Judul Asli : The Principles of Epsitemology in Islamic Philosophy; Knowledge by Presence
Judul Terjemahan : Menghadirkan Cahaya Tuhan; Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam.
Pengarang : Mehdi Ha'iri Yazdi
Penerjemah : Ahsin Muhammad
Edisi : I
Penerbit : Mizan, Bandung
Tahun Terbit : 2003
Jumlah Halaman : 364
Pendahuluan
Meskipun telah lazim dalam berbagai refleksi epistemologis yang mengkaji hakikat pengetahuan manusia, pertanyaan praepistemik yang mendasar mengenai hubungan antara pengetahuan dan pemilik pengetahuan masih belum terjawab. Dapat dikemukakan secara ringkas bahwa yang menarik perhatian penyelidikan filosofis adalah pertimbangan mengapa dan bagaimana subjek yang mengetahui, dengan atau tanpa mengetahui dirinya sendiri, menjadi satu atau terkait dengan objek eksternal ketika objek tersebut diketahui.
1. Sejarah Ilmu Huduri
Sejak zaman Plato dan Aristoteles, arus utama tradisi epistemologi telah berselisih pendapat dalam masalah yang paling mendasar tentang pengetahuan akal (intelek) manusia dan melahirkan dua jalur yang berbeda secara diametris. Pertama, terdapat pandangan Platonik yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan refleksi intelektual oleh akal pikiran manusia tentang objek-objek yang unik, sederhana, universal, tak berubah dan nonmaterial. Kedua, pandangan Aristotelian menegaskan kenyataan bahwa tidak ada keindentikan antara “melihat” dan “mengetahui” karena mengetahui tidak pernah berarti melihat jika tidak ada objek-objek intelligible untuk bisa dilihat.
Pada prinsipnya, pendekatan Islam menunjukkan bahwa kedua sistem epistemologi yang tampaknya berlawanan itu, Platonik dan Aristotelian, bisa digunakan dalam sebuah kerangka filosofis yang sederhana dengan tujuan agar sampai pada solusi yang memuaskan terhadap masalah pengetahuan manusia. Dalam hal ini filsafat Islam berpendirian bahwa pikiran pda hakikatnya dikonstitusi untuk berfungsi dalam berbagai cara pada waktu yang sama, di satu sisi bersifat perseptif terhadap substansi-substansi intelligible dan di lain pihak bersifat spekulatif terhadap objek-objek yang bisa terindrai. Metode filsafat ini dirintis oleh kaum Neoplatonis “pagan” yang bermula dari Plotinus dan berakhir pada Proclus di Barat. Bermula dari gagasan “emanasi”, “pemahaman dengan kehadiran” dan “pencerahan” semuanya berfungsi sebagai langkah-langkah menuju pandangan filsafat Islam mengenai landasan ontologis tertinggi dari semua pengetahuan. Elaborasi arus utama penafsiran Islam mengenai filsafat Hellenik dan Hellenistik pada akhirnya membawa pada munculnya sistem iluminasi dalam filsafat Islam, yang didasarkan pada kebenaran logis ilmu hudhuri.
Teori Al-Farabi tentang bentuk-bentuk Ilahiah dan pengetahuan Tuhan menunjukkan bahwa univokalitas makna ungkapan-ungkapan ini bisa dipertahankan dengan mempertimbangkan keberagaman derajat maknanya, bukan dengan menuntut keseragaman ataupun keserupaan dalam acuan-acuan teramati dari ungkapan-ungkapan ini.
Teori Ibn Sina tentang pengetahuan manusia dalam analisisnya yang terkenal mengenai “emanasi” yaitu sementara Akal Aktif tetap berada dalam tatanan wujud yang terpisah-transenden, tak berubah dan mutlak tak terusakan, ia memunculkan dalam pikiran manusia semua bentuk pengetahuan dari potensialitas total menjadi aktualitas gradual.
Al-Ghazali berpendapat tentang cahaya adalah ungkapan bagi sesuatu yang terlihat dengan sendirinya dan menjadikan hal-hal lain terlihat.
Teori Ibn Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif bukanlah bagian dari hakikat akal manusia; tetapi, yang disebut belakangan ini, dirancang untuk berangkat dari potensi ke aksi melalui proses unifikasi dengan yang pertama sebagai sumber aktualisasi pengetahuan intelektual yang terus berkembang. Dan dia berupaya menegakkan analogi antara “yang menyerupai bentuk” dan “materi”. Ibn Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif sebagai sejenis bentuk, bersatu dengan akal manusia, mungkin sebagai materinya, membentuk apa yang diistilahkan sebagai akal material.
Doktrin Ibn Arabi tentang “kesatuan wujud” (wahdah al-wujud) didasarkan pada proposisi bahwa seluruh realitas eksistensi dan apa yang benar-benar eksis (al-wujud wa al-maujud) adalah mutlah satu dan sama, dan bahwa semua ragam bagian, unsure, kumpulan, atau kejamakan di alam realitas, baik yang bersifat indrawi maupun intelektual, hanyalah semata-mata “ilusi” yang bermain dalam pikiran kita bagaikan bayangan kedua dari sebuah benda, yang bermain dalam bola mata orang yang juling.
Sedangkan penjelasan iluminatif mengenai ilmu hudhuri dikemukakan oleh Suharwadi dalam filsafat iluminasi yang didasarkan sepenuhnya pada dimensi pengetahuan manusia yang identik dengan status ontologism wujud manusia itu sendiri.
Terdapat juga filsafat “eksistensialis” Islam yang didirikan oleh Shadr Al-Din Syirazi (Mulla Shadra) yang menyebut metodologi pemikirannya “metafilsafat” (al-hikmah al-muta’aliyyah). Upayanya adalah dengan memberikan sebuah makna yang bersifat univok, segera dan primordial kepada istilah “eksistensi”.
Tujuan paparan historis ini adalah menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi ketika kita sampai pada realitas kesadaran ontologis yang mendasar, yang didalamnya kebenaran eksistensial subjek yang mengetahui dan “kesadaran kesatuannya” serta objek yang diketahui, menjadi satu.
2. Objek Imanen dan Objek Transitif
Pengetahuan manusia memiliki distingsi antara “subjek “ dan “objek”. Ini merupakan anteseden yang salah satu konsekuensi logisnya adalah perkembangan distingsi lain yang dilakukan oleh beberapa filosof antara “objek subjektif” dan “objek objektif” atau dalam terminologi kita “objek imanen” dan “objek transitif”. Istilah “subjek” berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui sesuatu, sebagaimana halnya istilah “objek” mengacu kepada benda atau proposisi yang diketahui oleh subjek tersebut.
Eksistensi eksternal objek, karena secara prima facie independent dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan intelektual subjek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya. Akan tetapi, eksistensi mental objek yang sama, karena hadir dalam pikiran, merupakan kausa bagi kausalitas subjek.
Makna ganda objektivitas yang mencirikan satu entitas tunggal sebagai objek imanen maupun objek transitif. Dimana objek imanen datang lebih dahulu dan menjadi representasi mental dari hal yang diketahui. Di lain pihak, objek transitif datang belakangan karena ia adalah realitas prospektif dari objek ideal tersebut. Teori pengetahuan tiga serangkai dimana subjek sebagai yang mengetahui, objek sebagai hal yang diketahui dan hubungan antara keduanya sebagai mengetahui, menjelaskan bahwa seluruh konstitusi tindak pengetahuan yang intensional. Objek dalam kaitannya dengan mengetahui harus dipahami dalam dua arti yang berbeda; arti yang pertama adalah “sesuatu yang dekat, imanen, dan identik dengan eksistensi subjek yang mengetahui”; yang kedua adalah “sesuatu yang transitif dan independent, yang eksistensinya terletak diluar, dan bersifat eksterior terhadap eksistensi subjek.
Fungsi ditingsi objek ganda ini adalah
- untuk menunjukkan bagaimana kedua jenis objek ini saling terkait
- menjelaskan keterkaitan antara dunia eksistensi eksternal dan eksestensi internal,
- memungkinkan kita memahami bahwa dalam pengetahuan kita tentang dunia eksternal selalu terdapat esensialitas yang tergabung dengan pengertian probabilitas dalam hubungan antara kedua jenis objek ini.
Hubungan antara mengetahui atau mempersepsi dan objek objektif bersifat aksidental sedangkan hubungannya dengan objek subjektif bersifat esensial.
Jika objek-objek yang transitif, independent dan eksternal dalam kasus pengetahuan, secara eksistensial identik dengan objek imanen yang sepenuhnya bergantung pada pikiran kita, ini adalah kontradiksi pelik. Jawaban atas kontardiksi ini adalah:
konformitas antara objek eksternal dan objek internal hendaknya dipahami sebagai hubungan korespondensi antara objek imanen dan objek transitif,
tesis Aristotelian tentang identitas sangat mungkin sekali membutuhkan pengertian identitas eksistensial yang kuat tentang tindak pemahaman dengan objek imanen yang dipahami secara esensial dan bukan dengan objek transitif yang dipahami hanya secara aksidental.
Objek yang terlibat dalam konsep pengetahuan adalah:
Mengenai objektivitas ganda data-indrawi, Bertrand Russel menulis bahwa dalam masalah data indrawi,, kita melihat bahwa, bahkan jika objek fisik memang memiliki eksistensi independent, mereka mesti sangat jauh berbeda dari data-indrawi dan hanya bisa memiliki korespondensi dengan data indrawi dengan cara yang sama seperti sebuah katalog memiliki korespondensi dengan apa-apa yang dikatalogkan.
Kritis terhadap ungkapan Russel ini menyebutkan bahwa implikasinya adalah bahwa seandainya ada objek-objek fisik itu berhak menjadi objek-objek objektif yang berkoresponden dengan entitas-entitas mental yang mesti disebut objek-objek subjektif atau seperti dikatakan Russel, data-indrawi.
Dengan mempertimbangkan eksistensi objek-objek fisik sebagai sama sekali tak bergantung pada dan tak terpengaruh oleh tindak mental mengtahui kita, maka pokok pembicaraannya menjadi jelas bahwa sifat eksistensi seperti itu selalu terletak di luar kecermelangan mentalitas eksistensialitas kita, dan tak pernaj identik dengannya. Keadaan “tak tergantung”, “tak terpengaruh” dan “berada di luar” ini diungkapkan oleh filsafat iluminasi sebagai keadaan “tak hadir” dan objek-objek yang termasuk dalam keadaan ini diungkapkan sebagai “objek-objek tak hadir”. Ini berurusan dengan kata “tak hadir”. Sedangkan, tentang kata “hadir” filsafat iluminasi, dengan landasan yang sama, memandangnya dalam pengertian kondisi keidentikan eksistensi pikiran dengan eksistensi aksi-aksi mental dan entitas-entitas mentalnya. Entitas-entitas yang dihadirkan dalam kondisi identitas dalam pikiran subjek yang mengetahui disebut sebagai “objek-objek hadir”.
