Pendahuluan
Filsafat berasal dari Griek berasal dari kata Pilos (cinta), Sophos (kebijaksanaan), tahu dengan mendalam, hikmah.
Filsafat menurut term : ingin tahu dengan mendalam (cinta pada kebijaksanaan).
Menurut Ciceros (106-43 SM), penulis Romawi orang yang pertama memakai kata-kata filsafat adalah Phytagoras (497 SM), sebagai reaksi terhadap cendikiawan pada masanya yang menamakan dirinya ”Ahli pengetahuan”, Phytagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya yang lengkap tidak sesuai untuk manusia. Menurut Prof, I.R. PUDJAWIJATNA menerangkan juga ”Filo” artinya cinta dalam arti seluas-luasnya yaitu ingin dan karena ingin itu selalu berusaha mencapai yang diinginkannya . ”Sofia” artinya kebijaksanaan artinya pandai, mengerti dengan mendalam.
Syekh Mustafa Abdurraziq, setelah meneliti pemakaian kata-kata filsafat dikalangan muslim, maka berkesimpulan bahwa kata-kata hikmah dan hakim dalam bahasa arab dipakai dalam arti ”filsafat dan filosof” dan sebaliknya, mereka mengatakan Hukama-Ul-Islam atau Falasifatul-Islam.
Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode berfikirnya. Allah berfirman dalam QS Albaqorah (2) :269, “Allah memberikan hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya dan siapa yang diberikan hikmat, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak sekali”.
Datangnya hikmah bukan dari penglihatan saja, tetapi juga dari penglihatan dan hati, atau dengan kata-kata lain , dengan mata hati dan pikiran yang tertuju kepada alam yang ada disekeling kita, banyak orang yang melihat tetapi tidak memperhatikan, karena itu Allah mengajak kita untuk melihat dan berfikir: QS Adz Dzariyat (51) 20 Allah berfirman :” Pada bumi ada tanda-tanda (kebesaran Tuhan ) bagi orang yang yakin, apakah kamu tidak mengetahui”
Konon orang pertama yang menggunakan akal secara serius adalah Thales (Bapak filsafat) gelar ini diterima karena ia mengajukan pertanyaan :”Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? Ia menjawab ”Air” setelah itu silih berganti filisof zaman itu dan sesudah itu mengajukan jawaban. Ada yang menjawab (1) Anaximandros (To Apeiron = asas pertama, tak terbatas), (2) Anaximenes (udara), (3) Phytagoras (Bilangan, jiwa kekal), (4) Zeno realitas yang ada. Dari Thales sampai Zeno menganut paham Monisme (kenyataan seluruh bersifat satu). Sedangkan dari Empedos hingga Demokritos bersifat berlawanan dengan Monisme. (5) Empedokles menyatakan (6) Anasir/Rizomata: air , udara., api, tanah. (7) socrates ( Kebenaran objektif) , (8) Plato ( idea) (9) aristoteles (penggerak pertama /a first cause or motion).
Filsafat Zaman Yunani Kuno
Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.
Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena.
Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").
Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji zogol, dan zokigolkeabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga.
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) = "to hen", yang esa, "the one". Yang esane otdisebut oleh Plotinos adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous" zuon mengalir ne ot = hcny merupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir = "me uo hm "psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan.
MAKNA KEBENARAN
Kebenaran secara filosofis berarti proposisi rasional yang sesuai dengan realitas. Kebenaran merupakan sifat kemestian bagi pengetahuan baik dari sisi kesesuaiannya dengan realita (kenyataan) dan nafs al-amr1 dengan kata lain kenyataan yang sebenarnya adalah kebenaran suatu predikat terhadap subjeknya baik kebenaran itu sesuai dengan ukuran keberadaan yang diluar akal (eksternal) atau dalam akal (internal).
Dari penjelasan di atas diketahui ada wujud dalam akal (wujud internal) dan ada wujud di luar akal (wujud eksternal). Masalahnya, adakah kebenaran itu?
Persoalan ini adalah persoalan yang cukup pelik dan sulit sehingga tak jarang para ahli dan pemikir terjebak dalam permainannya tanpa pernah menyelesaikannya. Karenanya diperlukan kesabaran dan ketenangan dalam memahaminya. Dalam pandangan filsafat Islam, kebenaran adalah eksis (keberadaan nyata) karena bersumber dari keberadaan, sedangkan kesalahan adalah tidak eksis (tidak memiliki keberadaan nyata) karena bersumber dari ketiadaan.
