimpulan ini ada dua pendekatan yang digunakan yaitu deduktif dan induktif. Suatu kesimpulan dikatakan deduktif jika premis digunakan sebagai bukti bahwa kesimpulan tersebut benar. Jika premis digunakan sebagai dasar untuk menarik kesimpulan, maka kesimpulan tersebut disebut induktif. Dalam mengemukakan kesimpulan dalam suatu argumen, peran bahasa sangan besar. Bahasa inilah yang memastikan orang lain dapat memahami argumen seseorang atau tidak. Dalam bahasa terkandung unsur arti atau pengertian, analisis konsep, dan proposisi dan kalimat. Ketiga hal inilah yang sangat besar perannya dalam menyusun argumen yang tidak hanya dimengerti, tapi lebih jauh diterima oleh orang lain sebagai suatu kebenaran. Dalam filsafat, keberadaan Tuhan ini tidaklah dapat dikaji hanya dari sudut kepercayaan religius atau keagamaan. Jika dikaji dengan alat ini, maka tidak ada lagi yang perlu didiskusikan karena masalah ini sudah selesai. Bagi seorang yang religius keberadaan Tuhan itu sudah final. Tidak adalagi yang dapat didiskusikan seputar keberadaan Tuhan tersebut. Sementara kalau dari sudut pandang filsafat, keberadaan Tuhan itu haruslah dikaji dengan mendasar secara rasional. Apakah Tuhan itu? Apakah Tuhan itu benar-benar ada? Para filsuf mempunyai pemahaman yang tidak sama tentang Tuhan serta Keberadaannya. Ada yang menolak keberadaan Tuhan karena menurut mereka tidak rasional. Mereka digolongkan pada Ateis. Ada yang mengakui keberadaan Tuhan dengan berbagai pandangan berbeda. Sementara ada juga yang tidak menolak keberadaan Tuhan ini namun tidak menunjukkan pengakuan terhadap keberadaan Tuhan tersebut. Golongan ini disebut sebagai Agnostik. Untuk menunjang pemahaman mereka tersebut, masing-masing pihak keluar dengan argumen masing-masing . Golongan yang mengakui keberadaan Tuhan keluar dengan tiga argumen yang berbeda yaitu teleologis, kosmologis, dan ontologis. Argumen teleologis bersifat induktif a posteriori, argumen kosmologis bersifat deduktif a posteriori, dan argumen ontologis bersifat deduktif apriori. Golongan Ateispun mempunyai argumen yang rasional dan mendasar untuk menunjang penolakan mereka terhadap keberadaan Tuhan. Argumen-argumen dari golongan ini memiliki kedua pendekatan baik deduktif maupun induktif. Argumen yang paling umum tentang keberadaan Tuhan adalah argumen teleologis. Argumen teleologis menyandarkan kesimpulannya pada pengalaman empirik tertentu dan menarik kesamaan dengan obyek yang kebenarannya akan dipertahankan. Dengan menggunakan argumen ini pendudukung keberadaan Tuhan menunjukkan keberadaan Tuhan dengan menganalogikan alam semesta dengan obyek-obyek lain ciptaan manusia. Mereka berargumen bahwa alam semesta yang demikian teratur ini tidak mungkin tidak ada yang menciptakan. Dan penciptanya tentulah sesuatu yang sangat cerdas yang melebihi kecerdasan makhluk apapun. Perancang dan pencipta alam semesta yang maha cerdas inilah yang diklaim sebagai Tuhan. Argumen lain yang mempertahankan keberadaan Tuhan adalah argumen kosmologis. Kosmologi ini berasal dari kata kosmos yang berarti alam semesta. Argumen ini juga mendasarkan kesimpulannya pada pengalaman empirik menyangkut alam semesta. Argumen ini dimulai dari pemahaman umum menyangkut kebenaran yang nyata tentang keberadaan alam semesta. Siapapun di atas dunia tidak dapat menyangkal keberadaan alam semesta karena keberadaannya benar-benar nyata. Selanjutnya kita akan sampai pada pertanyaan tentang apa yang menyebabkan alam semesta ini ada. Secara fisik alam semesta itu nyata-nyata ada. Keberadaannya pasti ada penyebabnya. Penyebabnya tentulah sesuatu yang sangat luar biasa kuasanya melebihi apapun. Penyebab ini tetunya sudah ada tanpa ada yang menyebabkabkan keberadaannya. Dan dialah yang disebut Tuhan. Karena itulah Tuhan itu pasti ada. Ontologis merupakan argumen lain yang digunakan untuk menunjukkan keberadaan Tuhan. Ontologi ini popular sejak sebagi subyek debat filsafat sejak tahu 1077 saat di diperkenalkan oleh St. Anselman. Konsep dasar di balik semua argumen ontologis tentang Tuhan adalah bahwa kita tidak akan dapat memahami konsep Tuhan jika kita tidak menagakui keberadaannya. Pemahaman kita tentang Tuhan adalah sesuatu yang sangat istimewa, sangat sempurna, lebih dari segala sesuatu lainnya yang mungkin ada. Ada dua versi argumen ontologis yaitu argumen langsung dan argumen tak langsung. Pada arguman langsung kesimpulan langsung diberikan setelah premis tanpa ada asumsi tambahan. Versi ini dikenal dengan versi Cartesian yang diperkenalkan oleh Descartes. Ide dasar dari Cartesian ini sangat sederhana. Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya mesti sempurna. Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna. Jika keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan pasti memiliki unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada. Sedangkan pada versi kedua, argumen tak langsung, atau lebih pas disebut argumen reductio ad absurdum. Pada versi ini kesimpulan diambil setelah menunjukkan bahwa argumen yang menolak kesimpulan ini salah. Versi ini dikenal dengan versi Anselmian yang diperkenalkan oleh St. Anselman. St. Anselman berpendapat bahwa sesuatu itu Tuhan jika dan hanya jika Ia adalah sesuatu yang paling dapat dipercaya. Tuhan adalah sesuatu yang tidak ada yang lebih besar darinya. Kaum Ateis setuju dengan pernyataan bahwa Tuhan itu pastilah lebih besar dari apapun. Namun, mereka berpendapat bahwa Tuhan itu hanya ada dalam pikiran, tidak dalam kenyataan. Karena itu Tuhan itu tidak ada. Anselman berpendapat bahwa argumen kaum Ateis ini absurd dan kontradiktif. Di satu pihak mengakui konsep ketuhanan, namun di sisi lain menolak keberadaan Tuhan karena Tuhan tersebut tidak ada dalam kenyataan. Karena argumen itu kontradiktif dan absurd, maka argumen tersebut tidak dapat diterima. Oleh karenanya argumen yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada harus ditolak. Dan itu berarti bahwa Tuhan itu ada. Kita sudah membahas argumen-argumen yang dikemukakan oleh orang-orang yang berpihak pada pendapat bahwa Tuhan itu ada. Lalu, bagaimanakah pendapat orang yang menentangnya. Orang-orang Ateis menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen yang dikenal dengan masalah menyangkut keberadaan kejahatan. Argumen yang dikemukan bersandar pada kedua metode penarikan kesimpulan baik deduktif maupun induktif. Argumen pertama yang dikemukakan oleh para Ateis dalam menolak keberadaan Tuhan adalah dengan mengemukakan secara logika tentang kejahatan. Argumen ini dikemukanan dengan menggunakan pendekatan deduktif. Menurut mereka jika Tuhan itu maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna, tentu tidak ada kejahatan di atas dunia. Padahal kenyatannya kejahatan itu ada. Karena itu keberadaan Tuhan harus ditolak. Argumen kedua adalah dengan menunjukkan bukti tentang kejahatan. Argumen ini dikemukakan dengan menggunakan pendekatan induktif. Menurut mereka tidak ada satu orangpun yang dapat mengingkari bahwa kejahatan itu ada. Kita bisa melihat adanya perang, kelaparan, penyakit menular, rasa sakit dan lain-lain. Jika Tuhan secara moral sempurna, Ia tidak akan mau menciptakan dunia yang tidak sempurna; jika Ia maha tahu, tentunya Ia tahu dunia seperti apa yang terbaik; dan jika Ia maha kuasa, tentunya Ia punya kekuatan menciptakan dunia yang sempurna. Jika Ia maha kuasa, maha tahu, dan maha sempurna, tentunya Ia tidak kan menciptakan kejahatan dan segala keskitan tersebut. Kenyataanya kejahatan dan kesakitan tersebut ada. Ini merupakan bukti bahwa Tuhan itu tidak ada. Demikianlah perdebatan yang tiada hentinya dari golongan yang mengakui bahwa Tuhan itu ada dan golongan yang menentangnya. Masing-masing fihak keluar dengan argumen yang menurut mereka kuat namun menurut lawan sangat lemah. BAB II PEMBAHASAN
Argumen-argumen yang dikemukan baik oleh golongan Teis maupun Ateis tidak lepas dari kritik. Kritik-kritik tersebut merupakan argumen-argumen pterhadap argumen-argumen sebelumnya.