Jadi perbedaan antara objek imanen dan objek transitif adalah
a. objek-objek imanen, intrinsik dan wajib yang merupakan bagian dari aksi subjek yang mengetahui,
b. objek-objek transitif, ekstrinsik dan aksidental yang tidak hadir dalam pikiran dan berada di luar tindak mengetahui.
Sedangkan hubungan antara kedua objek ini adalah hubungan korespondensi, bukan identitas.
3. Pengetahuan Dengan Kehadiran Dan Pengetahuan Dengan Korespondensi
Dalam eksistensi mentalnya, kesatuan ini pada awalnya sederhana. Akan tetapi, perenungan mengenai kesatuan ini dapat secara sah memecah kesederhanaannya menjadi tiga bagian sehingga bisa dianalisis melalui perenungan tentang tindak “mengetahui”, subjek “yang mengetahui” dan objek “yang diketahui.
Ciri ilmu hudhuri yaitu:
kebebasannya dari dualisme kebenaran dan kesalahan,
kebebasannya dari pembedaan antara pengetahuan dengan “konsepsi” dan pengetahuan dengan “kepercayaan”.
Arti korespondensi yang dipakai dalam teori pengetahuan ini ringkasnya adalah “kemiripan” dalam isi dan “keidentikan” dalam bentuk. Pengetahuan dengan korespondensi ditandai oleh keterlibatan makna ganda objektivitas. Pengetahuan dengan korespondensi adalah pengetahuan yang:
memiliki dua jenis objek; objek internal dan objek eksternal,
hubungan korespondensi antara kedua objek tersebut.
Melalui korespondensi dengan rujukan objektifnya, pengetahuan korespondensi memiliki kemampuan untuk menjadi benar. Karena itu, ada kemungkinan pengetahuan itu tidak memenuhi persyaratan ini dan sebagai akibatnya ia menjadi salah. Akan tetapi, sifat ini tidak berlaku dalam pengetahuan dengan kehadiran sebab jenis pengetahuan ini tidak memiliki kaitan apa-apa dengan korespondensi sehingga tidak ada kemungkinan menjadai salah.
Ada dua argument yang berkembang dalam dua arah yang berbeda mengenai relasi antara pengetahuan dengan korespondensi dan pengetahuan dengan kehadiran:
dalam kasus pengetahuan diri, diri sebagai subjek performatif kesadaran dan diri yang sama merupakan objek yang disadarinya, dan identik sepenuhnya,
dalam hal pengetahuan korespondensi yang di dalamnya subjek yang mengetahui adalah “aku yang sama” (secara terminology; “aku performatif”) dan objek yang diketahui adalah objek eksternal maka “aku” tersebut telah mengetahui dirinya sendiri melalui kehadiran dan mengetahui objeknya dari korespondensi.
Hubungan antara pengetahuan dengan korespondensi dan pengetahuan dengan kehadiran harus dipandang sebagai hubungan sebab-akibat dalam pengertian iluminasi dan emanasi. Hubungan jenis ini tak lebih daripada hubungan sebab-akibat efisien yang khas, tetapi untuk membedakan kausasi intelektual ini dari kausasi fisik, filsafat iluminasi menyebutnya dalam terminologinya sendiri sebagai relasi iluminatif.
4. Dimensi Empiris Ilmu Hudhuri
Ada dua pokok masalah fundamental yang mirip dengan teori Russel tentang pengetahuan dan pengenalan:
Pengetahuan dengan kehadiran analog dengan pengetahuan dengan pengenalan Russel dalam hal bebasnya ia dari kemungkinan disebut benar atau salah.
Apa yang kita kenal dan hadir dalam diri kita dalam dirinya sendiri mestilah merupakan “sesuatu” yang langsung diketahui, bukan melalui “representasi” ataupun “penampakan”.
Mengapa keadaan-keadaan pribadi kita, semisal penginderaan dan perasaan, memenuhi syarata niscaya dan syarat cukup untuk menjadi contoh empiris pengetahuan dengan kehadiran bukan manifestasi dari kategori pengetahuan lain, bahkan pengetahuan dengan pengenalan sekalipun? Jawabannya adalah:
Rasa sakit atau rasa senang haruslah dikategorikan dalam judul pengetahuan dengan kehadiran dan bahwa tidak ada kemungkinan mempertimbangkannya sebagai bentuk pengetahuan dengan korespondensi. Ini karena dalam pengenalan dengan penginderaan dan perasaan, tidak ada objek yang tak hadir (objek eksternal), dengan demikian, pada waktu terjadinya pengalaman, tidak ada kebutuhan akan representasi objek tersebut.
Hal yang kita sadari atau kita kenal ketika mengalami pengideraan ini bukanlah sesuatu seperti data inderawi, yang akan merupakan repersentasi rasa saki atau rasa senang.
Jika kita merenungi pengideraan kita, katakanlah dengan menuturkan rasa sakit atau senang kita, kita mencoba mengonseptualisasi perasaan kita dan mentransformasikannya dari tatanan wujud menjadi semacam representasi yang termasuk dalam tatanan konsepsi. Dengan melakukan ini, kita bergerak dari tatanan eksistensialitas pengetahuan dengan kehadiran ke keadaan konseptual pengetahuan dengan korespondensi.
Pengetahuan intuitif tidak dicapai melalui proses penarikan kesimpulan (inferensi) karena pengetahuan intuitif menjadikan kelangsungan penerapan pada objek-objek eksternal sebagai kebenaran dan kesahihan objetifnya. Akan tetapi, ia masih harus ditempatkan pada tatanan konsepsi yang berkorespnden dengan objek eksternalnya dan bukan pada tatanan wujud. Meskipun pengetahuan intuitif tidak bersifat inferensial tapi tetap bersifat referensial dan menjadikan objek-objek eksternal yang berkoresponden sebagai rujukan objektifnya. Inilah alasan mengapa kita mesti membedakan pengetahuan dengan kehadiran dari pengetahuan dengan intuisi, sebagaimana kita telah membedakannya dari pengetahuan diskursif dan pengetahuan dengan pengenalan.
Distingsi yang dibuat Russel antara pengetahuan dengan deskripsi dengan pengetahuan dengan pengenalan bisa ditundukkan pada pemeriksaan kritis. Perbedaan yang nyata antara pengetahuan dengan kehadiran kita dan pengetahuan dengan pengenalan Russel, bahwa dalam pengetahuan dengan pengenalan terkandung implikasi perujukan kepada objek eksternal yang tidak muncul dalam instansiasi empiris pengetahuan dengan kehadiran.
Eksemplifikasi empiris pengetahuan dengan kehadiran:
1. Apa yang telah diindikasikan oleh Suharwadi “bahwa kita memang mempunyai beberapa kesadaran yang tidak memerlukan suatu bentuk representasi”
2. Analisis empiris tentang pengalaman rasa sakit.
Berdasarkan pendekatan Suhrawardi, hanya bisa disimpulkan bahwa setelah memberikan contoh empiris ini kita bisa mengatakan bahwa kita memang mempunyai semacam kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh melalui representasi atau data inderawi apapun. Pengetahuan ini hanya terwujud melalui unifikasi eksitensial yang dalam system para filosof disebut “kehadiran”.
5. Modus Utama Ilmu Hudhuri
Dalam system filsafat Islam, disebut metode “komposisi” (tarkib), yang berarti bahwa kita harus menyusun gagasan universal tentang defenisi kita dengan menggabungkan atau membuat komposisi persamaan dan perbedaan empiris.
Istilah “cahaya” sebagaimana dielaborasi oleh Suhrawardi pada bagian awal metafisikanya, tidak digunakan dalam pengertian epistimologis sepenuhnya karena apa yang dipahami akal jelas tidak memiliki pengertian yang terbatas seperti itu, sebagaimana ketika diterapkan pada dunia fisik. Suharwardi memerinci rancangan filsafat cahayanya dilawankan dengan kegelapan, yang barangkali merujuk pada orientasi keagamaan Persia kuno, dalam langkah:
1. Membagi apa yang diyakininya sebagai “cahaya dalam realitas dirinya sendiri” menjadi modus cahaya yang asli, tak bercampur dan tak inheren dalam sesuatu yang lain, dan modus cahaya lain yang bersifat aksidental dan terkandung dalam sesuatu yang lain.
2. Terminologi yang bersandar kuat ke arah reformulasi distingsi Platonik yang masyhur antara mengada (being) dan menjadi (becoming) dalam pengertian bentuk-bentuk cahaya dan bentuk-bentuk kegelapan.
Tiga pernyataan pendahuluan untuk memahami nilai kebenaran demonstrasi iluminasi:
1. Kita berurusan dengan sesuatu yang eksis “dalam dirinya sendiri”, meskipun tidak harus berarti “dengan dirinya sendiri”.
2. Dalam proses mengetahui secara umum, ada satu “pelaku” yang mewakili “aku” performatif yang ditegakkan oleh watak otoritasnya sendiri untuk bertindak, bukan ditindaki. “Perwakilan” ini semata-mata untuk “aku” dan tak ada yang selain “aku” yang bisa berperan serta dalam peringkat wujud pribadi yang tak bisa diubah ini.
3. Dalam kasus penilaian diri semisal “saya mengetahui X”, saya mengetahui diri saya melalui representasi diri saya dan bukan dengan “kehadiran” realitas diri saya itu sendiri.
Pembuktian kesadaran diri:
1. Dengan mengetahui sesuatu selain dari dirinya, seperti ketika orang mengungkapkan pengetahuannya dengan pernyataan: “aku mengetahui objek X, Y dan Z. Melalui penisbatan kepada diri saya berarti saya telah sadar akan diri saya. Jika tiak demikian, penisbatan suatu pengetahuan kepada diri saya menjadi tidak ada artinya.
2. Dengan mengetahui diri secara langsung, ketika orang merenungi dirinya sendiri dan menampilkan pengetahuan tentang dirinya dalam pernyataan “aku mengenal diriku”.
Sedangkan Suharwardi mencoba menegakkan pokok argumennya dengan cara berikut: Seandainya subjek yang mengetahui, dalam upaya mengetahui diri sendiri, mengobjektifkan dirinya, ia akan membangun representasi fenomenal yang berbeda dari dirinya, yang akan disebut “dia” dan bukan “aku”. Dalam hal itu, sebagaimana dituntut oleh hukum “keakuan/kediaan”, “aku” harus tetap dalam otoritas subjek “keakuan” yang tak bisa diubah; “dia” sebagai “diri” juga termasuk dalam kategori ini dan menjadi satu dengan “aku”. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh hukum “keakuan/kediaan”, “kediaan” tidak akan pernah bisa berubah menjadi “keakuan” dan sepenuhnya menyatu dengan realitas aktif “aku”. Realitas faktual “aku” juga tidak bisa diubah substansinya menjadi realitas “dia”. Karena itu “keakuan” dan “kediaan” ternyata berbeda sekaligus identik dalam hal yang sama. Ini tidak mungkin. Marilah kita lihat bagaiman keduanya bisa berbeda melalui semacam perlawanan, tetapi sekaligus menyatu dalam satu identitas-diri, masing-masing dalam hal yang sama.