AKTUALITAS KEBENARAN: MENYOAL RELATIVISME
Persoalan kebenaran merupakan konsekuensi logis dari pengetahuan. Artinya, kebenaran menjadi penting saat kita melakukan kajian dan merumuskan tentang pengetahuan manusia, bahkan secara sederhana dapat dikatakan bahwa “kebenaran itu tidak lain daripada pengetahuan itu sendiri”. Maksudnya, jika kita mengetahui sesuatu, berarti kita benar, jika tidak, berarti kita salah. Sebab, tanpa nilai kebenaran, semua pengetahuan manusia akan berubah menjadi ketidaktahuan dan kesia-siaan, dan itu berarti tindakan tak bermakna.
Jika hal ini tidak kita akui, maka akan terjadi lingkaran setan, karena dari sini persoalan kebenaran terulang kembali, yakni apakah kesia-siaan itu merupakan tindakan yang benar atau tidak? Apapun jawaban anda, kebenaran tetap menjadi pilihan. Mengapa begitu, karena, jika kita cermati jawaban tersebut hanya akan berkisar pada tiga alternatif :
Adapun tentang masalah kemampuan untuk menggapai kebenaran yang nyata dan absolut, maka hal itu bukanlah kemustahilan, melainkan kemestian pengetahuan. Karena itu ungkapan yang menjelaskan bahwa “semua kebenaran itu relatif” adalah ungkapan yang tidak valid. Karena ungkapan itu, diterima atau tidak akan tetap menunjukkan adanya kebenaran absolut. Yaitu jika ungkapan itu diterima, berarti telah ada kebenaran mutlak, yakni kebenaran ungkapan itu. sedangkan jika ditolak dan salah itu berarti menunjukkan pemahaman sebaliknya yakni adanya kebenaran mutlak -–sebagai lawan dari kerelatifan.
Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa, kebenaran ada 2 jenis:
Filsafat berasal dari Griek berasal dari kata Pilos (cinta), Sophos (kebijaksanaan), tahu dengan mendalam, hikmah.
Filsafat menurut term : ingin tahu dengan mendalam (cinta pada kebijaksanaan).
Menurut Ciceros (106-43 SM), penulis Romawi orang yang pertama memakai kata-kata filsafat adalah Phytagoras (497 SM), sebagai reaksi terhadap cendikiawan pada masanya yang menamakan dirinya ”Ahli pengetahuan”, Phytagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya yang lengkap tidak sesuai untuk manusia. Menurut Prof, I.R. PUDJAWIJATNA menerangkan juga ”Filo” artinya cinta dalam arti seluas-luasnya yaitu ingin dan karena ingin itu selalu berusaha mencapai yang diinginkannya . ”Sofia” artinya kebijaksanaan artinya pandai, mengerti dengan mendalam.
Syekh Mustafa Abdurraziq, setelah meneliti pemakaian kata-kata filsafat dikalangan muslim, maka berkesimpulan bahwa kata-kata hikmah dan hakim dalam bahasa arab dipakai dalam arti ”filsafat dan filosof” dan sebaliknya, mereka mengatakan Hukama-Ul-Islam atau Falasifatul-Islam.
Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode berfikirnya. Allah berfirman dalam QS Albaqorah (2) :269, “Allah memberikan hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya dan siapa yang diberikan hikmat, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak sekali”.
Datangnya hikmah bukan dari penglihatan saja, tetapi juga dari penglihatan dan hati, atau dengan kata-kata lain , dengan mata hati dan pikiran yang tertuju kepada alam yang ada disekeling kita, banyak orang yang melihat tetapi tidak memperhatikan, karena itu Allah mengajak kita untuk melihat dan berfikir: QS Adz Dzariyat (51) 20 Allah berfirman :” Pada bumi ada tanda-tanda (kebesaran Tuhan ) bagi orang yang yakin, apakah kamu tidak mengetahui”
Konon orang pertama yang menggunakan akal secara serius adalah Thales (Bapak filsafat) gelar ini diterima karena ia mengajukan pertanyaan :”Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? Ia menjawab ”Air” setelah itu silih berganti filisof zaman itu dan sesudah itu mengajukan jawaban. Ada yang menjawab (1) Anaximandros (To Apeiron = asas pertama, tak terbatas), (2) Anaximenes (udara), (3) Phytagoras (Bilangan, jiwa kekal), (4) Zeno realitas yang ada. Dari Thales sampai Zeno menganut paham Monisme (kenyataan seluruh bersifat satu). Sedangkan dari Empedos hingga Demokritos bersifat berlawanan dengan Monisme. (5) Empedokles menyatakan (6) Anasir/Rizomata: air , udara., api, tanah. (7) socrates ( Kebenaran objektif) , (8) Plato ( idea) (9) aristoteles (penggerak pertama /a first cause or motion).