Kritik terhadap argumen pendukung keberadaan Tuhan
Benarkah argumen teleologis yang menyimpulkan bahwa alam semesta itu mepunyai perancang yang maha agung? Katakanlah argument itu benar. Namun masih ada pertanyaan yang tersisa. Apakah argumen itu menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan itu mungkin? Kesimpulan bahwa ada perancang alam semesta yang sangat cerdas mengarahkan bahwa sesuatu di luar alam semesta itu yang bertanggungjawab untuk keberadaan dan pengaturan alam semesta. Dan itulah Tuhan. Tuhan, seperti pendapat tradisional mestinya sesuatu yang maha esa, maha tahu, maha kuasa, secara moral sempurna, tiada awal dan akhir, serta maha ada. Andaipun kita mengabaikan berbagai penolakan selama ini, kita mesti mempertanyakan apakah "perancang agung" tersebut memiliki semua atribut diatas. Apakah perancang agung tersebut benar-benar tunggal? Kelihatannya tidak. Tidak ada argumen yang betul-betul meyakinkan bahwa perancang tersebut tunggal. Tidak ada satu argumenpun yang mengabaikan bahwa penciptaan alam semesta itu dilakukan oleh sekumpulan pencipta sebagaimana dipercaya oleh pendukung politeis. Apakah perancang tersebut tiada awal dan akhir atau abadi? Ini juga kelihatannya tidak. Mungkin saja Ia dibuat oleh sesuatu lain yang lenyap setelah penciptaannya. Tidak ada sutau argumenpun yang membantahnya. Selanjutnya, apakah perancang tersebut maha tahu dan maha kuasa? Kelihatannya juga tidak. Memang, perancang tersebut sangat super sepanjang menyangkut otak dan otot. Namun argumen ini sama sekali tidak menunjukakan kemahatahuan dan kemahakuasaan. Tearkhir, apakah perancang tersebut secara moral sempurna? Pertanyaan ini malah lebih sulit lagi. Kenyataan tentang adanya kejahatan dan segala ketidaksempurnaan alam menunjukkan bahwa alam semesta ini bukanlah ciptaan Tuhan yang benar-benar baik, dan maha kuasa. Melihat pertanyan-pertanyaan tersebut, argumen-argumen teleologis tentang keberadaan Tuhan terlemahkan. Kalau argumen tentang keberadaan Tuhan itu lemah, maka bukankah itu berarti bahwa Tuhan tersebut belum tentu ada? Inilah salah satu kelemahan dari argumen teleologis yang selama ini digunakan.
Argumen kosmologis menguraikan bahwa alam semesta itu ada karena ada penyebab keberadaannya. Penyebab keberadaannya tentu sesuatu yang luar biasa yang ada tanpa ada penyebabnya. Dialah penyebab yang pertama. Katakanlah argumen tersebut untuk sementara waktu diterima. Tapi apakah penyebab pertama tersebut dapat disebut sebagai Tuhan? Pertanyaan selanjutnya apakah penyebab pertama atau Tuhan itu betul-betul ada? Andaipun kita setujui argumen bahwa Tuhan adalah penyebab pertama adanya alam semesta, argumen ini masih belum cukup kuat untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu ada. Kritik lain datang dari kenyataan bahwa obyek bukanlah penyebab. Penyebab sesuatu adalah kejadian atau keadaan. Jadi kita tidak ingin mengidentifikasikan Tuhan penyebab pertama, yang konsekwensinya adalah mengidenfikasikan Tuhan sebagai suatu kejadian atau keadaan. Argumen ini tidak dapat membuktikan bahwa alam semesta ini ada karena adanya penyebab pertama yang tidak punya penyebab. Argumen ini akhirnya tidak juga dapat mempertahankan tentang keberadaan Tuhan. Kritik lain datang dari Charles Darwin melalui bukunya The Origin of Species yang dipublikasikannya pada tahun 1859 (Bronowski, 1973). Menurut Darwin semua makhluk itu berasal dari makhluk bersel satu yang terus menerus berevolusi dan mengalami mutasi menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungannya hingga sampai pada bentuknya yang sekarang. Menurut Darwin pejelasan tentang alam semesta itu bersifat alami, bukan supranatural sebagaimana yang dikemukakan oleh penganut keberadaan Tuhan.