Seseorang bisa mengobjektifkan diri sendiri ketika merenunginya dengan mengatakan: “dia” adalah “aku” yang mengetahui diriku. Akan tetapi, yang dimaksud objektivikasi adalah bahwa orang bisa memperlakukan dirinya secara fiktif sebagai “dia” dan mengajukan penilaian tentang unifikasi terhadap dirinya sendiri.
Adapun rumusan argumentasi tentang kesadaran diri adalah:
Seandainya dengan pengenalan diri saya adalah melalui representasi, bukannya kehadiran realitas saya, pengenalan saya dengan diri akan persis seperti pengenalan saya dengan apa yang bukan diri saya. Absurditas ini lahir dari sifat “epistemik” masalah tersebut yang bisa dipahami secara jelas dari kata-kata Suhrawardi: “kesadaran akan realitas ‘keakuan’ karenanya akan persis seperti kesadaran akan apa yang bukan “keakuan”, yaitu “kediaan”.
Seandainya “keakuan” dan “kediaan” adalah identik dalam kasus kesadaran diri, sementara dalam hubungan subjek-objek, keduanya berfungsi secara berbeda, keduanya akan identik sekaligus berbeda dalam hal yang sama. Tentu saja ini adalah bentuk logis absurditas yang muncul dari pelanggaran hukum hubungan subjek-objek dalam sebuah proposisi.
Jika ungkapan “diriku” dalam sebuah pernyataan semisal “aku mengetahui diriku” berarti “dia”yang merujuk kepada representasi diri yang jelas setara dengan “bukan diriku”, “aku mengetahui diriku” mestilah mempunyai arti “aku mengetahui yang bukan aku”. Sekarang, “untuk mengetahui yang bukan diriku” hanyalah cara lain untuk mengatakan “aku tidak mengetahui diriku”. Akan ada kekacauan, dan perusakan komunikasi manusia seandainya pernyataan “aku mengetahui diriku” berarti “aku tidak mengetahui diriku”. Absurdiatas ini termasuk dalam sifat linguistic tentang isu tersebut.
Tiga hal penting menyangkut argument ini serta konsekuensinya adalah:
Pengetahuan tentang dirinya sendiri tak lain adalah dirinya sendiri; pengetahuannya tentang dirinya tak lain adalah realitas dirinya itu sendiri.
Realitas “keakuan”saya, yang telah dibuktikan berada dalam dirinya sendiri dan hadir untuk dirinya sendiri, meskipun tidak harus oelh dirinya, dalam pengertian bahwa ia tidak mungkin lebih nyata untuk dirinya sendiri daripada semata hadir dalam dirinya sendiri.
Penekanan besar telah diberikan kepada realitas empiris dan aktif tentang “keakuan” yang tidak mempunyai konotasi apapun yang mengaitkannya dengan masalah kontroversial pembedaan esensi-eksistensi. Tujuan utama pendekatan ini adalah mempertimbangkan kebenaran realitas actual subjek yang dicirikan oleh kedua persayaratan yang disebutkan diatas.
Fungsi logis, epistemik dan semantik dari “keakuan” yang dilawankan dengan “kediaan”, berkenaan dengan distingsi metafisik antara atribut-atribut dan yang kepadanya atribut-atribut ini dilekatkan, yang secara prospektif dianggap sebagai realitas kedirian.
Semua argument bersumber dari pertimbangan bahwa ada substansi material yang bertindak sebagai “dia” yang kontinu dan tak pernah berubah, yang mewadahi dan menyatukan berbagai aksiden dalam urutan waktu dan kejadian.
Suharwardi menurunkan dua kesimpulan:
Bahwa pengetahuan tentang diri pastilah melalui kehadirang realitas diri.
Bahwa apapun yang tidak diketahui melalui kehadiran relaitas murni diri tidak memiliki peran yang mendasar, bahkan parsial sekalipun, dalam bentuk eksistensial realitas itu, dan karena itu terletak di luar wilayah “keakuan”
Suharwardi mengungkapkan beberapa teori yang penting dalam filsafat iluminasi:
Mengenai kesederhanaan dapat diperoleh keterangan kesederhanaan mutlak dan ketakterbagian diri, kita bisa dengan cukup beralasan mengandalkan prinsip keidentikan antara “mengetahui” diri melalu pengetahuan dengan kehadiran, dengan “wujud” realitas objektif diri.
6. Apendiks Untuk Teori Ilmu Hudhuri
Suharwardi telah mengambil dua langkah lebih jauh ke arah penjelasan empirisnya:
Seperti halnya kesadaran-diri, kesadaran akan tubuh sendiri dan semua kekuatan serta aktivitas mentalnya harus dicirikan sebagai suatu bentuk pengetahuan dengan kehadiran.
Ada kriteria epistemik bagi universalitas dan partikularitas pengetahuan, yang mesti diperhitungkan manakala yang dipersoalkan adalah masalah keadaan-keadaan pribadi pikiran.
Ada dua hal mengenai penyelidikan ke dalam pengetahuan pribadi kita yang harus dicatat:
Representasi tubuh, imajinasi dan fantasi adalah universal.
Akal hanya bisa berkomunikasi dengan badan universal.
Universalitas pengetahuan adalah suatu kualitas suatu gagasan atau proposisi yang penerapannya pada banyak objek individual tidak mustahil atau kontradiktif secara logis. Partikulasi pengetahuan adalah kualitas suatu gagasan atau proposisi yang penerapannya pada lebih dari satu objek individual menyiratkan absurditas atau kontradiksi logis. Pembedaan antara “kualifikasi” atau “pembatasan” dan “partikulasi” adalah karena pengetahuan yang terbatas tidak dengan dirisendirinya partikular dan pribadi. Kategori pertama melibatkan semacam spesifikasi sebuah konsep universal yang tidak dengan sendirinya berarti partikularisasi. Kategori kedua adalah partikularisasi pengetahuan tentang sebuah objek individual yang tidak bisa diterapkan pada yang banyak.
7. Teori Ilmu Hudhuri Yang Diperluas: Misitisme Secara Umum
Inti ini adalah konsepsi “kesadaran uniter”. Kesadaran uniter adalah ungkapan lain dari mistisme. Salah satu kelebihan mistisme atas isu-isu metafisika lain adalah ia bersifat empiris dan ilmiah bukan trasedental. Sifat esensial pengetahuan dengan korespondensi, yang benar-benar tak konsisten dengan kesadaran uniter mistisme dari jenis manapun dan dalam derajat manapun. Faktor pembeda pengetahuan mistik dengan pengetahuan korespondensi tidak ditentukan oleh apakah objek itu bersifat empiris atau transcendental, tapi semata-mata oleh apakah objek itu identik dengan subjek atau tidak. Sekalipun objek suatu pengetahuan itu bersifat transenden, eksistensinya mandiri terpisah dari subjek, maka pengetahuan itu termasuk pengetahuan dengan korespondensi.
Menurut Plato, penglihatan intelektual biasa kita, pada dasarnya dicirikan oleh dualisme hubungan subjek-objek dan karena alasan ini tidak identik dengan kesadaran mistik.
Mistisme, setelah membuktikan secara mandiri kebenaran swaobjektifnya, bisa disuguhkan sebagai landasan yang andal atau sebagai saksi mata empiris, bagi kebenaran-kebenaran agama yang bersifat teoritis, yang semuanya hanya mungkin terjadi sesudah adanya penafsiran dan introspeksi pengalaman mistis. Sebaliknya agama juga bisa menjadi pembantu penting bagi seorang mistikus dalam perjalanan naik menuju kesadaran uniter mistik, begitu sang mistikus membuang ikatan-ikatan khayalnya dengan kemajemukan hidup ini.
Mistisme adalah salah satuu bentuk ilmu hudhuri sebab, jika telah terbukti bersifat nonfenomenal, tak ada sesuatu pun yang bisa mengakomodasi mistisme kecuali bentuk pengetahuan dengan kehadiran.Kehadiran mistik adalah kehadiran dengan penyerapan, yang merupakan sifat esensial pemahaman mistik.
8. Mistisme Dalam Sistem Emanasi
Ibn Sina secara matematis merumuskan doktrinnya tentang “emanasi” dengan cara berikut:
“Emanasi adalah sesuatu yang dengannya sebuah eksistensi dilahirkan dari yang lain dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantaraan materi, instrument, ataupun waktu. Akan tetapi, suatu yang didahului oleh non-eksistensi dalam waktu tidak akan pernah membutuhkan perantara. Tindak emanasi, karenanya, mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada tindak penciptaan dan kontingensi.”
Dengan mengetahui prinsip eksistensinya dan dengan cara dimana ia terkait dengannya, setiap wujud emanatif ini memunculkan satu wujud dan dengan mengetahui dirinya sendiri sebagaimana adanya, ia memunculkan yang lain. Semua wujud emanatif memiliki dua persamaan:
Mereka bersifat mungkin dalam dirinya sendiri dalam pengertian bahwa mereka secara mutlak bukanlah apa-apa tanpa hubungan iluminatif dengan sumber mereka.
Mereka semua adalah wujud-wujud yang niscaya jika dipandang dalam kerangka hubungan mereka dengan Prinsip Pertama, yang merupakan Wujud Niscaya dalam esensi dan tindakannya.
Hierarki emanasi menyiratkan kontinuitas dan ketergantungan total modus emanasi yang lebih rendah pada prinsip yang terdekat dengannya, yang pada gilirannya sepenuhnya bergantung pada prinsip terdekatnya sendiri.
Hubungan Tuhan dengan emanasi-Nya (yakni eksitensi alam semesta) tidaklah, tak bisa, dengan pengetahuan intensional, tetapi hanya melalui pengetahuan dengan “kehadiran”. Diperlukan sedikit renungan atas penjelasan Thusi untuk menyarikan dua jenis pengetahuan melalui kehadiran yang dinisbatkan kepada Tuhan, yaitu kehadiran dengan identitas yang dicontohkan dalam pengetahuan Tuhan tentang realitas-Nya sendiri, dan kehadiran dengan emanasi, semisal pengetahuan tentang Tuhan dalam hubungan dengan emanasi-Nya. Keduanya adalah pengetahuan dengan kehadiran sebab dalam kedua kasus tersebut tidak ada representasi ataupun citra mental yang menempatkan dirinya di antara realitas hal yang diketahui dan rasa mengetahui.
Emanasi hanya bisa diungkapkan oleh frasa berpreposisi. Preposis hanya bisa dipahami dengan tepat dan bermakna jika kita bisa mengaitkannya dengan kata benda dan kata kerja yang tepat. Akan tetapi, kebenaran esensial emanasi sepenuhnya terletak dalam kebenaran sumber substantifnya dan seluruh realitas tak lebih dari suatu ekpresi berpreposisi seperti “orang lain”. Dalam kenyataannya, karena status tindak emanasi pada esensinya bersifat preposisional, satu-satunya realitas independent yang benar-benar ada dalam dirinya, dan bisa berfungsi sebagai kata benda substantif yang kepada semua entitas preposisional dikaitkan, adalah satu realitas di seluruh alam eksistensi.