Filsafat Zaman Yunani Kuno
Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.
Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat. Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif. -- Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis" ("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates "menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa "memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke pengadilan kota Athena.
Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri hidupnya.
Plato menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea. Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, ... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ... kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi, "becoming").
Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji zogol, dan zokigolkeabsahan cara berfikir. Logika dibentuk dari kata berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih "hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan ("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita adalah "pria yang belum lengkap". Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah "ladang", yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah "yang menanam". Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria menyediakan "bentuk", sedang wanita menyumbangkan "substansi".
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama "jiwa" ("psyche", Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat "mengamati" dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup "mengerti" dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan "nous" (Latin: "ratio" atau "intellectus") yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima "logoz". Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, -- itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga.
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros, 341-270 sM) juga terkenal dalam etika: "kita harus memiliki kesenangan, tetapi kesenangan tidak boleh memiliki kita".
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) = "to hen", yang esa, "the one". Yang esane otdisebut oleh Plotinos adalah awal, yang pertama, yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang esa adalah pusat daya, -- seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran (emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari = "nous", budi, akal, bahkan roh (?). "Nous" zuon mengalir ne ot = hcny merupakan "bayang-bayang" dari "to hen". Dari "nous" mengalir = "me uo hm "psykhe", jiwa, yang merupakan perbatasan "nous" dengan on", materi, yang merupakan kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah tubuh. "Psykhe" merupakan penghubung antara "nous" yang terang, yang berlawanan dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. Menurut neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada "to hen", dan itulah tujuan hidup manusia. "To hen" kiranya identik dengan konsep "Sang Sangkan Paraning Dumadi" dalam tradisi Jawa.
Kesatuan mistis dengan "to hen" merupakan kebenaran sejati. Manusia harus berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu pengalaman menyatu dengan Tuhan atau "jiwa kosmik". Banyak agama menekankan keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa "penyatuan dengan Tuhan". Ketika penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia "kehilangan dirinya", dia lenyap ke dalam diri Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan "pencucian dan pencerahan" untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam semua agama besar di dunia. Dalam "agama" Jawa dikenallah konsep "manunggaling kawula lan Gusti", yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan.
MAKNA KEBENARAN
Kebenaran secara filosofis berarti proposisi rasional yang sesuai dengan realitas. Kebenaran merupakan sifat kemestian bagi pengetahuan baik dari sisi kesesuaiannya dengan realita (kenyataan) dan nafs al-amr1 dengan kata lain kenyataan yang sebenarnya adalah kebenaran suatu predikat terhadap subjeknya baik kebenaran itu sesuai dengan ukuran keberadaan yang diluar akal (eksternal) atau dalam akal (internal).
Dari penjelasan di atas diketahui ada wujud dalam akal (wujud internal) dan ada wujud di luar akal (wujud eksternal). Masalahnya, adakah kebenaran itu?
Persoalan ini adalah persoalan yang cukup pelik dan sulit sehingga tak jarang para ahli dan pemikir terjebak dalam permainannya tanpa pernah menyelesaikannya. Karenanya diperlukan kesabaran dan ketenangan dalam memahaminya. Dalam pandangan filsafat Islam, kebenaran adalah eksis (keberadaan nyata) karena bersumber dari keberadaan, sedangkan kesalahan adalah tidak eksis (tidak memiliki keberadaan nyata) karena bersumber dari ketiadaan.