Argumen ontologis menjelaskan bahwa Jika sesuatu itu Tuhan, Ianya mesti sempurna. Kesempurnaan itu meliputi maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna. Jika keberadaan merupakan salah satu bukti dari kesempurnaan maka Tuhan pasti memiliki unsur keberadaan. Karena itu Tuhan pasti ada. Bagi kaum Ateis argumen ini sangat lemah. Bagaimana mungkin atribut kesempurnaan merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada? Bukankan argumen yang dikemukakan tersebut semua hanya ada dalam konsep, dalam pengertian? Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sesuatu disebut Tuhan jika ia lebih segala-galanya dari makhluk apapun. Namun, tidak ada hal seperti ini yang dapat kita temukan dalam kenyataan. Kita hanya menemukan hal seperti ini dalam pengertian.
Kritik terhadap argumen yang menolak keberadaan Tuhan
Salah satu argumen yang digunakan oleh kaum Ateis untuk menolak keberadaan Tuhan adalah dengan menyatakan bahwa: "Jika Tuhan itu ada dan secara moral sempurna, maka Ia tidak akan mengijinkan adanya kejahatan yang Ia ketahui dan dapat mencegahnya". Argumen ini bukanlah kebenaran yang sesungguhnya, dan kemungkinan salah. Sebagai sesuatu yang secara moral sempurna, Tuhan pastilah membiarkankan terjadinya kejahatan diatas bumi. Tujuannya adalah untuk menciptakan dunia yang memiliki kebebasan bagi manusia untuk memilih dan menentukan sendiri apa yang akan dilakukannya. Dunia yang memiliki penduduknya yang mempunya tanggung jawab moral adalah dunia yang lebih baik secara moral daripada dunia yang tidak memiliki tanggung jawab moral. Keadaan ini memerlukan penduduk yang memiliki kebebasan memilih. Jika seseorang tidak memiliki kebebasan maka ia tidak dapat disalahkan atau dipuji atas apa yang dilakukan. Karena itu sesuatu yang secara moral sempurna, yaitu Tuhan, tentunya mempunyai maksud untuk menciptakan dunia yang memiliki tanggung jawab moral, dan memberikan kebebasan kepada ciptaannya. Jika ciptaannya memiliki kebebasan yang sesungguhnya, maka kepada mereka mesti diberi kebebesan untuk memilih kejahatan atau kebaikan. Karena itu adanya kejahatan diatas dunia bukanlah karena Tuhan tidak ada. Argumen yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena tidak ada Tuhan adalah argumen yang benar, karena itu harus ditolak.