Terdapat garis-garis emanasi vertical dan horizontal, dimana suatu garis vertikal yang tak terputus yang menghubungkan seluruh kumpulan besar emanasi dengan Prinsip Pertamanya dalam kesatuan eksistensial yag ketat. Juga terdapat penghubung horizontal yang padanya segaal sesuatu dipandang berbeda satu sama lain dan dicirikan oleh kemajemukan dalam peringkat, esensi, spesies, dan individuasi. Garis-garis vertikal disebut juga “tatanan batin” eksistensi dan garis-garis horizontal disebut “tatanan lahir” eksistensi.
Makna eminasi itu sendiri menyiratkan bahwa emanasi adalah satu bentuk eksistensi yang diduga telah lahir dari wujud lain yang bertindak sebagai sumber kausasinya atau sebagai sumber emanasinya. Satu-satunya alternatif yang bisa dipertimbangkan berkenaan dengan eksistensi suatu emanasi adalah kemungkinan.. Terdapat situasi dimana kita harus membedakan antara dua spesies kemungkinan:
Kemungkinan yang mencirikan sifat esensial suatu wujud yang berbeda dari eksistensinya.
Kemungkinan yang mengualifikasi konstitusi eksistensi dari setiap bentuk wujud yang muncul dari yang lain.
Ada konsekuensi-konsekuensi paling penting untuk dipertimbangkan adalah:
Memetakan hubungan ontologis suatu wujud emanatif, semisal diri, dengan sumbernya melalui modalitas kemungkinan eksistensial.
Mengakui bagaimana makna kemungkinan ini, tanpa memerhatikan kemungkinan esensial, mengidentifikasi realitas diri dengan iluminasi yang niscaya dari keniscayaan abadi, dan bagaimana kesatuan eksistensiali ini mengimplikasikan bahwa mustahil terdapat kekosongan atau interupsi antara eksistensi yang niscaya dari sumber dan eksistensi yang mungkin dari diri.
9. Kesatuan Mistik
Gambaran dari disposisi kehadiran:
a. sebagai kehadiran dengan “iluminasi” atau “emanasi”.
b. Keadaan kehadiran yang sama disebut kehadiran dengan penyerapan jika penjelasan kita mendekatinya dari arah yang sebaliknya.
Setelah mengukuhkan kedua pengertian kehadiran ini, kita dengan sah bisa mengatakan bahwa diri, sebagai contoh emanasi, memiliki pengetahuan tentang Tuhan melalui kehadiran dengan penyerapan. Kita bisa, dengan alasan yang sama, mengatakan bahwa diri diketahui oleh Tuhan melalui ilmu hudhuri dalam pengertian iluminasi. Karena keidentikan ini kedua pengertian kehadiran ini, dalam kenyataannya, keduanya juga identik dalam derajat kehadiran proposionalnya. Artinya, derajat kehadiran Tuhan melalui iluminasi dalam realitas diri sama dengan derajat kehadiran diri dalam Tuhan dengan pengertian penyerapan. Dengan demikian, pada tahap wujud pertikular tersebut, Tuhan dan diri adalah identik.
Meskipun banyak ragam penafsiran tentang kesatuan, namun belum ada yang memadai secara sistematis karena bentuk kesadaran uniter ini, yang menurut kesatuan dalam keragaman dan keragaman dalam kesatuan masih tetap paradoks secara mutlak. Masalah utama kesadaran mistik adalah bagaimana dia realties yang berbeda-realitas diri individual sebagai wujud emanatif dan realitas Sumbernya-menjadi satu dan sama dalam proses pengalaman mistik. Berdasarkan ilmu hudhuri perluasan teori yang didasarkan pada penafsiran iluminasi tentang hipotesis kesatuan mistik.
Kedua spesies ilmu hudhuri yang berbeda yaitu kehadiran melalui swaidentitas dan kehadiran melalui emanasi atau pencerahan. Juga telah disebutkan karena diri memiliki kedua spesies pengetahuan dengan kehadiran ini, maka Tuhan juga harus, atas dasar yang sama, memiliki kedua pengertian kehadiran ini. Ilmu hudhuri Tuhan tentang Diri-Nya berkat swaidentitas memiliki arti bahwa realitas Tuhan mutlak hadir kepada dan identik dengan Diri-Nya. Di lain pihak kehadiran Tuhan melalui iluminasi dan supremasi berarti bahwa Dia hadir dalam tindak emanasi imanen-Nya. Denman demikian, tidak mungkin ada interupsi atau keterputusan dalam pencerahan dan supremasi-Nya atas emanasi sedemikian sehingga menyebabakan pemisahan antara Diri-nya dan tindak emanasi-Nya.
Beradasarkan analogi linguistik, realitas “keakuan” berfungsi sebagai sebuah hubungan semata, tapi bukan sesuatu yang dihubungkan. Satu-satunya perbedaan antara hubungan ini dengan hubungan biner adalah bahwa peran sebuah hubungan biner yang normal adalah menghubungkan satu realitas dengan realitas yang lain, yang dualismenya dipra-anggapkan dan mutlak diperlukan. Akan tetapi, dalam hubungan ini, tidak ada kemungkinan paraanggapan seperti itu. Satu-satunya hal yang dipraanggapkan adalah Yang Tunggal yang di dalamnya realitas diri terserap dan tidak bisa diketahui kecuali dengan mengetahui Yang Tunggal.
Menurut prinsip ilmu hudhuri, realitas “keakuan” dalam hidup ini terikat dengan kediaan, yakni keadaan berkonflik dengan objek-objek material, meskipun tidak identik dengannya.
Peniadaan mistik adalah pengunduran diri dari dimensi horizontal dan berpaling kepada dimensi vertikal.
10. Bahasa Mistisisme Dan Metamistisisme
Metamistisisme berarti metabahasa mistisisme. Untuk menghindari kerancuan yang sering mencemari pendekatan nonspesialis terhadap mistisisme, kita wajib menetapkan klasifikasi mistisisme yang membedakan antara tiga tahap mistisisme yang dalam masing-masingnya mengategorikan satu spesies mistisisme. Ketiga tahap itu adalah:
Mistisisme yang tak bisa diceritakan.
Pemikiran mistik introspektif dan rekonstruktif sebagai bahasa objek murni mistisisme.
Metamistisisme filosofis atau ilmiah yang berbicara “tentang” mistisisme.
Mengenai Irfan, dimana ini merupakan pengetahuan dengan representasi, yang tercerahkan dan diperoleh dari pengetahuan dengan kehadiran mistik melalui relasi iluminatif/
Penyelidikan metamistik adalah kontemplasi dengan merenungi bahasa objek pengalaman mistik. Sementara pengalaman mistik itu sendiri tetap berada dalam lingkun ilmu hudhuri, irfan, dan metamistisisme termasuk tatanan pengetahuan dengan representasi dan karena itu keduanya termasuk bentuk pengetahuan dengan korespondensi.
Terdapat beberapa pendekatan yang khas yang disebut pendekatan mistik yaitu:
Ada penyelidikan deskriptif empiris mengenai masalah mistisisme yang temasuk dalam kategori bahasa “tentang” mistisisme. Jenis penyelidikan ini bersifat historis, ilmiah, antropologis atau sosiologis.
Sejarawan R.C. Zaehner, berbicara mengenai empiris tentang sejarah mistisisme an terkadang tentang filasafat mistisisme empiris. Dengan mengambil pendekatan metalinguistik jenis ini, dia melakukan survey historis komparatif yang terperinci mengenai ragam mistisisme dari berbagai budaya, agama, dan masa, yang berkisar dari bentuk-bentuk mistisisme Hindu, Buddha, Kristen, Islam dan Yahudi hingga para mistikus modern.
Pemikiran ilmiah, tetapi tidak filosofis, yang bersifat reflektif dan introspektif yang didalamnya sang mistikus mencoba dengan kemampuan inteleknya untuk merekonstruksi dengan cara yang canggih sifat-sifat dari apa saja yang telah dilihat atau disadarinya dalam pengalaman mistiknya. Inilah apa yang kita sebut sebagai bahasa mistik asli, atau ilmu mistisisme karena ia berbicara “dari” mistisisme bukan berbiacara “tentang” mistisisme, dan ia dirancang untuk merekapitulasi keadaan yang dialami seorang mistikus.
Persoalam utama mistisisme, yaitu kesadaran uniter, adalah salah satu dari hal-hal yang padanya seluruh ilmu mistisisme, yakni irfan didasarkan. Untuk memahami arti ilmu irfan, atau disiplin ilmu linguistic mistisisme sebagai lawan dari logika biasa pemahaman kita sehari-hari dan menghindarkan setiap jenis pembahasan yang bersifat acak atau tak akademis, kita harus menyandarkan diri pada wawasan mereka yang secara historis telah diterima sebagai otoritas baik dalam filsafat maupun mistisisme.
Menurut Ibn al-‘Arabi, kemampuan akallah yang bisa melakukan transisi dari pengetahuan tentang yang gaib ke pengetahuan intelektual dunia fenomena seperti ini.
Terdapat hal-hal pokok yang menjadi kajian dalam pembahasan ini yaitu:
Di dalam kerangka pikiran manusia ada jenis kesadaran lain yang menjadikan kesadaran manusia bersifat mistik. Ini adalah kesadara akan yang gaib.
Bentuk pengetahuan, seperti halnya pengetahuan biasa, bersifat intelektual. Artinya, ia bisa direnungi dan dikonseptualisasikan serta dipahami oleh akal manusia apabila diarahkan ke dalam (introverd).
Bentuk-bentuk pengetahuan ini, yaitu bentuk pengetahuan inderawi, intelektual dan mistis adalah sama dalam hal bersifat deskriptif.
Atas dasar teori ilmu hudhuri, pengetahuan swaobjek dalam semua bentuknya, maka ia identik dengan realitas eksistensial hal yang diketahui. Di samping itu, telah ditegaskan bahwa pengetahuan mistik adalah satu spesies pengetahuan dengan kehadiran. Karena itu, pengetahuan mistik adalah identik dengan realitas hal yang diketahui. Dari sini, disimpulkan bahwa kesadaran mistik adalah kesatuan simpleks kehadiran Tuhan di dalam diri dan kehadiran diri di dalam Tuhan. Karena termasuk dalam tatanan eksistensi, dan bukannya tatanan konsepsi dan representasi, kesatuan simpleks ini tak bisa dikomunikasikan dan karenanya tak terkatakan. Demikian halnya selama pengalaman itu tak diinstrospeksikan dan tak direnungi.
*) diresensi oleh: Wiwid Kurniandi As
Judul Terjemahan : Menghadirkan Cahaya Tuhan; Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam.
Pengarang : Mehdi Ha'iri Yazdi
Penerjemah : Ahsin Muhammad
Edisi : I
Penerbit : Mizan, Bandung
Tahun Terbit : 2003
Jumlah Halaman : 364
Pendahuluan
Meskipun telah lazim dalam berbagai refleksi epistemologis yang mengkaji hakikat pengetahuan manusia, pertanyaan praepistemik yang mendasar mengenai hubungan antara pengetahuan dan pemilik pengetahuan masih belum terjawab. Dapat dikemukakan secara ringkas bahwa yang menarik perhatian penyelidikan filosofis adalah pertimbangan mengapa dan bagaimana subjek yang mengetahui, dengan atau tanpa mengetahui dirinya sendiri, menjadi satu atau terkait dengan objek eksternal ketika objek tersebut diketahui.
1. Sejarah Ilmu Huduri
Sejak zaman Plato dan Aristoteles, arus utama tradisi epistemologi telah berselisih pendapat dalam masalah yang paling mendasar tentang pengetahuan akal (intelek) manusia dan melahirkan dua jalur yang berbeda secara diametris. Pertama, terdapat pandangan Platonik yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan refleksi intelektual oleh akal pikiran manusia tentang objek-objek yang unik, sederhana, universal, tak berubah dan nonmaterial. Kedua, pandangan Aristotelian menegaskan kenyataan bahwa tidak ada keindentikan antara “melihat” dan “mengetahui” karena mengetahui tidak pernah berarti melihat jika tidak ada objek-objek intelligible untuk bisa dilihat.
Pada prinsipnya, pendekatan Islam menunjukkan bahwa kedua sistem epistemologi yang tampaknya berlawanan itu, Platonik dan Aristotelian, bisa digunakan dalam sebuah kerangka filosofis yang sederhana dengan tujuan agar sampai pada solusi yang memuaskan terhadap masalah pengetahuan manusia. Dalam hal ini filsafat Islam berpendirian bahwa pikiran pda hakikatnya dikonstitusi untuk berfungsi dalam berbagai cara pada waktu yang sama, di satu sisi bersifat perseptif terhadap substansi-substansi intelligible dan di lain pihak bersifat spekulatif terhadap objek-objek yang bisa terindrai. Metode filsafat ini dirintis oleh kaum Neoplatonis “pagan” yang bermula dari Plotinus dan berakhir pada Proclus di Barat. Bermula dari gagasan “emanasi”, “pemahaman dengan kehadiran” dan “pencerahan” semuanya berfungsi sebagai langkah-langkah menuju pandangan filsafat Islam mengenai landasan ontologis tertinggi dari semua pengetahuan. Elaborasi arus utama penafsiran Islam mengenai filsafat Hellenik dan Hellenistik pada akhirnya membawa pada munculnya sistem iluminasi dalam filsafat Islam, yang didasarkan pada kebenaran logis ilmu hudhuri.
Teori Al-Farabi tentang bentuk-bentuk Ilahiah dan pengetahuan Tuhan menunjukkan bahwa univokalitas makna ungkapan-ungkapan ini bisa dipertahankan dengan mempertimbangkan keberagaman derajat maknanya, bukan dengan menuntut keseragaman ataupun keserupaan dalam acuan-acuan teramati dari ungkapan-ungkapan ini.
Teori Ibn Sina tentang pengetahuan manusia dalam analisisnya yang terkenal mengenai “emanasi” yaitu sementara Akal Aktif tetap berada dalam tatanan wujud yang terpisah-transenden, tak berubah dan mutlak tak terusakan, ia memunculkan dalam pikiran manusia semua bentuk pengetahuan dari potensialitas total menjadi aktualitas gradual.
Al-Ghazali berpendapat tentang cahaya adalah ungkapan bagi sesuatu yang terlihat dengan sendirinya dan menjadikan hal-hal lain terlihat.
Teori Ibn Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif bukanlah bagian dari hakikat akal manusia; tetapi, yang disebut belakangan ini, dirancang untuk berangkat dari potensi ke aksi melalui proses unifikasi dengan yang pertama sebagai sumber aktualisasi pengetahuan intelektual yang terus berkembang. Dan dia berupaya menegakkan analogi antara “yang menyerupai bentuk” dan “materi”. Ibn Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif sebagai sejenis bentuk, bersatu dengan akal manusia, mungkin sebagai materinya, membentuk apa yang diistilahkan sebagai akal material.
Doktrin Ibn Arabi tentang “kesatuan wujud” (wahdah al-wujud) didasarkan pada proposisi bahwa seluruh realitas eksistensi dan apa yang benar-benar eksis (al-wujud wa al-maujud) adalah mutlah satu dan sama, dan bahwa semua ragam bagian, unsure, kumpulan, atau kejamakan di alam realitas, baik yang bersifat indrawi maupun intelektual, hanyalah semata-mata “ilusi” yang bermain dalam pikiran kita bagaikan bayangan kedua dari sebuah benda, yang bermain dalam bola mata orang yang juling.
Sedangkan penjelasan iluminatif mengenai ilmu hudhuri dikemukakan oleh Suharwadi dalam filsafat iluminasi yang didasarkan sepenuhnya pada dimensi pengetahuan manusia yang identik dengan status ontologism wujud manusia itu sendiri.
Terdapat juga filsafat “eksistensialis” Islam yang didirikan oleh Shadr Al-Din Syirazi (Mulla Shadra) yang menyebut metodologi pemikirannya “metafilsafat” (al-hikmah al-muta’aliyyah). Upayanya adalah dengan memberikan sebuah makna yang bersifat univok, segera dan primordial kepada istilah “eksistensi”.
Tujuan paparan historis ini adalah menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi ketika kita sampai pada realitas kesadaran ontologis yang mendasar, yang didalamnya kebenaran eksistensial subjek yang mengetahui dan “kesadaran kesatuannya” serta objek yang diketahui, menjadi satu.
2. Objek Imanen dan Objek Transitif
Pengetahuan manusia memiliki distingsi antara “subjek “ dan “objek”. Ini merupakan anteseden yang salah satu konsekuensi logisnya adalah perkembangan distingsi lain yang dilakukan oleh beberapa filosof antara “objek subjektif” dan “objek objektif” atau dalam terminologi kita “objek imanen” dan “objek transitif”. Istilah “subjek” berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui sesuatu, sebagaimana halnya istilah “objek” mengacu kepada benda atau proposisi yang diketahui oleh subjek tersebut.
Eksistensi eksternal objek, karena secara prima facie independent dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan intelektual subjek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya. Akan tetapi, eksistensi mental objek yang sama, karena hadir dalam pikiran, merupakan kausa bagi kausalitas subjek.
Makna ganda objektivitas yang mencirikan satu entitas tunggal sebagai objek imanen maupun objek transitif. Dimana objek imanen datang lebih dahulu dan menjadi representasi mental dari hal yang diketahui. Di lain pihak, objek transitif datang belakangan karena ia adalah realitas prospektif dari objek ideal tersebut. Teori pengetahuan tiga serangkai dimana subjek sebagai yang mengetahui, objek sebagai hal yang diketahui dan hubungan antara keduanya sebagai mengetahui, menjelaskan bahwa seluruh konstitusi tindak pengetahuan yang intensional. Objek dalam kaitannya dengan mengetahui harus dipahami dalam dua arti yang berbeda; arti yang pertama adalah “sesuatu yang dekat, imanen, dan identik dengan eksistensi subjek yang mengetahui”; yang kedua adalah “sesuatu yang transitif dan independent, yang eksistensinya terletak diluar, dan bersifat eksterior terhadap eksistensi subjek.
Fungsi ditingsi objek ganda ini adalah
- untuk menunjukkan bagaimana kedua jenis objek ini saling terkait
- menjelaskan keterkaitan antara dunia eksistensi eksternal dan eksestensi internal,
- memungkinkan kita memahami bahwa dalam pengetahuan kita tentang dunia eksternal selalu terdapat esensialitas yang tergabung dengan pengertian probabilitas dalam hubungan antara kedua jenis objek ini.
Hubungan antara mengetahui atau mempersepsi dan objek objektif bersifat aksidental sedangkan hubungannya dengan objek subjektif bersifat esensial.
Jika objek-objek yang transitif, independent dan eksternal dalam kasus pengetahuan, secara eksistensial identik dengan objek imanen yang sepenuhnya bergantung pada pikiran kita, ini adalah kontradiksi pelik. Jawaban atas kontardiksi ini adalah:
konformitas antara objek eksternal dan objek internal hendaknya dipahami sebagai hubungan korespondensi antara objek imanen dan objek transitif,
tesis Aristotelian tentang identitas sangat mungkin sekali membutuhkan pengertian identitas eksistensial yang kuat tentang tindak pemahaman dengan objek imanen yang dipahami secara esensial dan bukan dengan objek transitif yang dipahami hanya secara aksidental.
Objek yang terlibat dalam konsep pengetahuan adalah:
- objek imanen
- internal
- esensial
Mengenai objektivitas ganda data-indrawi, Bertrand Russel menulis bahwa dalam masalah data indrawi,, kita melihat bahwa, bahkan jika objek fisik memang memiliki eksistensi independent, mereka mesti sangat jauh berbeda dari data-indrawi dan hanya bisa memiliki korespondensi dengan data indrawi dengan cara yang sama seperti sebuah katalog memiliki korespondensi dengan apa-apa yang dikatalogkan.
Kritis terhadap ungkapan Russel ini menyebutkan bahwa implikasinya adalah bahwa seandainya ada objek-objek fisik itu berhak menjadi objek-objek objektif yang berkoresponden dengan entitas-entitas mental yang mesti disebut objek-objek subjektif atau seperti dikatakan Russel, data-indrawi.
Dengan mempertimbangkan eksistensi objek-objek fisik sebagai sama sekali tak bergantung pada dan tak terpengaruh oleh tindak mental mengtahui kita, maka pokok pembicaraannya menjadi jelas bahwa sifat eksistensi seperti itu selalu terletak di luar kecermelangan mentalitas eksistensialitas kita, dan tak pernaj identik dengannya. Keadaan “tak tergantung”, “tak terpengaruh” dan “berada di luar” ini diungkapkan oleh filsafat iluminasi sebagai keadaan “tak hadir” dan objek-objek yang termasuk dalam keadaan ini diungkapkan sebagai “objek-objek tak hadir”. Ini berurusan dengan kata “tak hadir”. Sedangkan, tentang kata “hadir” filsafat iluminasi, dengan landasan yang sama, memandangnya dalam pengertian kondisi keidentikan eksistensi pikiran dengan eksistensi aksi-aksi mental dan entitas-entitas mentalnya. Entitas-entitas yang dihadirkan dalam kondisi identitas dalam pikiran subjek yang mengetahui disebut sebagai “objek-objek hadir”.
Jadi perbedaan antara objek imanen dan objek transitif adalah
a. objek-objek imanen, intrinsik dan wajib yang merupakan bagian dari aksi subjek yang mengetahui,
b. objek-objek transitif, ekstrinsik dan aksidental yang tidak hadir dalam pikiran dan berada di luar tindak mengetahui.