AKTUALITAS KEBENARAN: MENYOAL RELATIVISME
Persoalan kebenaran merupakan konsekuensi logis dari pengetahuan. Artinya, kebenaran menjadi penting saat kita melakukan kajian dan merumuskan tentang pengetahuan manusia, bahkan secara sederhana dapat dikatakan bahwa “kebenaran itu tidak lain daripada pengetahuan itu sendiri”. Maksudnya, jika kita mengetahui sesuatu, berarti kita benar, jika tidak, berarti kita salah. Sebab, tanpa nilai kebenaran, semua pengetahuan manusia akan berubah menjadi ketidaktahuan dan kesia-siaan, dan itu berarti tindakan tak bermakna.
Jika hal ini tidak kita akui, maka akan terjadi lingkaran setan, karena dari sini persoalan kebenaran terulang kembali, yakni apakah kesia-siaan itu merupakan tindakan yang benar atau tidak? Apapun jawaban anda, kebenaran tetap menjadi pilihan. Mengapa begitu, karena, jika kita cermati jawaban tersebut hanya akan berkisar pada tiga alternatif :
- Membenarkan tindakan sia-sia, dengan menyalahkan tindakan yang bermakna, atau
- Membenarkan tindakan bermakna dengan menyalahkan tindakan sia-sia.
- Tidak membenarkan dan tidak menyalahkan tindakan sia-sia.
Adapun tentang masalah kemampuan untuk menggapai kebenaran yang nyata dan absolut, maka hal itu bukanlah kemustahilan, melainkan kemestian pengetahuan. Karena itu ungkapan yang menjelaskan bahwa “semua kebenaran itu relatif” adalah ungkapan yang tidak valid. Karena ungkapan itu, diterima atau tidak akan tetap menunjukkan adanya kebenaran absolut. Yaitu jika ungkapan itu diterima, berarti telah ada kebenaran mutlak, yakni kebenaran ungkapan itu. sedangkan jika ditolak dan salah itu berarti menunjukkan pemahaman sebaliknya yakni adanya kebenaran mutlak -–sebagai lawan dari kerelatifan.
Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa, kebenaran ada 2 jenis:
1. Kebenaran mutlak/absolut merupakan kebenaran yang tidak bisa ditolak oleh akal kita. Ada 2 jenis yaitu:
- Kebenaran absolut Karena dirinya/sumbernya absolut seperti Allah dan Nabi yang maksum.
- Kebenaran absolut yang keluar dari sumber yang tidak absolut/tidak maksum, maka kebenaran seperti ini mesti bersyarat yakni harus didukung oleh argumentasi yang gamblang/jelas dan akurat serta kuat yang tidak dapat ditolak, bukan argumentasi penipuan.
2. Kebenaran tidak mutlak/relatif yaitu kebenaran yang belum tentu benar tetapi juga belum tentu salah. Memiliki kemungkinan salah tetapi bukan mesti salah, dan memiliki kemungkinan benar, tetapi tidak mesti benar. Salah dan benar dalam urusan relatif ini bisa diakui setelah adanya dalil atau argumen. Jadi dalam hal yang relatif ini, jika kita, setelah mendalaminya dengan baik dan ternyata salah maka Allah akan memaafkan kita asal tidak menghina orang lain. Relatif ini ada dua yakni:
REFERENSI
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Kuza’i, Rodliyah, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Pierce, Bandung: Refika Aditama, 2007.
Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, Bandung: Paradigma, 2009.
- Horizontal (menyamping) yakni hal yang saling bertentangan yaitu hal yang tidak mesti salah atau benar, akan tetapi tidak bisa semuanya dibenarkan. Yang mungkin terjadi adalah bahwa yang benar adalah satu atau semuanya salah. Dalam hal ini kita dibolehkan untuk mengutarakan pendapat dan menyalahkan pendapat yang lain dengan argumentasi kita, akan tetapi dilarang memaksakan pendapat kita kepada orang lain dan meghina pendapat orang lain.
- Relatif ke atas/vertikal yaitu ragam kebenaran dengan tingkatan yang berbeda. Dalam hal ini semua bisa dianggap benar hanya saja memiliki tingkat kedalaman argumentasi yang berbeda (gradasi kebenaran). Misalnya, kebenaran ilmu kalam, filsafat dan irfan.
REFERENSI
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Kuza’i, Rodliyah, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Pierce, Bandung: Refika Aditama, 2007.
Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, Bandung: Paradigma, 2009.
Yazdi, Mehdi Ha’iri, Epistemologi Iluminasionis; Menghadirkan Cahaya Tuhan, Bandung: Mizan, 2003.