Argumen lain dalam menolak keberadaan Tuhan adalah dengan menunjukkan bahwa adanya kejahatan di alam semesta adalah bukti dari tidak adanya Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan yang katanya maha esa, maha kuasa, maha tahu dan secara moral sempurna mau berdampingan dengan kejahatan. Apakah argumen ini cukup kuat untuk menolak keberadaan Tuhan? Belum tentu. Mungkin saja keberadaan kejahatan dapat membuat keberadaan Tuhan menjadi sangat tidak mungkin. Namun, apakah betul adanya kejahatan merupakann bukti dari ketiadaan Tuhan? Apakah tidak mungkin bahwa adanya kejahatan itu justru menjadi bukti keberadaan Tuhan. Jadi kalau dikaji lebih mendalam, sesungguhnya keberadaan Tuhan tidak akan tersangkalkan bahkan jika ada kejahatan sekalipun. Untuk menyangkal keberadaan Tuhan tidaklah cukup hanaya dengan menunjukkan kejahatan sebagai bukti. Diperlukan argumen yang lebih kuat lagi untuk menunjang pernyataan tentang ketiadaan Tuhan. BAB III ANALISIS
Masih validkah argumen kaum Teis dalam mempertahankan keberadaan Tuhan untuk menjawab apakah Tuhan itu ada? Di lain fihak cukup validkan argumen kaum Ateis dalam menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban bahwa Tuhan itu tidak ada? Apakah tidak mungkin kita menggunakan argumen religius untuk menjawab pertanyaan tersebut secara filosofis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus menggunakan alat-alat filsafat, terutama logika. Logika menurut Suriasumantri (1985) secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk bepikir secara sahih. Logika dapat juga dikatakan sebagai suatu cara untuk menarik kesimpulan yang benar dari suatu suatu fenomena dengan ditunjang oleh prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang relevan. Logika ini dikemukakan dalam bentuk argumen yang didasarkan pada kesimpulan terhadap suatu fenomena. Dalam logika terkandung sifat-sifat masuk akal atau rasional.Untuk menjawab pertanyan apakah Tuhan ada, tentunya kita harus berpikir logis, menggunakan logika atau akal sehat. Ibnu Rusyd (1126 – 1198) (Nasution, 1978) salah seorang filsuf Islam dari Cordova, Spanyol, merupakan salah seorang filsuf yang mendukung argumen kosmologi. Ia menggunakan alam semesta sebagai jalan untuk menarik kesimpulan tentang keberadaan Tuhan. Seperti halnya para filsuf pendukung argumen kosmologis, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa segala sesuatu dalam alam semesta berlaku menurut hukum alam, yaitu sebab-musabab atau causality. Segala sesuatu dalam alam semesta berlaku menurut aturan-aturan tertentu yang sangat sempurna. Untuk menunjang argumennya ia mengutip Al-Qur'an Surat Hud ayat 8 yang bunyinya: "Dan Ialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan takhtanya pada waktu itu berada di atas air, agar Ia uji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya". Menurut Ibnu Rusyd ayat ini mengaandung arti bahwa sebelum alam semesta berwujud seperti yang ada sekarang telah ada wujud lain yaitu air. Tuhan kemudian menciptakan alam semesta dari air dalam periode waktu tertentu, yang dalam Al Qur'an disebut 6 hari. Apakah argumen ini benar secara logika? Adakah argumen lain yang menunjang pendapatnya. Dalam hal kejadian alam semesta pendapat ini mungkin dapat kita bandingkan dengan Charles Darwin (Bronowski, 1973) yang lahir jauh sesudahnya. Walaupun dalam bukunya The Origin of Species, Darwin hanya menjelaskan asal-usul spesies yang ada di atas bumi, namun setidaknya ada kesamaan pendapat bahwa pada mulanya segala sesuatu itu berasal dari air. Pendapat lain datang Dr. Ahmed Aroua dalam bukunya L 'Islam et la Science (Campbel, 1986). Dalam buku itu menjelaskan hubungan antara ilmu dan agama yang antara lain menyebutkan sebagai berikut: "Karena itu, ilmu pengetahuan diperlukan tidak hanya menjelaskan fenomena dan bertindak untuk itu tapi juga untuk menjawab alasan dan tujuan akhir dari perkembangan sesuatu. Ilmu-ilmu obyektif tidak cukup memiliki kualifikasi untuk menjawab tipe pertanyaan metafisik ini, dan filsafat hanyalah merupakan spekulasi dengan penjelasan yang mendasar dari ilmu pengetahuan. Kebenaran hanya akan datang dari sumber