Sedangkan hubungan antara kedua objek ini adalah hubungan korespondensi, bukan identitas.
3. Pengetahuan Dengan Kehadiran Dan Pengetahuan Dengan Korespondensi
Dalam eksistensi mentalnya, kesatuan ini pada awalnya sederhana. Akan tetapi, perenungan mengenai kesatuan ini dapat secara sah memecah kesederhanaannya menjadi tiga bagian sehingga bisa dianalisis melalui perenungan tentang tindak “mengetahui”, subjek “yang mengetahui” dan objek “yang diketahui.
Ciri ilmu hudhuri yaitu:
kebebasannya dari dualisme kebenaran dan kesalahan,
kebebasannya dari pembedaan antara pengetahuan dengan “konsepsi” dan pengetahuan dengan “kepercayaan”.
Arti korespondensi yang dipakai dalam teori pengetahuan ini ringkasnya adalah “kemiripan” dalam isi dan “keidentikan” dalam bentuk. Pengetahuan dengan korespondensi ditandai oleh keterlibatan makna ganda objektivitas. Pengetahuan dengan korespondensi adalah pengetahuan yang:
memiliki dua jenis objek; objek internal dan objek eksternal,
hubungan korespondensi antara kedua objek tersebut.
Melalui korespondensi dengan rujukan objektifnya, pengetahuan korespondensi memiliki kemampuan untuk menjadi benar. Karena itu, ada kemungkinan pengetahuan itu tidak memenuhi persyaratan ini dan sebagai akibatnya ia menjadi salah. Akan tetapi, sifat ini tidak berlaku dalam pengetahuan dengan kehadiran sebab jenis pengetahuan ini tidak memiliki kaitan apa-apa dengan korespondensi sehingga tidak ada kemungkinan menjadai salah.
Ada dua argument yang berkembang dalam dua arah yang berbeda mengenai relasi antara pengetahuan dengan korespondensi dan pengetahuan dengan kehadiran:
dalam kasus pengetahuan diri, diri sebagai subjek performatif kesadaran dan diri yang sama merupakan objek yang disadarinya, dan identik sepenuhnya,
dalam hal pengetahuan korespondensi yang di dalamnya subjek yang mengetahui adalah “aku yang sama” (secara terminology; “aku performatif”) dan objek yang diketahui adalah objek eksternal maka “aku” tersebut telah mengetahui dirinya sendiri melalui kehadiran dan mengetahui objeknya dari korespondensi.
Hubungan antara pengetahuan dengan korespondensi dan pengetahuan dengan kehadiran harus dipandang sebagai hubungan sebab-akibat dalam pengertian iluminasi dan emanasi. Hubungan jenis ini tak lebih daripada hubungan sebab-akibat efisien yang khas, tetapi untuk membedakan kausasi intelektual ini dari kausasi fisik, filsafat iluminasi menyebutnya dalam terminologinya sendiri sebagai relasi iluminatif.
4. Dimensi Empiris Ilmu Hudhuri
Ada dua pokok masalah fundamental yang mirip dengan teori Russel tentang pengetahuan dan pengenalan:
Pengetahuan dengan kehadiran analog dengan pengetahuan dengan pengenalan Russel dalam hal bebasnya ia dari kemungkinan disebut benar atau salah.
Apa yang kita kenal dan hadir dalam diri kita dalam dirinya sendiri mestilah merupakan “sesuatu” yang langsung diketahui, bukan melalui “representasi” ataupun “penampakan”.
Mengapa keadaan-keadaan pribadi kita, semisal penginderaan dan perasaan, memenuhi syarata niscaya dan syarat cukup untuk menjadi contoh empiris pengetahuan dengan kehadiran bukan manifestasi dari kategori pengetahuan lain, bahkan pengetahuan dengan pengenalan sekalipun? Jawabannya adalah:
Rasa sakit atau rasa senang haruslah dikategorikan dalam judul pengetahuan dengan kehadiran dan bahwa tidak ada kemungkinan mempertimbangkannya sebagai bentuk pengetahuan dengan korespondensi. Ini karena dalam pengenalan dengan penginderaan dan perasaan, tidak ada objek yang tak hadir (objek eksternal), dengan demikian, pada waktu terjadinya pengalaman, tidak ada kebutuhan akan representasi objek tersebut.
Hal yang kita sadari atau kita kenal ketika mengalami pengideraan ini bukanlah sesuatu seperti data inderawi, yang akan merupakan repersentasi rasa saki atau rasa senang.
Jika kita merenungi pengideraan kita, katakanlah dengan menuturkan rasa sakit atau senang kita, kita mencoba mengonseptualisasi perasaan kita dan mentransformasikannya dari tatanan wujud menjadi semacam representasi yang termasuk dalam tatanan konsepsi. Dengan melakukan ini, kita bergerak dari tatanan eksistensialitas pengetahuan dengan kehadiran ke keadaan konseptual pengetahuan dengan korespondensi.
Pengetahuan intuitif tidak dicapai melalui proses penarikan kesimpulan (inferensi) karena pengetahuan intuitif menjadikan kelangsungan penerapan pada objek-objek eksternal sebagai kebenaran dan kesahihan objetifnya. Akan tetapi, ia masih harus ditempatkan pada tatanan konsepsi yang berkorespnden dengan objek eksternalnya dan bukan pada tatanan wujud. Meskipun pengetahuan intuitif tidak bersifat inferensial tapi tetap bersifat referensial dan menjadikan objek-objek eksternal yang berkoresponden sebagai rujukan objektifnya. Inilah alasan mengapa kita mesti membedakan pengetahuan dengan kehadiran dari pengetahuan dengan intuisi, sebagaimana kita telah membedakannya dari pengetahuan diskursif dan pengetahuan dengan pengenalan.
Distingsi yang dibuat Russel antara pengetahuan dengan deskripsi dengan pengetahuan dengan pengenalan bisa ditundukkan pada pemeriksaan kritis. Perbedaan yang nyata antara pengetahuan dengan kehadiran kita dan pengetahuan dengan pengenalan Russel, bahwa dalam pengetahuan dengan pengenalan terkandung implikasi perujukan kepada objek eksternal yang tidak muncul dalam instansiasi empiris pengetahuan dengan kehadiran.
Eksemplifikasi empiris pengetahuan dengan kehadiran:
1. Apa yang telah diindikasikan oleh Suharwadi “bahwa kita memang mempunyai beberapa kesadaran yang tidak memerlukan suatu bentuk representasi”
2. Analisis empiris tentang pengalaman rasa sakit.
Berdasarkan pendekatan Suhrawardi, hanya bisa disimpulkan bahwa setelah memberikan contoh empiris ini kita bisa mengatakan bahwa kita memang mempunyai semacam kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh melalui representasi atau data inderawi apapun. Pengetahuan ini hanya terwujud melalui unifikasi eksitensial yang dalam system para filosof disebut “kehadiran”.
5. Modus Utama Ilmu Hudhuri
Dalam system filsafat Islam, disebut metode “komposisi” (tarkib), yang berarti bahwa kita harus menyusun gagasan universal tentang defenisi kita dengan menggabungkan atau membuat komposisi persamaan dan perbedaan empiris.
Istilah “cahaya” sebagaimana dielaborasi oleh Suhrawardi pada bagian awal metafisikanya, tidak digunakan dalam pengertian epistimologis sepenuhnya karena apa yang dipahami akal jelas tidak memiliki pengertian yang terbatas seperti itu, sebagaimana ketika diterapkan pada dunia fisik. Suharwardi memerinci rancangan filsafat cahayanya dilawankan dengan kegelapan, yang barangkali merujuk pada orientasi keagamaan Persia kuno, dalam langkah:
1. Membagi apa yang diyakininya sebagai “cahaya dalam realitas dirinya sendiri” menjadi modus cahaya yang asli, tak bercampur dan tak inheren dalam sesuatu yang lain, dan modus cahaya lain yang bersifat aksidental dan terkandung dalam sesuatu yang lain.
2. Terminologi yang bersandar kuat ke arah reformulasi distingsi Platonik yang masyhur antara mengada (being) dan menjadi (becoming) dalam pengertian bentuk-bentuk cahaya dan bentuk-bentuk kegelapan.
Tiga pernyataan pendahuluan untuk memahami nilai kebenaran demonstrasi iluminasi:
1. Kita berurusan dengan sesuatu yang eksis “dalam dirinya sendiri”, meskipun tidak harus berarti “dengan dirinya sendiri”.
2. Dalam proses mengetahui secara umum, ada satu “pelaku” yang mewakili “aku” performatif yang ditegakkan oleh watak otoritasnya sendiri untuk bertindak, bukan ditindaki. “Perwakilan” ini semata-mata untuk “aku” dan tak ada yang selain “aku” yang bisa berperan serta dalam peringkat wujud pribadi yang tak bisa diubah ini.
3. Dalam kasus penilaian diri semisal “saya mengetahui X”, saya mengetahui diri saya melalui representasi diri saya dan bukan dengan “kehadiran” realitas diri saya itu sendiri.
Pembuktian kesadaran diri:
1. Dengan mengetahui sesuatu selain dari dirinya, seperti ketika orang mengungkapkan pengetahuannya dengan pernyataan: “aku mengetahui objek X, Y dan Z. Melalui penisbatan kepada diri saya berarti saya telah sadar akan diri saya. Jika tiak demikian, penisbatan suatu pengetahuan kepada diri saya menjadi tidak ada artinya.
2. Dengan mengetahui diri secara langsung, ketika orang merenungi dirinya sendiri dan menampilkan pengetahuan tentang dirinya dalam pernyataan “aku mengenal diriku”.
Sedangkan Suharwardi mencoba menegakkan pokok argumennya dengan cara berikut: Seandainya subjek yang mengetahui, dalam upaya mengetahui diri sendiri, mengobjektifkan dirinya, ia akan membangun representasi fenomenal yang berbeda dari dirinya, yang akan disebut “dia” dan bukan “aku”. Dalam hal itu, sebagaimana dituntut oleh hukum “keakuan/kediaan”, “aku” harus tetap dalam otoritas subjek “keakuan” yang tak bisa diubah; “dia” sebagai “diri” juga termasuk dalam kategori ini dan menjadi satu dengan “aku”. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh hukum “keakuan/kediaan”, “kediaan” tidak akan pernah bisa berubah menjadi “keakuan” dan sepenuhnya menyatu dengan realitas aktif “aku”. Realitas faktual “aku” juga tidak bisa diubah substansinya menjadi realitas “dia”. Karena itu “keakuan” dan “kediaan” ternyata berbeda sekaligus identik dalam hal yang sama. Ini tidak mungkin. Marilah kita lihat bagaiman keduanya bisa berbeda melalui semacam perlawanan, tetapi sekaligus menyatu dalam satu identitas-diri, masing-masing dalam hal yang sama.
Seseorang bisa mengobjektifkan diri sendiri ketika merenunginya dengan mengatakan: “dia” adalah “aku” yang mengetahui diriku. Akan tetapi, yang dimaksud objektivikasi adalah bahwa orang bisa memperlakukan dirinya secara fiktif sebagai “dia” dan mengajukan penilaian tentang unifikasi terhadap dirinya sendiri.
Adapun rumusan argumentasi tentang kesadaran diri adalah:
Seandainya dengan pengenalan diri saya adalah melalui representasi, bukannya kehadiran realitas saya, pengenalan saya dengan diri akan persis seperti pengenalan saya dengan apa yang bukan diri saya. Absurditas ini lahir dari sifat “epistemik” masalah tersebut yang bisa dipahami secara jelas dari kata-kata Suhrawardi: “kesadaran akan realitas ‘keakuan’ karenanya akan persis seperti kesadaran akan apa yang bukan “keakuan”, yaitu “kediaan”.
Seandainya “keakuan” dan “kediaan” adalah identik dalam kasus kesadaran diri, sementara dalam hubungan subjek-objek, keduanya berfungsi secara berbeda, keduanya akan identik sekaligus berbeda dalam hal yang sama. Tentu saja ini adalah bentuk logis absurditas yang muncul dari pelanggaran hukum hubungan subjek-objek dalam sebuah proposisi.
Jika ungkapan “diriku” dalam sebuah pernyataan semisal “aku mengetahui diriku” berarti “dia”yang merujuk kepada representasi diri yang jelas setara dengan “bukan diriku”, “aku mengetahui diriku” mestilah mempunyai arti “aku mengetahui yang bukan aku”. Sekarang, “untuk mengetahui yang bukan diriku” hanyalah cara lain untuk mengatakan “aku tidak mengetahui diriku”. Akan ada kekacauan, dan perusakan komunikasi manusia seandainya pernyataan “aku mengetahui diriku” berarti “aku tidak mengetahui diriku”. Absurdiatas ini termasuk dalam sifat linguistic tentang isu tersebut.
Tiga hal penting menyangkut argument ini serta konsekuensinya adalah:
Pengetahuan tentang dirinya sendiri tak lain adalah dirinya sendiri; pengetahuannya tentang dirinya tak lain adalah realitas dirinya itu sendiri.
Realitas “keakuan”saya, yang telah dibuktikan berada dalam dirinya sendiri dan hadir untuk dirinya sendiri, meskipun tidak harus oelh dirinya, dalam pengertian bahwa ia tidak mungkin lebih nyata untuk dirinya sendiri daripada semata hadir dalam dirinya sendiri.
Penekanan besar telah diberikan kepada realitas empiris dan aktif tentang “keakuan” yang tidak mempunyai konotasi apapun yang mengaitkannya dengan masalah kontroversial pembedaan esensi-eksistensi. Tujuan utama pendekatan ini adalah mempertimbangkan kebenaran realitas actual subjek yang dicirikan oleh kedua persayaratan yang disebutkan diatas.
Fungsi logis, epistemik dan semantik dari “keakuan” yang dilawankan dengan “kediaan”, berkenaan dengan distingsi metafisik antara atribut-atribut dan yang kepadanya atribut-atribut ini dilekatkan, yang secara prospektif dianggap sebagai realitas kedirian.
Semua argument bersumber dari pertimbangan bahwa ada substansi material yang bertindak sebagai “dia” yang kontinu dan tak pernah berubah, yang mewadahi dan menyatukan berbagai aksiden dalam urutan waktu dan kejadian.
Suharwardi menurunkan dua kesimpulan:
Bahwa pengetahuan tentang diri pastilah melalui kehadirang realitas diri.
Bahwa apapun yang tidak diketahui melalui kehadiran relaitas murni diri tidak memiliki peran yang mendasar, bahkan parsial sekalipun, dalam bentuk eksistensial realitas itu, dan karena itu terletak di luar wilayah “keakuan”
Suharwardi mengungkapkan beberapa teori yang penting dalam filsafat iluminasi:
- Bahwa diri bukanlah apapun kecuali wujud immaterial.
- Bahwa diri adalah realitas yang paling sederhan dan tak berbagi-bagi.
- Bahwa masalah apakah diri itu suatu substansi atau tidak, bisa ditentukan, jika yang dimaksudkan dengan “substansialitas” adalah penafian wujud di dalam wujud yang lain secara praktis bukan penafian secara teoretis dan kategoris.
Mengenai kesederhanaan dapat diperoleh keterangan kesederhanaan mutlak dan ketakterbagian diri, kita bisa dengan cukup beralasan mengandalkan prinsip keidentikan antara “mengetahui” diri melalu pengetahuan dengan kehadiran, dengan “wujud” realitas objektif diri.
6. Apendiks Untuk Teori Ilmu Hudhuri
Suharwardi telah mengambil dua langkah lebih jauh ke arah penjelasan empirisnya:
Seperti halnya kesadaran-diri, kesadaran akan tubuh sendiri dan semua kekuatan serta aktivitas mentalnya harus dicirikan sebagai suatu bentuk pengetahuan dengan kehadiran.
Ada kriteria epistemik bagi universalitas dan partikularitas pengetahuan, yang mesti diperhitungkan manakala yang dipersoalkan adalah masalah keadaan-keadaan pribadi pikiran.
Ada dua hal mengenai penyelidikan ke dalam pengetahuan pribadi kita yang harus dicatat:
Representasi tubuh, imajinasi dan fantasi adalah universal.
Akal hanya bisa berkomunikasi dengan badan universal.
Universalitas pengetahuan adalah suatu kualitas suatu gagasan atau proposisi yang penerapannya pada banyak objek individual tidak mustahil atau kontradiktif secara logis. Partikulasi pengetahuan adalah kualitas suatu gagasan atau proposisi yang penerapannya pada lebih dari satu objek individual menyiratkan absurditas atau kontradiksi logis. Pembedaan antara “kualifikasi” atau “pembatasan” dan “partikulasi” adalah karena pengetahuan yang terbatas tidak dengan dirisendirinya partikular dan pribadi. Kategori pertama melibatkan semacam spesifikasi sebuah konsep universal yang tidak dengan sendirinya berarti partikularisasi. Kategori kedua adalah partikularisasi pengetahuan tentang sebuah objek individual yang tidak bisa diterapkan pada yang banyak.
7. Teori Ilmu Hudhuri Yang Diperluas: Misitisme Secara Umum
Inti ini adalah konsepsi “kesadaran uniter”. Kesadaran uniter adalah ungkapan lain dari mistisme. Salah satu kelebihan mistisme atas isu-isu metafisika lain adalah ia bersifat empiris dan ilmiah bukan trasedental. Sifat esensial pengetahuan dengan korespondensi, yang benar-benar tak konsisten dengan kesadaran uniter mistisme dari jenis manapun dan dalam derajat manapun. Faktor pembeda pengetahuan mistik dengan pengetahuan korespondensi tidak ditentukan oleh apakah objek itu bersifat empiris atau transcendental, tapi semata-mata oleh apakah objek itu identik dengan subjek atau tidak. Sekalipun objek suatu pengetahuan itu bersifat transenden, eksistensinya mandiri terpisah dari subjek, maka pengetahuan itu termasuk pengetahuan dengan korespondensi.
Menurut Plato, penglihatan intelektual biasa kita, pada dasarnya dicirikan oleh dualisme hubungan subjek-objek dan karena alasan ini tidak identik dengan kesadaran mistik.
Mistisme, setelah membuktikan secara mandiri kebenaran swaobjektifnya, bisa disuguhkan sebagai landasan yang andal atau sebagai saksi mata empiris, bagi kebenaran-kebenaran agama yang bersifat teoritis, yang semuanya hanya mungkin terjadi sesudah adanya penafsiran dan introspeksi pengalaman mistis. Sebaliknya agama juga bisa menjadi pembantu penting bagi seorang mistikus dalam perjalanan naik menuju kesadaran uniter mistik, begitu sang mistikus membuang ikatan-ikatan khayalnya dengan kemajemukan hidup ini.
Mistisme adalah salah satuu bentuk ilmu hudhuri sebab, jika telah terbukti bersifat nonfenomenal, tak ada sesuatu pun yang bisa mengakomodasi mistisme kecuali bentuk pengetahuan dengan kehadiran.Kehadiran mistik adalah kehadiran dengan penyerapan, yang merupakan sifat esensial pemahaman mistik.
8. Mistisme Dalam Sistem Emanasi
Ibn Sina secara matematis merumuskan doktrinnya tentang “emanasi” dengan cara berikut:
“Emanasi adalah sesuatu yang dengannya sebuah eksistensi dilahirkan dari yang lain dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantaraan materi, instrument, ataupun waktu. Akan tetapi, suatu yang didahului oleh non-eksistensi dalam waktu tidak akan pernah membutuhkan perantara. Tindak emanasi, karenanya, mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada tindak penciptaan dan kontingensi.”
Dengan mengetahui prinsip eksistensinya dan dengan cara dimana ia terkait dengannya, setiap wujud emanatif ini memunculkan satu wujud dan dengan mengetahui dirinya sendiri sebagaimana adanya, ia memunculkan yang lain. Semua wujud emanatif memiliki dua persamaan:
Mereka bersifat mungkin dalam dirinya sendiri dalam pengertian bahwa mereka secara mutlak bukanlah apa-apa tanpa hubungan iluminatif dengan sumber mereka.
Mereka semua adalah wujud-wujud yang niscaya jika dipandang dalam kerangka hubungan mereka dengan Prinsip Pertama, yang merupakan Wujud Niscaya dalam esensi dan tindakannya.
Hierarki emanasi menyiratkan kontinuitas dan ketergantungan total modus emanasi yang lebih rendah pada prinsip yang terdekat dengannya, yang pada gilirannya sepenuhnya bergantung pada prinsip terdekatnya sendiri.
Hubungan Tuhan dengan emanasi-Nya (yakni eksitensi alam semesta) tidaklah, tak bisa, dengan pengetahuan intensional, tetapi hanya melalui pengetahuan dengan “kehadiran”. Diperlukan sedikit renungan atas penjelasan Thusi untuk menyarikan dua jenis pengetahuan melalui kehadiran yang dinisbatkan kepada Tuhan, yaitu kehadiran dengan identitas yang dicontohkan dalam pengetahuan Tuhan tentang realitas-Nya sendiri, dan kehadiran dengan emanasi, semisal pengetahuan tentang Tuhan dalam hubungan dengan emanasi-Nya. Keduanya adalah pengetahuan dengan kehadiran sebab dalam kedua kasus tersebut tidak ada representasi ataupun citra mental yang menempatkan dirinya di antara realitas hal yang diketahui dan rasa mengetahui.
Emanasi hanya bisa diungkapkan oleh frasa berpreposisi. Preposis hanya bisa dipahami dengan tepat dan bermakna jika kita bisa mengaitkannya dengan kata benda dan kata kerja yang tepat. Akan tetapi, kebenaran esensial emanasi sepenuhnya terletak dalam kebenaran sumber substantifnya dan seluruh realitas tak lebih dari suatu ekpresi berpreposisi seperti “orang lain”. Dalam kenyataannya, karena status tindak emanasi pada esensinya bersifat preposisional, satu-satunya realitas independent yang benar-benar ada dalam dirinya, dan bisa berfungsi sebagai kata benda substantif yang kepada semua entitas preposisional dikaitkan, adalah satu realitas di seluruh alam eksistensi.
Terdapat garis-garis emanasi vertical dan horizontal, dimana suatu garis vertikal yang tak terputus yang menghubungkan seluruh kumpulan besar emanasi dengan Prinsip Pertamanya dalam kesatuan eksistensial yag ketat. Juga terdapat penghubung horizontal yang padanya segaal sesuatu dipandang berbeda satu sama lain dan dicirikan oleh kemajemukan dalam peringkat, esensi, spesies, dan individuasi. Garis-garis vertikal disebut juga “tatanan batin” eksistensi dan garis-garis horizontal disebut “tatanan lahir” eksistensi.
Makna eminasi itu sendiri menyiratkan bahwa emanasi adalah satu bentuk eksistensi yang diduga telah lahir dari wujud lain yang bertindak sebagai sumber kausasinya atau sebagai sumber emanasinya. Satu-satunya alternatif yang bisa dipertimbangkan berkenaan dengan eksistensi suatu emanasi adalah kemungkinan.. Terdapat situasi dimana kita harus membedakan antara dua spesies kemungkinan:
Kemungkinan yang mencirikan sifat esensial suatu wujud yang berbeda dari eksistensinya.
Kemungkinan yang mengualifikasi konstitusi eksistensi dari setiap bentuk wujud yang muncul dari yang lain.
Ada konsekuensi-konsekuensi paling penting untuk dipertimbangkan adalah:
Memetakan hubungan ontologis suatu wujud emanatif, semisal diri, dengan sumbernya melalui modalitas kemungkinan eksistensial.
Mengakui bagaimana makna kemungkinan ini, tanpa memerhatikan kemungkinan esensial, mengidentifikasi realitas diri dengan iluminasi yang niscaya dari keniscayaan abadi, dan bagaimana kesatuan eksistensiali ini mengimplikasikan bahwa mustahil terdapat kekosongan atau interupsi antara eksistensi yang niscaya dari sumber dan eksistensi yang mungkin dari diri.
9. Kesatuan Mistik
Gambaran dari disposisi kehadiran:
a. sebagai kehadiran dengan “iluminasi” atau “emanasi”.
b. Keadaan kehadiran yang sama disebut kehadiran dengan penyerapan jika penjelasan kita mendekatinya dari arah yang sebaliknya.
Setelah mengukuhkan kedua pengertian kehadiran ini, kita dengan sah bisa mengatakan bahwa diri, sebagai contoh emanasi, memiliki pengetahuan tentang Tuhan melalui kehadiran dengan penyerapan. Kita bisa, dengan alasan yang sama, mengatakan bahwa diri diketahui oleh Tuhan melalui ilmu hudhuri dalam pengertian iluminasi. Karena keidentikan ini kedua pengertian kehadiran ini, dalam kenyataannya, keduanya juga identik dalam derajat kehadiran proposionalnya. Artinya, derajat kehadiran Tuhan melalui iluminasi dalam realitas diri sama dengan derajat kehadiran diri dalam Tuhan dengan pengertian penyerapan. Dengan demikian, pada tahap wujud pertikular tersebut, Tuhan dan diri adalah identik.
Meskipun banyak ragam penafsiran tentang kesatuan, namun belum ada yang memadai secara sistematis karena bentuk kesadaran uniter ini, yang menurut kesatuan dalam keragaman dan keragaman dalam kesatuan masih tetap paradoks secara mutlak. Masalah utama kesadaran mistik adalah bagaimana dia realties yang berbeda-realitas diri individual sebagai wujud emanatif dan realitas Sumbernya-menjadi satu dan sama dalam proses pengalaman mistik. Berdasarkan ilmu hudhuri perluasan teori yang didasarkan pada penafsiran iluminasi tentang hipotesis kesatuan mistik.
Kedua spesies ilmu hudhuri yang berbeda yaitu kehadiran melalui swaidentitas dan kehadiran melalui emanasi atau pencerahan. Juga telah disebutkan karena diri memiliki kedua spesies pengetahuan dengan kehadiran ini, maka Tuhan juga harus, atas dasar yang sama, memiliki kedua pengertian kehadiran ini. Ilmu hudhuri Tuhan tentang Diri-Nya berkat swaidentitas memiliki arti bahwa realitas Tuhan mutlak hadir kepada dan identik dengan Diri-Nya. Di lain pihak kehadiran Tuhan melalui iluminasi dan supremasi berarti bahwa Dia hadir dalam tindak emanasi imanen-Nya. Denman demikian, tidak mungkin ada interupsi atau keterputusan dalam pencerahan dan supremasi-Nya atas emanasi sedemikian sehingga menyebabakan pemisahan antara Diri-nya dan tindak emanasi-Nya.
Beradasarkan analogi linguistik, realitas “keakuan” berfungsi sebagai sebuah hubungan semata, tapi bukan sesuatu yang dihubungkan. Satu-satunya perbedaan antara hubungan ini dengan hubungan biner adalah bahwa peran sebuah hubungan biner yang normal adalah menghubungkan satu realitas dengan realitas yang lain, yang dualismenya dipra-anggapkan dan mutlak diperlukan. Akan tetapi, dalam hubungan ini, tidak ada kemungkinan paraanggapan seperti itu. Satu-satunya hal yang dipraanggapkan adalah Yang Tunggal yang di dalamnya realitas diri terserap dan tidak bisa diketahui kecuali dengan mengetahui Yang Tunggal.
Menurut prinsip ilmu hudhuri, realitas “keakuan” dalam hidup ini terikat dengan kediaan, yakni keadaan berkonflik dengan objek-objek material, meskipun tidak identik dengannya.
Peniadaan mistik adalah pengunduran diri dari dimensi horizontal dan berpaling kepada dimensi vertikal.
10. Bahasa Mistisisme Dan Metamistisisme
Metamistisisme berarti metabahasa mistisisme. Untuk menghindari kerancuan yang sering mencemari pendekatan nonspesialis terhadap mistisisme, kita wajib menetapkan klasifikasi mistisisme yang membedakan antara tiga tahap mistisisme yang dalam masing-masingnya mengategorikan satu spesies mistisisme. Ketiga tahap itu adalah:
Mistisisme yang tak bisa diceritakan.
Pemikiran mistik introspektif dan rekonstruktif sebagai bahasa objek murni mistisisme.
Metamistisisme filosofis atau ilmiah yang berbicara “tentang” mistisisme.
Mengenai Irfan, dimana ini merupakan pengetahuan dengan representasi, yang tercerahkan dan diperoleh dari pengetahuan dengan kehadiran mistik melalui relasi iluminatif/
Penyelidikan metamistik adalah kontemplasi dengan merenungi bahasa objek pengalaman mistik. Sementara pengalaman mistik itu sendiri tetap berada dalam lingkun ilmu hudhuri, irfan, dan metamistisisme termasuk tatanan pengetahuan dengan representasi dan karena itu keduanya termasuk bentuk pengetahuan dengan korespondensi.
Terdapat beberapa pendekatan yang khas yang disebut pendekatan mistik yaitu:
Ada penyelidikan deskriptif empiris mengenai masalah mistisisme yang temasuk dalam kategori bahasa “tentang” mistisisme. Jenis penyelidikan ini bersifat historis, ilmiah, antropologis atau sosiologis.
Sejarawan R.C. Zaehner, berbicara mengenai empiris tentang sejarah mistisisme an terkadang tentang filasafat mistisisme empiris. Dengan mengambil pendekatan metalinguistik jenis ini, dia melakukan survey historis komparatif yang terperinci mengenai ragam mistisisme dari berbagai budaya, agama, dan masa, yang berkisar dari bentuk-bentuk mistisisme Hindu, Buddha, Kristen, Islam dan Yahudi hingga para mistikus modern.
Pemikiran ilmiah, tetapi tidak filosofis, yang bersifat reflektif dan introspektif yang didalamnya sang mistikus mencoba dengan kemampuan inteleknya untuk merekonstruksi dengan cara yang canggih sifat-sifat dari apa saja yang telah dilihat atau disadarinya dalam pengalaman mistiknya. Inilah apa yang kita sebut sebagai bahasa mistik asli, atau ilmu mistisisme karena ia berbicara “dari” mistisisme bukan berbiacara “tentang” mistisisme, dan ia dirancang untuk merekapitulasi keadaan yang dialami seorang mistikus.
Persoalam utama mistisisme, yaitu kesadaran uniter, adalah salah satu dari hal-hal yang padanya seluruh ilmu mistisisme, yakni irfan didasarkan. Untuk memahami arti ilmu irfan, atau disiplin ilmu linguistic mistisisme sebagai lawan dari logika biasa pemahaman kita sehari-hari dan menghindarkan setiap jenis pembahasan yang bersifat acak atau tak akademis, kita harus menyandarkan diri pada wawasan mereka yang secara historis telah diterima sebagai otoritas baik dalam filsafat maupun mistisisme.
Menurut Ibn al-‘Arabi, kemampuan akallah yang bisa melakukan transisi dari pengetahuan tentang yang gaib ke pengetahuan intelektual dunia fenomena seperti ini.
Terdapat hal-hal pokok yang menjadi kajian dalam pembahasan ini yaitu:
Di dalam kerangka pikiran manusia ada jenis kesadaran lain yang menjadikan kesadaran manusia bersifat mistik. Ini adalah kesadara akan yang gaib.
Bentuk pengetahuan, seperti halnya pengetahuan biasa, bersifat intelektual. Artinya, ia bisa direnungi dan dikonseptualisasikan serta dipahami oleh akal manusia apabila diarahkan ke dalam (introverd).
Bentuk-bentuk pengetahuan ini, yaitu bentuk pengetahuan inderawi, intelektual dan mistis adalah sama dalam hal bersifat deskriptif.
Atas dasar teori ilmu hudhuri, pengetahuan swaobjek dalam semua bentuknya, maka ia identik dengan realitas eksistensial hal yang diketahui. Di samping itu, telah ditegaskan bahwa pengetahuan mistik adalah satu spesies pengetahuan dengan kehadiran. Karena itu, pengetahuan mistik adalah identik dengan realitas hal yang diketahui. Dari sini, disimpulkan bahwa kesadaran mistik adalah kesatuan simpleks kehadiran Tuhan di dalam diri dan kehadiran diri di dalam Tuhan. Karena termasuk dalam tatanan eksistensi, dan bukannya tatanan konsepsi dan representasi, kesatuan simpleks ini tak bisa dikomunikasikan dan karenanya tak terkatakan. Demikian halnya selama pengalaman itu tak diinstrospeksikan dan tak direnungi.
*) diresensi oleh: Wiwid Kurniandi As