transedental yang menguassai alam semesta" Kutipan ini mengandung pengertian bahwa pengamatan ilmiah terhadap alam semesta menunjukkan adanya Tuhan maha pencipta. Bagi Freud (1994), pengalaman tentang Tuhan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Ia ia mengatakan bahwa: "Sangatlah memalukan menemukan begitu banyak orang yang harus melihat bahwa agama tidaklah masuk akal, tapi mencoba mempertahankannya dengan tindakan keras yang memalukan. Setiap orang ingin memasukkan dirinya kedalam kelompok orang-orang pemeluk agama, dan mengkritisi para filsuf yang mencoba menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang jauh, penuh dengan bayangan dan abstrak". Dari penjelasan ini tampaknya bagi Freud Tuhan itu mungkin tidak ada. Pandangan-pandangannya, teori-teorinya lebih mendekati pengetahuan alami dibandingkan supra-natural. Bagi Kant (Brumbaugh, 1963) keberadaan Tuhan sebagai penyebab pertama alam semesta adalah pasti. Adalah tidak masuk akal bagi Kant jika dunia ada tanpa ada penyebab pertama. Tetapi asumsi bahwa ada titik awal penciptaan, bagi Kant merupakan suatu hal yang sulit diterima. Apakah yang menyebabkan penyebab pertama untuk bertindak? Itu pertanyaan yang sulit dijelaskan. Bagi Kant gagasan tentang sesuatu sebagai penyebab tapi keberadaannya sendiri tanpa penyebab merupakan pelanggaran yang jelas bagi aturan yang mengawali pemikirannya bahwa setiap kejadia pasti ada penyebabnya. Bagi Newton (Holton, 1960), keberadaan Tuhan merupakan syarat mutlak bagi keteraturan alam semesta. Ia berpendapat bahwa keteraturan serta kestabilan tata surya membuktikan bahwa ini hanya dapat dihasilkan oleh kebijaksanaan dan kekuasaan Sang Pencipta yang berakal dan berkuasa. Pendapat ini seakan menentang pendapat yang berkembang saat itu bahwa setiap kemajuan ilmu pasti ditafsirkan sebagai pukulan terhadap agama. BAB IV PENUTUP
Kesimpulan Apakah Tuhan itu ada? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang menggelitik yang muncul diawal tulisan ini. J.A. Cover dan Rudy L. Garns menjawab dengan bagus dalam buku Theories of Knowledge and Reality. Dia menguraikan masalah ini dari dua sudut pandang yang bertentangan dengan menggunakan argumen masing-masing. Berdasarkan penelaahan dengan menggunakan berbagai pendapat para ilmuwan lain dapat disimpulkan bahwa:
Keyakinan akan keberadaan Tuhan tersebut adalah merupakan keyakinan pribadi seseorang. Tidak ada sesuatupun yang dapat memaksakan pendapatnya untuk mengubah keyakinan seseorang. Keyakinan seseorang terhadap keberadaan Tuhan tersebut tidak selalu berhubungan dengan apakah ia memeluk agama tertentu serta menjalankan ibadah menurut agama yang dipeluknya.
Saran-saran Untuk memberikan bekal yang lebih kuat bagi mahasiswa dalam menyampaikan argumentasi pada sebuah diskusi ada beberapa hal yang perlu dilakukan baik oleh perguruan tinggi maupun oleh dosen, terutama untuk mahasiswa S1. Saran saran tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hilali, M. Taqiuddin, and M. Muhsin Khan, Interpretation of the Meanings of The Noble Qur'an in the English Language, Riyadh, Maktaba Dar-us-Salam, 1993. Bronowski, J , The Ascent of Man, Cetakan 11, Boston, Little, Brown and Company, 1973 Brumbaugh, Roberts, and Nathaniel M Lawrence, Philosophers on Education, Six Essays on the Foundations of Western Thought, Boston, Hougton Mifflin Company, 1963 Campbel, William F., The Qur'an and the Bible in Light of History and Science, Arab World Ministries, Upper Darby, Philadelphia, 1986 Freud, Sigmund, Civilization and its Discontents, Translated by Joan Riviere, Dover Publication Inc., New York, 1994 Holton, Gerald, Ilmu Pengetahuan Modern dan Kita, dalam Dick Hartoko (ed.), Golongan Cendikiawan, Mereka yang berumah di atas angin, Gramedia, Jakarta, 1980 Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, Cetakan 2, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1978 Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar, Cetakan 2, Sinar Harapan, Jakarta, 1985. Y U S Yakin Usaha Sampai |
FILSAFAT ILMU
Wiwid Kurniandi As
Category:
Filsafat
0
komentar
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment